[sumber: sini] |
Oleh: Muhammad Hilal
Tulisan ini dibuat untuk menegaskan bahwa ketika saya
meminta mahasiswa membuat puisi untuk tugas UAS mata kuliah Studi Filsafat,
saya tidak sedang main-main. Sungguh mati, saya tidak sedang berkelakar.
Beberapa orang bertanya, yang lainnya bahkan ada yang
mencibir: apa hubungan filsafat dengan puisi? Kenapa tugas UAS-nya membuat
puisi dan bukan membuat makalah filsafat? Anda sedang main-main ya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul karena beberapa
sebab, tentu saja. Pertama, karena gagal melihat hubungan antara sastra
dengan filsafat. Kedua, karena dalam benak penanya masih terdapat pengotak-kotakan
ilmu, seolah satu ilmu dengan ilmu lain tidak ada hubungan apapun. Ketiga, itu
adalah pertanyaan iseng (saya tak pernah menafikan satu sifat dasar manusia
ini) yang terlontar bukan karena secara jujur ingin tahu.
Nah, untuk membuktikan bahwa saya tidak sedang main-main,
akan saya paparkan dengan singkat apa dan bagaimana hubungan filsafat dengan
puisi atau dengan sastra secara umum, atau bahkan dengan seni sekaligus.
Paparan ini nanti akan berkisar pada filsafat Barat semata, sedangkan dalam
filsafat Timur akan saya lewatkan sebab nanti akan membutuhkan ruang yang jauh
lebih banyak, meskipun perlu disadari bahwa sebetulnya hubungan antara filsafat
dengan puisi itu justru sangat intens di dalam filsafat Timur.
***
Untuk melihat hubungan itu,
setidaknya kita bisa menyelidikinya dalam tiga hal. Pertama, seni
sebagai objek filsafat. Hal ini telah menjadi perhatian filsafat sejak
masa-masa permulaan, yaitu sejak filsafat mulai bermekaran di Yunani Kuno.
Salah satu filsuf yang dikenal memiliki pandangan mapan mengenai seni adalah Aristoteles
(384-322 SM). Dalam bukunya, Poetics, Aristeles telah menggambarkan
bahwa seni adalah imitasi dari realitas. Bagi Aristoteles, puisi adalah sesuatu
yang lebih filosofis ketimbang sejarah karena pernyataan-pernyataan puisi
adalah tentang alam semesta, sedangkan sejarah adalah tentang benda-benda
singular. Fungsi sastrawan bukanlah membicarakan sesuatu yang telah
terjadi, melainkan sesuatu yang mungkin terjadi, yakni membicarakan
sesuatu yang mungkin (probable) sebagai yang mungkin (probable)
atau niscaya (necessary).
Apa yang perlu dipahami dari
teori Aristoteles di atas adalah bahwa dia membagi kebijaksanaan (wisdom, hikmah)
menjadi tiga: theoria (ilmu teoritis), praxis (ilmu praktis), dan
poiesis (seni). Dalam bukunya, physics, Aristoteles membagi seni
menjadi:
(a)
Seni yang bertujuan untuk
melengkapi fungsi alam semesta, seperti menciptakan alat-alat atau
teknologi-teknologi, karena alam itu sendiri memberikan manusia hanya dua
tangan.
(b)
Seni yang bertujuan
meng-“imitasi” alam semesta. Pandangan kedua ini—mirip seperti pandangan
Plato—menyatakan bahwa dalam seni alam imajiner diciptakan yang merupakan
imitasi alam real. Inilah yang dalam bahasa inggris diistilahkan dengan Fine
Art. Puisi termasuk di dalamnya.
Dengan pandangannya ini,
Aristoteles—bersama dengan Plato (427-347 SM)—memiliki pandangan khas mengenai
puisi dan seni pada umumnya, yakni bahwa poiesis menduduki posisi yang
lebih rendah ketimbang theoria, karena bagi dua filsuf itu poiesis merupakan
imitasi dari realitas, sedangkan theoria adalah representasi persis dari
realitas itu sendiri. Dengan kata lain, puisi dan semua bentuk kesenian
lain kurang asli ketimbang ilmu-ilmu teoretis.
Pandangan yang lebih apresiatif
terhadap seni dan puisi muncul di kemudian hari, di tangan seorang filsuf
kelahiran Jerman, Arthur Schopenhauer (1788-1860). Bagi Schopenhauer, terdapat
dua jenis realitas yang ciri-cirinya sangat berbeda: pertama, dunia
sebagai representasi (world as representation), yakni dunia yang bisa
dipahami dan dicerap melalui kategori-kategori rasional. Realitas ini mirip
seperti alam fenomenal dalam istilah Immanuel Kant. Kedua, dunia sebagai
Kehendak (world as will), yaitu dunia yang sama sekali berbeda dengan
jenis pertama dan cara mengaksesnya tidak bisa dilakukan melalui kategori-kategori
rasional, melainkan melalui mawas-diri (self-consciousness), pengekangan
diri dan pencerahan batin. Inilah dunia yang hakiki bagi Schopenhauer, sebab
dunia sebagai representasi adalah manifestasi dari dunia Kehendak.
Lantas, di mana posisi seni bagi
Schopenhauer? Di sinilah letak apresiasi Schopenhauer terhadap seni. Bagi
filsuf Jerman ini, seni adalah akses lain terhadap dunia Kehendak, jalan
alternatif untuk bisa sampai kepadanya. Hal ini karena seni bisa mengondisikan
manusia untuk mengekang hasrat-hasrat materialnya, sedangkan akses kepada dunai
Kehendak itu tidak lain adalah melalui pengekangan diri dari hasrat-hasrat
material.
Demikianlah, seni adalah media
yang ampuh untuk mencapai yang hakiki, untuk mengakses dunia Kehendak. Bagi Schopenhauer,
seni pun terpilah-pilah secara hierarkis, semakin tinggi tingkat imitatifnya,
semakin rendah kemampuannya untuk menjadi penengah antara manusia dengan dunia
Kehendak. Hierarki itu dia jadikan seperti ini:
Pertama, seni visual.
Dengan demikian, lukisan, patung, arsitektur, taman, air mancur, dan lain-lain
seni visual merupakan akses terendah dari bentuk seni lain dalam keampuhannya
menjadi medium mengakses dunia Kehendak. Kedua, puisi. Puisi menempati
posisi yang lebih tinggi ketimbang yang pertama sebab puisi lebih memiliki ciri
objektivikasi Kehendak ketimbang seni visual. Puisi merepresentasikan sesuatu
yang kurang material ketimbang seni visual. Ketiga, tentu saja musik
(Schopenhauer tidak bermaksud sembarang musik, melainkan hanya musik orkestra
hasil gubahan para maestro). Kenapa musik? Sebab dalam musiklah objektivikasi
Kehendak mendapat tempat yang paling penuh. Musik adalah akses terbaik untuk
mencapat dunia sebagai Kehendak.
Dua filsuf di atas telah
menjadikan puisi—dan sastra pada umumnya—sebagai perhatiannya dan objek dari
filsafatnya yang canggih. Saya rasa, dua filsuf ini saja sudah memadai untuk
menggambarkan bahwa puisi adalah salah satu objek filsafat yang tidak bisa diabaikan
begitu saja. Melihat ini saja, kita sudah bisa mempertimbangkan bahwa hubungan
antara filsafat dengan puisi tidaklah main-main. Dengan penjelasan berikutnya
ini, hubungan itu akan semakin terlihat keseriusannya.
Pandangan para filsuf mengenai
puisi—dan sastra serta kesenian pada umumnya—kemudian bahkan menjadi cabang
tersendiri dalam filsafat, yakni Estetika. Estetika adalah cabang filsafat yang
menyelidiki ‘nilai keindahan’. Kenapa ‘nilai keindahan’ harus menjadi objek
penyelidikan tersendiri dalam filsafat? Sebab, sebagaimana dimaklumi bersama,
filsafat adalah sebuah disiplin ilmu. Sebuah disiplin ilmu tentunya tidak bisa
dipisahkan dari problematikan kehidupan manusia. Dari semua problematika yang
dihadapi oleh manusia, siapa yang bisa mengabaikan aspek keindahan? Manusia
mana yang bisa tidak mengindahkan aspek keindahan dalam hidupnya? Justru karena
keindahan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari manusia, filsafat
menjadi absah untuk menyelidiki dan menyelaminya secara mendalam. Setidaknya,
dari pertimbangan inilah Estetika hadir sebagai sebagai cabang filsafat.
***
Kedua, kita bisa melihat
hubungan antara filsafat dengan sastra atau puisi dalam kenyataan bahwa banyak
para filsuf yang menuliskan dan mengekspresikan gagasan-gagasan filosofisnya
dalam bentuk sastra atau puisi. Siapa yang tak kenal Frederich Nietzsche
(1844-1900)? Bukunya yang terkenal, Thus Spoke Zarathustra, bukanlah
sekumpulan tulisan yang runtut dan sistematis seperti buku-buku filsafat pada
umumnya. Memang, orang-orang menyebutkan bahwa buku itu berisi kumpulan
aforisme-aforisme, bukan sekumpulan puisi. Namun, tidak tepat pula jika buku
itu tidak memuat kandungan sastra sama sekali. Bahkan sebelum Martin Heidegger
mengeksplisitkan pemikiran filosofisnya, Nietzsche dianggap oleh para akademisi
Inggris sebagai seorang sastrawan ketimbang filsuf.
Tak bisa dilupakan pula Martin
Buber (1878-1965). Filsuf keturunan Yahudi menulis bukunya, I-Thou, dengan
cara yang sama: kumpulam aforisme. Pandangan-pandangan filosofisnya tidak dia
sampaikan bukannya dalam rentetan-rentetan argumen yang ketat, melainkan dalam
fragmen-fragmen aforisme yang puitis.
Lalu Jean Paul Sartre (1905-1980)
dan Albert Camus (1913-1960), sama-sama dikenal sebagai filsuf eksistensialis
brilian asal Prancis, juga sama-sama menulis berbagai tulisan sastra. J. P.
Sartre menulis banyak sekali cerita pendek dan novel. Naskah dramanya
dilakonkan dengan sangat spektakuler, ditonton oleh banyak sekali orang.
Novel-novel Camus juga menakjubkan. Pandangan-pandangan filosofis dalam
novel-novel: The Myth of Sisyphus, The Plague, The Rebel, dan banyak
lagi.
***
Cara ketiga untuk melihat
hubungan erat antara puisi dan filsafat itu bisa dilihat dari ragam pemikiran
filosofis pos-modernisme. Ragam pemikiran bermula dalam suatu fase historis
dalam filsafat yang disebut sebagai “language turn”, titik balik kepada
bahasa. Pada fase sejarah ini (yang tetap berlangsung hingga sekarang), filsafat
tiba-tiba menyelidiki bahasa, tapi bukan untuk memahami bahasa itu sendiri,
melainkan untuk memahami objek abadi filsafat, yakni alam semesta dan kehidupan
manusia.
Dalam fenomena “titik balik
kepada bahasa ini”, filsafat terbelah kepada dua kecenderungan, persis seperti
dua watak bahasa. Di satu sisi, terdapat beberapa filsuf yang mempertahankan
watak logis dari bahasa, yakni kecenderungan bahasa untuk merepresentasikan
realitas di luar dirinya. Yang dilakukan filsafat adalah klarifikasi bahasa,
entah melalui verifikasi, atom bahasa, teori cermin, atau lainnya. Positivisme
Logis dan Filsafat Analitis adalah dua
aliran utama dalam kecenderungan filsafat ini.
Di sisi lain, terdapat beberapa
filsuf lain yang memilih untuk menyelediki bahasa yang cenderung ‘transformatif’
sifatnya. Artinya, selain berfungsi untuk merepresentasikan realitas, bahasa
juga fungsi lain yang tak kalah pentingnya ketimbang fungsi tadi, yaitu fungsi
menciptakan realitas. Itulah yang dimaksud fungsi transformatif bahasa.
Nah, demi mengerti hubungan
bahasa dan sastra, kecenderungan kedua ini akan dijabarkan dengan agak
panjang-lebar. Hal ini tidak lain karena fungsi transformatif bahasa justru bekerja
penuh dalam bahasa sastra.
Ciri-ciri bahasa sastra adalah
metafor. Dengan metafor, bahasa mampu menggambarkan sesuatu yang tersembunyi, “tak-terkatakan”,
misterius, atau bahkan yang tak terjangkau oleh penalaran konvensional. Metafor
adalah semacam jalur alternatif agar bahasa mampu berbicara ketika cara
denotatif tidak mampu melakukannya.
Apa yang tak terelakkan dari metafor
adalah tafsir. Metafor adalah gambaran tak langsung mengenai objek yang
diacunya. Ia menggambarkannya tidak langsung karena dalam melakukannya ia masih
meminjam objek perantara yang menjadi penghubung antara metafor dengan
objeknya. Oleh karena itu, untuk menemukan hubungan antara perantara dengan
objek metafor, seorang penulis dan/atau pembaca harus mengandalkan imajinasinya.
Di satu sisi, seorang penulis harus mengandalkan imajinasinya untuk memahami
objek yang akan dia gambarkan agar metafor yang dia buat bisa terjalin kuat dan
elegan, sedangkan pembaca pun harus mengandalkan imajinasinya pula untuk menafsirkan
metafor yang sedang dia baca agar dengan tafsir dia bisa mengerti
hubungan-hubungan dalam metafor tersebut. Tafsir, dengan demikian, menjadi
elemen yang tak terpisahkan dalam setiap tindakan metafor.
Beberapa filsuf kontemporer bahkan
meradikalkan pandangan ini dan menganggap bahwa tafsir merupakan cara yang tak
terelakkan dalam memahami alam semesta. Tafsir adalah cara manusia berada, kata
Martin Heidegger. Tidak hanya dalam bidang-bidang kehidupan sosial, bahkan
setiap upaya untuk memahami dunia fisik pun tafsir tidak bisa diabaikan. Ketika
terdapat deskripsi mengenai alam fisik, misalnya ‘planet adalah benda
langit yang mengelilingi sebuah bintang’, sebetulnya di dalamnya tersirat
sebentuk metafor. Jadi, deskripsi planet di atas tidak betul-betul definitif,
melainkan tersirat pengertian bahwa ‘planet sama seperti benda langit
yang mengelilingi sebuah bintang.’
Dengan demikian, bisa disimpulkan
bahwa filsafat pos-modern tidak hanya telah bersinggungan sastra, melainkan
telah menjadikan sastra sebagai paradigma berpikirnya. Bahasa sastra adalah
tren pemikiran terkini yang digunakan oleh pemikiran filsafat pos-modern.
Tren pemikiran filosofis yang
mengambil jalur ini ada banyak, di antaranya hermeneutika (terutama sejak Hans
Georg Gadamer), Semiotika (terutama di karya-karya Roland Barthes yang belakangan),
Dekonstruksionisme, Genealogi, dan beberapa lagi.
***
Muhammad Iqbal (1877-1938),
filsuf Muslim Modern berkebangsaan India, pernah berkata dalam sebuah bukunya: “Filsafat
penjelasan hidup, kesusastraan nyanyian hidup, kesenian perhiasan hidup,
tasawuf intisari hidup, dan ibadah pegangan hidup!”
Kata-kata Iqbal ini menggambarkan
tren keilmuan masa kini yang menekankan integrasi. Pandangan bahwa ilmu yang
satu dengan yang lain terpisah-pisah, terkotak-kotak atau tak berhubungan sudah
menjadi kuno, diganti dengan pandangan baru yang cenderung menggabungkan,
menyilang-sengkarutkan, dan mengaitkan satu sama lain. Ibarat sebuah jaring,
ilmu adalah benang-benang yang satu sama lain terikat erat, tersusun sedemikian
rupa sehingga membentuk jaring yang sempurna. Tanpa mengindahkan pertalian itu,
kita hanya akan melihat benang satu per satu dan gagal mendapatkan hubungannya.
Begitu pula ilmu, kegagalan menemukan hubungan satu sama lain hanya akan
menghasilkan kesimpulan yang parsial, sepihak, atau terpotong-potong. Realitas yang
digambarkan oleh ilmu hanyalah realitas yang tak lengkap.
Demikian pula halnya dengan
filsafat dan sastra, tidak akan terlihat hubungannya bila yang dicermati
hanyalah masing-masing. Filsafat dan sastra adalah dua wilayah keilmuan yang
dalam sejarah telah bergelut satu sama lain.[]
Baik artikelnya. Berdasarkan pembacaan yang cukup dalam. bisa saling berbagi
ReplyDeleteTerima kasih, mas vincent. Mari saling berbagi :)
DeleteARTIKELNYA MENAMBAH WAWASAN..TERIMA KASIH..
ReplyDeleteDengan senang hati, mas Bambang. Terima kasih atas kunjungannya :)
ReplyDeleteTerima kasih artikelnya. Membantu banget dalam pembacaan Poetics.
ReplyDeleteDengan senang hati, mas dion... :)
DeleteBlog yang menarik, saya teringat apa yang dikatakan Albert Camus :" Saya lelaki Mediterranean, dengan badan sehat yang menyembah keindahan dan badan seperti orang Yunani kuno. Saya berada di antara kesengsaraan dan sinar matahari. Kesengsaraan menghentikan saya akan kepercayaan akan bahwa semua baik adanya di bawah matahari, dan akan sejarah; matahari mengajari saya bahwa sejarah bukanlah segalanya. "
ReplyDeleteSaya mencoba menulis blog tentang Albert Camus, semoga anda juga suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html
Blog yang menarik, saya teringat apa yang dikatakan Albert Camus :" Saya lelaki Mediterranean, dengan badan sehat yang menyembah keindahan dan badan seperti orang Yunani kuno. Saya berada di antara kesengsaraan dan sinar matahari. Kesengsaraan menghentikan saya akan kepercayaan akan bahwa semua baik adanya di bawah matahari, dan akan sejarah; matahari mengajari saya bahwa sejarah bukanlah segalanya. "
ReplyDeleteSaya mencoba menulis blog tentang Albert Camus, semoga anda juga suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html