Di dalam hidup,
kita kerap kali merasa tersesat. Kita kehilangan pegangan hidup, karena masalah
dan krisis datang bertubi-tubi, seolah tanpa henti. Ibaratnya keluar dari mulut
harimau, dan masuk ke mulut singa. Tegangan hidup menghantam terus, tanpa
memberi jeda. Kita pun juga kerap kali merasa kehilangan arah. Kita tidak lagi
punya tujuan hidup yang jelas. Pegangan hidup seolah rapuh, dan begitu mudah
lepas. Kita tidak lagi menemukan makna dari apa yang sedang kita lakukan.
Ketika ini terjadi, buahnya ada dua, yakni kecemasan dan penderitaan. Kita
merasa cemas atas apa yang akan terjadi di masa depan. Kecemasan itu melahirkan
tegangan dan penderitaan di dalam diri kita. Pada tingkat yang ekstrem, kita
jatuh ke dalam depresi, dan bahkan bunuh diri.
Hal yang sama
kiranya bisa terjadi di tingkat politik. Politik yang tersesat adalah politik
yang tanpa tujuan. Politik menjadi tidak bermakna. Semua kebijakan tidak
bertujuan untuk menyejaterahkan rakyat, melainkan untuk memperkaya para pejabat
yang korup dan biadab. Ketika ini terjadi, buahnya dua, yakni kemiskinan dan
ketidakadilan sosial yang merajalela di masyarakat. Di satu sisi, ada orang
memiliki lebih dari lima mobil mewah di rumahnya. Di sisi lain, ada keluarga
yang kekurangan uang sekedar untuk makan hari ini. Inilah pemandangan di ibu
kota, dan juga di berbagai kota besar di Indonesia.
Mencari Mata
Air.
Dalam keadaan semacam ini, apa yang mesti dilakukan? Ketika tersesat, kita
perlu mencari pegangan hidup. Kita perlu mencari titik tolak, dimana kita bisa
memulai untuk menemukan kejernihan. Cerita pendek ini kiranya bisa membantu.
Ada orang yang
mendaki gunung. Begitu tingginya gunung tersebut, sampai ia melewati batas
awan. Ketika melewati batas awan, gunung tersebut dipenuhi kabut. Cuaca begitu
dingin, dan mata nyaris tak dapat melihat. Ia tersesat. Ia tidak dapat
menemukan jalan pulang. Seketika itu, ia teringat. Air selalu mengalir ke
bawah. Ia pun mulai mencari mata air kecil, dan mengikuti alirannya, berharap
bisa menemukan jalan turun ke bawah. Akhirnya, ia berhasil melewati batas awan,
dan menemukan jalan pulang. Mata air kecil yang mengalir ke bawah telah menjadi
petunjuknya untuk menemukan jalan pulang. Mata air tersebut telah menjadi
pegangannya. Ia mengikutinya, dan akhirnya menemukan jalan yang ia cari.
Melestarikan
Kehidupan.
Mata air adalah sumber kehidupan. Tidak ada satupun kehidupan yang bertahan di
alam ini, tanpa air. Dari sini, kita bisa belajar, bahwa ketika tersesat, kita
perlu untuk mencari pegangan yang juga merupakan sumber kehidupan. Pegangan itu
haruslah berupa seperangkat nilai atau pun tindakan yang melestarikan kehidupan
itu sendiri. Melestarikan kehidupan itu berarti berbuat baik. Melestarikan
kehidupan juga berarti sedapat mungkin mengurangi penderitaan yang ada di
sekitar kita. Berbuat baik disini juga harus dipahami dalam arti luas. Ia bukan
hanya sekedar memberi uang untuk mendapat pahala, tetapi merupakan dorongan
alami dari dalam batin untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang sedang
terjadi.
Ketika kita terus
berusaha melestarikan kehidupan, maka kita akan kembali menemukan arah. Kita
akan kembali menemukan makna di dalam hidup kita. Secara perlahan tapi pasti,
kita akan melihat jalan pulang untuk melampaui segala bentuk kecemasan dan
penderitaan di dalam hidup. Pendek kata, kita akan menemukan jalan pulang.
Ketika dunia
politik tersesat, hal yang sama kiranya perlu dilakukan. Korupsi dan kebiadaban
politik tidak pernah menyeluruh. Selalu ada orang yang teguh berpegang pada
prinsip-prinsip keberadaban, pun ketika krisis politik terjadi. Mereka tidak
boleh larut ke dalam korupsi, melainkan harus tetap berpegang pada petunjuk
ketika tersesat, yakni melestarikan kehidupan. Sikap melestarikan kehidupan
akan berbuah banyak. Banyak orang akan terinspirasi. Ide-ide baru demi kebaikan
bersama dan pelestarian kehidupan akan berkembang. Jalan menuju keadilan dan
kemakmuran bersama pun akan terbuka, walaupun mungkin tak akan pernah terwujud
sepenuhnya.[]
sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment