[photo credit: here] |
Oleh: Madarik Yahya
Awa tak sanggup menahan perasaan, saat Bang Aji meminangnya.
Seluruh keadaan yang dialami kini dirasa membuat perasaan dan pikirannya
gundah. Tak disangka, dia mengajukan diri dengan keberanian total menghadap
orang tuanya. Tutur kata dan sikap yang santun membuat bapak-emak Awa harus
mengangguk mengiyakan permintaan Bang Aji.
Bang Aji memang pandai menata huruf hingga kalimat demi kalimat
tersusun begitu rapi membuat hampir semua pendengarnya terhipnotis. Ungkapan
Bang Aji benar-benar telah menyihir kedua orang tua Awa, membuat akhir
keputusan yang diterima Bang Aji begitu membahagiakan, tetapi menjadi sambaran petir
yang mengagetkan bagi pribadi Awa.
Sebetulnya Awa menyadari bahwa laki-laki
yang menjatuhkan pilihan kepadanya itu benar-benar pandai bersilat lidah. Hal
ini pula yang sangat dimaklumi Awa atas potensi Bang Aji yang selama ini ia
kenal. Tetapi soal kedua orangnya yang tidak segan-segan membukakan pintu untuk
menerima Bang Aji sungguh di luar dugaan. Bagi Awa yang selama ini dipahami,
bapak-emaknya cukup selektif untuk mempersilahkan pinangan seseorang sekalipun
disertai orang tua atau dihantar oleh wakil keluarganya. Sudah banyak kaum adam
yang mundur teratur karena pinangan ditolak dengan ragam cara. Bahkan kasus
yang masih membayang di pikiran Awa saat pria ganteng dari tetangga kampung
harus berbalik pulang dengan tangan terkepal dan ucapan kata-kata yang tidak
senonoh disampaikan begitu vulgar seakan hendak menantang akibat penolakan ini.
Untunglah kondisinya bisa dinetralisir oleh tetangga dan kerabat yang tidak
tersulut oleh pertengkaran yang kian memanas. Kemarahan bapaknya Awa yang
sempat terpancing emosi menjadi reda setelah orang-orang dekatnya merayu sekuat
tenaga agar sosok yang temperamental itu tidak meladeni tamunya. Namun, ketika
Bang Aji mengetuk pintu hati kedua orang tua Awa, seakan-akan lubang masuk
kalbu keduanya tak lagi berdaun pintu. Tangan terbuka menandai pinangan Bang
Aji bak gaung bersambut. Permintaan memadu kasih dengan putrinya tak menemukan
halangan sama sekali. Lega rasa Bang Aji melingkupi seluruh relung-relung
nurani yang paling dalam. Bahagia kini tengah memeluk pria gagah ini.
Bagi Awa, keadaan ini merupakan kondisi yang sulit untuk
digambarkan. Kenapa bapak-emak menerima tanpa prasyarat apapun yang diajukan.
Seakan keduanya begitu lugunya mendengarkan penjelasan Bang Aji yang memang
terdengar mantap berisi. Awa merasa berada di puncak kebimbangan yang tak
berujung. Rasa tidak percaya menyaksikan sikap bapak-emaknya terkadang
menghantarkan gadis berkulit langsat ini pada perasaan syakwasangka yang
berlebihan kepada keduanya. Mengapa Anda berdua begitu cepat memberi ruang
jawaban di mana hanya aku yang harus mengisi jawabannya, pikir Awa seakan-akan
mengajukan 'gugatan' keharibaan orang tuanya. Kalaulah bukan karena takut dosa,
Awa akan memilih sikap menantang keduanya dengan segala macam argumentasi yang
ia kuasai.
Masa penjajakan sebetulnya sudah dijalani oleh Bang Aji dan Awa
dengan memulai perkenalan, perbincangan santai sehingga masuk pada topik yang
serius persoalan langkah mengarungi bahtera kehidupan bersama. Cafe, alun-alun
kota, di bawah pohon rindang atau kadang-kadang pantai telah menjadi saksi atas
kebersamaan mereka berdua. Banyak hal yang telah mereka bicarakan dengan segala
ragam tema dan judul. Gelak tawa maupun raut serius merupakan bagian dari
pernak-pernik yang menghias pertemuan mereka. Awa memandang Bang Aji sebagai
lelaki yang penuh tanggungjawab. Apa yang ia ucapkan hampir-hampir dapat
dipastikan merupakan gambaran dari kelakuannya setiap hari. Jika saja ada
seseorang yang bertanya Bang Aji, maka Awa hanya cukup mengarahkan agar ia
meneliti perilaku dan ucapannya. Tingkah laku Bang Aji seakan menjadi makna
ungkapan-ungkapannya. Selama ini, Awa memperhatikan bahwa kejujuran di setiap
rangkai ujaran Bang Aji bisa ditilik dari potongan-potongan kelakuannya.
Dari sisi ekonomi, Bang Aji termasuk orang biasa yang sudah sukses.
Usahanya dia tapaki mulai dari bawah dengan segala perjuangan yang begitu
dahsyat dan memerlukan banyak pengorbanan tanpa batas. Kehilangan modal akibat
penipuan mitra dan kawan kerja, perpindahan lokasi dan tempat, merupakan
lika-liku perjalanan dagangannya yang ia upayakan. Tetapi kesengsaraan mengail
harta karun bagai pil pahit yang menyehatkan di kemudian hari. Ulet dan
kesabaran yang selama ini dipertahankan dengan tabah membuahkan hasil gemilang.
Bang Aji benar-benar menjelma menjadi hartawan yang diperhitungkan bagi pelaku
bisnis asal kotanya. Pada segi ini sebetulnya Awa tidak merasa was-was
menjalani hidup bersamanya. Ia akan mencicipi gaya hidup layak dengan hanya
memainkan telunjuk untuk mendapatkan yang dikehendaki bakal nyata. Hidup glamor
tentu akan berada dalam genggaman andai saja Awa mau memutuskan untuk memilih.
"Aaah…" serunya pelan.
Tetapi kadang perasaan yang selama ini selalu ia jaga agar tidak
menuduh bapak-emaknya, kini tercampuri oleh praduga yang menempatkan kedua
orang tuanya pada posisi "mengincar" rupiah. Awa menganggap bahwa
prinsip yang selama ini diyakini oleh anggota keluarganya sangat teguh. Prinsip
itu bahwa dunia fana hanyalah merupakan perantara untuk menggapai alam baka.
Akankah gemilau duniawi sanggup melunturkan prinsip yang begitu kuat dipedomani?
"Tentu bapak-emak takkan sedangkal ini. Uuh…" pikir Awa.
Wanita lembut ini memang berada dalam puncak keraguan. Meronta di
tengah tembok tradisi penghormatan yang sangat kental jelas tidak mungkin.
Lebih-lebih bapak-emaknya, selaku sosok yang wajib diagungkan, sudah mengetok
palu bagi nasib anaknya.
Kini, Awa pasrah sepenuh hati untuk meletakkan masa depan hidupnya
di atas pundak bapak-emaknya. Ia meyakini di dalam cengkeraman tangan mereka
berdua, kunci sorga berada. Ia juga menerima dirinya sebagai separo cinta Bang
Aji, meskipun kenyataan ini cukup perih untuk dijalani. Harapan bahwa kelak di
alam makhsyar akan dianugerahi payung emas merupakan embun yang menyejukkan
kalbu Awa.[]
0 komentar:
Post a Comment