Sekali waktu kita perlu belajar kepada anjing yang tidak
suka menyalak. Dan bercermin kepada anjing yang sabar.
Ironi itu datang dari seorang siswi SMA di Medan. Mula-mula
dia memarahi Polwan Ipda Perida yang menghentikan mobilnya saat dia merayakan
selesainya Ujian Nasional (UN) Rabu, 6 April lalu. Dia marah-marah dan
mengancam melaporkan Ipda Perida kepada Inspektur Jendral (Pol) Irman Depari
yang dia sebut sebagai ayahnya.
Tidak lama berselang, Irman membantah kalau siswi tersebut
adalah anaknya. Irman tidak mempunyai anak perempuan. Dia hanya mengakui kalau
siswi tersebut adalah keponakannya.
Semenjak itulah, penduduk dunia maya ngamuk. Di banyak media
sosial, siswi ini di bully habis-habisan. Bahkan, bully tersebut sempat menjadi
trandingtopic di twitter. Media online, koran dan juga televisi banyak
memberitakan kejadian itu. Sebagian besar beritanya menyudutkan siswi tersebut.
Setelah hujatan datang dari berbagai penjuru mata angin,
ayah kandung siswi tersebut yakni Makmur Depari Sembiring jatuh sakit lalu
meninggal dunia tiga jam setelah dibawa ke rumah sakit. Siswi yang menjadi
korban bully shock. Dia juga harus kehilangan ayah kandungnya yang bukan
jenderal.
Kisah siswi ini mungkin hanya sedikit kisah dari bully yang
sering terjadi di media sosial. Kau tahu, adanya media sosial membuat semua
orang seolah mempunyai panggung untuk melakukan apa saja dan menulis apa saja.
Orang yang sehari-hari kita kenal penyabar, bisa terlihat
garang di media sosial. Pendiam yang hanya bicara seperlunya di dunia nyata,
bisa menyalak sesuka hati di dunia virtual. Sebaliknya, orang yang dungu kadang
terlihat pandai, dan orang yang pandai sekali waktu bisa terlihat bebal.
Dari aneka macam kebiasaan di media sosial itu, yang paling
saya khawatirkan adalah kebiasaan menyalak para pengguna media sosial. Orang
dengan mudah menyalak sesuka hati mereka, meski informasi yang mereka terima belum
tentu benar.
Para penyalak itu juga dengan mudah menghujat pada suatu
kasus, lalu menghujat di kasus lain dalam waktu berdekatan. Mereka menebar
kebencian sama sekali tanpa beban, berpindah-pindah tanpa menghiraukan dampak
dari komentar yang mereka tulis.
Meminjam bahasa hewan, mereka menggonggong di banyak tempat
tanpa peduli gonggongan mereka ada yang memperhatikan. Atau, mereka menyalak
lalu beberapa menit kemudian lupa terhadap yang mereka tulis. Sedangkan korban
dari gonggongan tersebut harus membaca berulang-ulang dan merasa sakit hati,
sedangkan yang berkomentar sudah lupa dia habis menulis apa.
Para penyalak itu biasanya disebut haters. Umumnya, mereka
tidak mempertimbangkan sisi manusiawi sebelum berkomentar. Dalam kasus siswi di
Medan misalnya, mereka tidak mempertimbangkan labil-nya psikis siswi yang masih
remaja. Mereka tidak berpikir positif semisal, siswi itu mungkin keceplosan
atau sedang euforia setelah Ujian Nasional selesai.
Perihal menjadi korban haters, saya pernah menjadi korban
yang membuat kepala pening ketika membaca komentar-komentar para haters. Ketika
itu, dua wartawan tempat saya bekerja menjadi korban perampasan oleh anggota
TNI AU dari Lanud Abdul Rachman Shaleh yang bermarkas di Pakis, Kabupaten
Malang. Kamera dan kartu identitas wartawan tersebut dirampas dengan alasan
mereka mengambil foto dengan drone saat pesawat TNI AU jatuh di Blimbing, Kota
Malang.
Berita tentang perampasan itu lantas di upload oleh
seseorang di grup salah satu komunitas di Malang. Entah kenapa, anggota grup
ini lantas menyalahkan wartawan yang menjadi korban perampasan. Mereka membela
TNI AU yang menurut mereka sedang berduka.
Keesokan harinya saya mengupload berita lanjutan tentang
wartawan yang menjadi korban perampasan. Kalau tidak salah berita itu tentang
Komandan Lanud Abdul Rachman Shaleh yang bersedia meminta maaf kepada dua
wartawan itu. Lagi-lagi, anggota grup melakukan bully habis-habisan dan
menganggap permintaan maaf komandan tersebut sebagai tindakan kesatria.
Beberapa hari berselang, wartawan dari media lain mengupload
tentang rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut banyak oknum TNI
yang menjadi beking perusahaan multinasional. Lagi-lagi, hal tersebut menjadi
korban bully kebanyakan anggota grup. Bahkan, seorang anggota grup berkomentar
kalau wajar TNI menjadi beking perusahaan, karena hanya mereka yang bisa.
Menurut dia, membekingi perusahaan tidak bisa dilakukan oleh orang sipil. Tentu
saja, menurut saya komentar tersebut menyalahi akal sehat, karena yang namanya
pembekingan tentu tindakan terlarang.
Kembali pada kasus siswi di Medan, yang membuat saya miris
dalam kasus ini karena banyak media mainstream khususnya media online yang
larut pada kelakuan para haters. Pada kasus tersebut, saya beberapa kali
menemukan media online yang memuat bully para nitizen. Jadilah, media online
itu ikut merayakan bully yang dilakukan kepada siswi tersebut.
Media juga lupa terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pada pasal
lima kode etik dijelaskan kalau wartawan tidak boleh menyebut dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang
menjadi pelaku kejahatan.
Pada poin selanjutnya dijelaskan kalau identitas adalah
semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang
lain untuk melacak. Selanjutnya, yang disebut anak-anak adalah seorang yang
berusia 16 tahun dan belum menikah. Karena alasan inilah saya tidak menyebut
nama siswi itu dalam tulisan ini.
Saya lantas iseng-iseng mencari berita di dua media online.
Di satu media online, saya menemukan 29 berita soal kasus ini. Semua berita
menulis nama lengkap siswi tersebut, dan sebagian besar ada fotonya yang tidak
diblur.
Pada media online satu lagi saya menemukan 20 berita.
Semuanya disebut nama lengkap dan ada foto siswi tersebut. Dari sekian foto,
hanya empat foto yang di blur. Selebihnya, foto-foto siswi tersebut dipajang
apa adanya.
Mungkin media bisa membela diri karena kemungkinan siswi
tersebut berumur di atas 16 tahun. Sehingga tidak jadi soal jika menyebut nama
lengkap dan menampilkan foto tanpa di blur. Pembelaan tersebut tentu saja bisa
dilakukan, meski dalam banyak berita saya tak menemukan umur siswi tersebut
dicantumkan sehingga tidak diketahui berapa umur siswi itu.
Selain itu, jika mengacu pasal satu Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 ahun 2002 tentang
Perlindungan anak, pada pasal tersebut dijelaskan kalau yang disebut anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Pada kasus ini, saya berdiskusi singkat dengan seorang
wartawa senior. Dia menjelasan kalau Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang
Perlindungan Anak bisa dijadikan acuan untuk kita memberi inisial kepada
anak-anak yang bermasalah dengan hukum. Soal ini saya setuju, toh etika dan
menjaga masa depan anak jauh lebih penting daripada sebuah klik di media
online.
Setelah panjang lebar, lalu apa hubungannya dengan manusia
yang harus belajar kepada anjing yang tidak suka menyalak. Kalimat itu saya
jadikan pengantar karena baru-baru ini saya sedang membaca novel terbaru karya
Eka Kurniawan berjudul O.
Novel ini bercerita tetang tokoh utama O yang merupakan
monyet. Selain monyet, ada juga tokoh bernama kirik yang tak lain adalah anjing
kecil. O dan Kirik harus bersabar melayani sikap semena-mena manusia. Keduanya
juga tidak sering menyalak menghadapi kelakuan manusia yang bebal. Pada sikap
itu, kita sebenarnya bisa bercermin.[]
Penulis adalah wartawan, tinggal di www.irhamthoriq.com
sumber gambar:
Old Mary full of grease
by Carlos Gutierrez
sumber gambar:
Old Mary full of grease
by Carlos Gutierrez
heem,,,
ReplyDeletebetul, betul enak dibaca dan patut dijadikan renungan
tulisan kak irham memang sering menohok :p
Delete