[sumber] |
Oleh: Muhammad Madarik
"Fika!" Teriak mamaknya. Dengan tergopoh-gopoh
Fika menghampirinya sambil menundukkan kepala tanpa punya sedikit nyalipun
untuk memandang sang ibu.
"Kamu itu, tuli apa.... Dipanggil mamak enggak segera
datang!" Lagi-lagi anak kedua dari tiga bersaudara ini mendapat damprat.
Fika hanya mampu menghela nafas panjang tidak bisa memberikan sepatah katapun.
"Mamak," teriring desahnya yang berat, ia menyebut
mamaknya di relung hati terdalam. Padahal, hanya dalam hitungan menit mamaknya
memikulkan titah untuk mengambil baju-baju adiknya dan melipatkan untuk
selanjutnya ditata dalam lemari si bungsu.
Buk, buk, buk! Pukulan sang ibu mendarat di bokong Fika di
lain hari. Tak sanggup keluar dari
"hukuman", anak itu bisa
meneteskan air bening yang mengalir di pipinya. Ia hanya dapat meringkuk di
pojok ruang tamu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Tercengang meratapi nasib
tirani yang seakan tak berkesudahan. Celoteh tak kunjung selesai dari mulut
mamaknya. Makian dan hinaan terus saja mengucur tiada henti. Padahal sebab
musababnya tak sebanding dengan sanksi yang diterima. Fika cuma merasa membuat
adik kecilnya menangis sehingga menjerit sejadi-jadinya. Seandainya sang mamak
meneliti dengan seksama, pastilah Fika mendapatkan pemihakan dan perlindungan
yang seharusnya ia dapatkan. Entah kenapa, anak malang ini selalu saja menjadi
pesakitan setiap kali adiknya menangis atau sekadar memanggil mamaknya
seakan-akan mengadu. Faktanya, si adik selalu mencari gara-gara disertai sikap
manjanya.
Isi hunian ini pun bagai tak pernah memihak Fika. Sang kakak
seringkali melaporkan hal sepele atau bahkan acapkali mengada-ada.
"Mak, Fika menjatuhkan piring tuh, sampai
pecah," kilah kakak pada ratu rumah tangga.
Buk, buk, buk! Kembali tangan mamak menyambar tubuh Fika.
"Bukan aku, Mak. Bukan aku..." Adu Fika mendayu di
sela tangisan menahan sakit bekas gebukan. Tetapi sejuta suara parau Fika
seperti meong kucing dari kejauhan di gendang telinga sang ibu.
Bapak, sebagai gambaran kepala rumah tangga yang diharapkan
dapat menaungi seisi rumah tangga dari panas dan hujan, nyatanya tidak mampu
berbuat banyak di depan istrinya.
Sang suami hanya bisa tertegun menyaksikan kenyataan di hadapannya.
Ia tahu banyak hal dibalik kelakuan istrinya, namun tangannya tak sampai untuk
menjamah lengan sang mantan pacar. Nada bicaranya pasti berada di bawah suara
istrinya dan kepalanya terus saja menunduk tatkala bertatapan dengan mata
garang sang istrinya. Apalagi mencegahnya, sang suami mengambil sikap
menegurnya saja bak seorang hamba yang sedang berhadapan dengan diraja
penguasa. Sebagai seorang ayah yang melihat setiap kejadian dalam rumah tangga
dengan nurani, dalam hati sang suami selalu mengeluh atas peristiwa yang
menimpa anak dan tindakan semena yang dilakukan si istri.
"Heeh…." sang bapak menghela nafas panjang seraya
menggelengkan kepala, seakan sebuah ekspresi dari tumpukan sekian perasaan yang
terhimpit di cadas ketidakmampuan.
Begitu sang suami menegor dengan sikap dan kalimat yang
paling halus sekalipun, si istri langsung menyergap dengan kata-kata yang tanpa
henti bercampur ucapan yang seringkali cenderung kasar.
Anak yang duduk di kelas V SD ini memang merasakan nestapa
yang begitu sangat perih. Hampir tiada hari tanpa amarah sang ibu. Teriakan dan
bentakan yang memekik di telinga merupakan goresan kanfas yang mewarnai bingkai
kehidupan bocah ini.
***
Mak, hari ini kembali aku mendapat pertanyaan yang sama dari
Ibu Nyai: “Nak, kenapa kamu ini? Apa sedang sakit? Apa yang kamu pikirkan?”
Pertanyaan tak berbeda juga dilontarkan ibu wali kelas XII
IPA. Bahkan seminggu yang lalu, aku dipanggil Bapak Kepala Sekolah yang
mencercaku dengan pertanyaan serupa.
Mak, aku harus menjawab apa? Aku sudah berusaha untuk
mengikuti semua kegiatan sore dan malam di kompleks pesantren. Aku telah
berkejaran dengan waktu agar tidak ketinggalan saat jam masuk sekolah. Aku juga
berupaya sekuat tenaga membaca ulang mata pelajaran yang didapat di kelas.
Tapi apa daya. Memang harus aku akui, selalu saja terasa
berat mata ini untuk dibuka. Rasa kantuk datang tanpa kompromi. Belum lagi otak
ini serasa memang tak mampu menyerap pelajaran dari guru atau ustazah. Padahal
aku sudah membaca. Dalam belajar kelompok, aku jarang absen.
Aku bingung, Mak. Teman-temanku di kelas sering mengejek karena
nilai harianku tak pernah tuntas.
Mak, inilah keluh kesah pengisi lembar diaryku hari ini.
Salam sejahtera buat Ayah dan Mamak dari perantaun. Doaku buat ayah dan
mamak."
"Rafika Syahru"
Kota Apel. 090915.
0 komentar:
Post a Comment