Oleh: Irham Thoriq
Nulis Itu ya Nulis Saja
~Pramoedya Ananta Toer
Pernyataan Pram ini menurut saya ada benarnya, tapi juga ada
kurang tepatnya. Untuk bisa menulis kita memang hanya butuh kemauan untuk terus
menulis. Kurang tepatnya jika kita hanya menulis tanpa dibarengi dengan
kecakapan membaca.
Ya, selain terus menerus menulis, yang dibutuhkan penulis
hanyalah terus menerus membaca. Meminjam istilah Zen RS, penulis yang baik
selalu lebih banyak membacanya daripada menulisnya. Dengan banyak membaca buku
kita bisa berimajinasi, memperkaya diksi, memperbanyak refrensi dan yang paling
penting kita tidak hanya bergumam dalam tulisan kita.
Banyak membaca diperlukan untuk aneka macam tulisan seperti
menulis esai, opini, fiksi, dan juga menulis berita. Kenapa menulis berita
butuh membaca? Karena tugas sejatinya wartawan adalah bercerita kepada para
pembacanya. Cerita yang baik hanya bisa didapat jika kita menuliskannya dengan
memikat.
Fakta menarik akan sangat membosankan jika ditulis dengan
cara serampangan. Oleh karenanya, selain harus cakap mencari data, wartawan
yang baik selalu akan meningkatkan kualitas tulisannya.
Lalu, bagaimana menulis yang baik? Menurut saya (dalam hal
ini Anda bisa beda pendapat), menulis yang baik adalah menulis dengan
sederhana. Hanya dengan menulis sederhana para pembaca bisa mudah memahami
gagasan apa yang ingin kita sampaikan.
Selain itu, menulis sederhana berarti kita tidak berlebihan
dalam menggunakan kata-kata. Penyair kenamaan Sitor Situmorang pernah
mengatakan kalau kata-kata bagaikan peluru, kita harus hemat menggunakannya.
Dengan kehidupan yang berjalan begitu cepat, mungkin orang tidak punya waktu
banyak untuk membaca tulisan, apalagi tulisan yang boros kata dan
berbelit-belit.
Untuk bisa hemat kata-kata, kita harus menjadi editor dalam
tulisan kita sendiri. Caranya dengan membaca berulang-ulang tulisan kita lalu
membuang kata-kata yang dianggap tidak perlu. Untuk mengetahui kata yang tak
perlu prinsipnya sederhana, jika kata itu dibuang tidak mengubah makna, maka
kata-kata itu sudah layak dibuang.
Menulis Berita
Sebagaimana saya singgung di atas, penulis berita atau
wartawan itu adalah pencerita bagi pembacanya. Tugas pencerita adalah tidak
membuat bosan orang yang membaca dan yang mendengarkan cerita. Jika orang sudah
berhenti membaca pada paragraf pertama, bisa ditebak kalau berita yang ditulis
membosankan.
Karena hal inilah dalam berita ada yang disebut lead.
Umumnya lead berada pada paragraf pertama. Arti dari lead adalah kail. Jika
kita memancing kita membutuhkan kail agar ikan tertarik pada kail kita,
memakannya dan pada akhirnya terjebak pada pancing kita.
Begitu juga dengan menulis, pada paragraf pertama dalam
berita harus semenarik mungkin. Jika kita menulis suatu acara atau peristiwa,
pilihlah hal paling menarik dari berbagai fakta yang ada dan tulis pada
paragraf pertama sehingga pembaca ingin terus membaca berita hingga tuntas.
Jenis Berita
Secara umum ada dua jenis berita yang biasa digunakan media
massa. Pertama adalah berita keras atau hardnews dan yang kedua adalah feature
atau berita yang berkisah. Kapan kita menggunakan berita jenis hardnews dan
feature? jawabannya sesuai dengan materi berita cocoknya dibuat hardnews
atau feature.
Pada media online dan media harian kita lebih banyak
menemukan berita jenis hardnews. Kenapa? Karena berita jenis ini simpel dan
mendahulukan yang penting di awal tulisan. Rumusnya sangat klasik yakni rumus
piramida terbalik, yakni menempatkan yang penting di atas, semakin kebawah
semakin tidak penting.
Rumus klasik lainnya dari hardnews adalah berita
harus menjawab enam pertanyaan, yakni 5 W dan 1 H. Atau dalam bahasa
Indonesianya enam yang harus dijawab itu adalah apa, siapa, di mana, kapan,
kenapa dan bagaimana. Jika sudah bisa menjawab enam pertanyaan tersebut, maka
berita sudah bisa dikatakan hardnews. Oleh karenanya, pada media online kita
kerap mendapati berita hanya tiga larik yang sudah menjawab enam pertanyaan
tersebut.
Pada berita jenis ini, lead berada pada paragraf pertama.
Jika kita mendapati fakta kalau seorang kecelakaan dan ternyata itu adalah anak
bupati, maka yang dijadikan lead dan juga judul berita adalah anak bupati yang
kecelakaan. Kronologi tentang kecelakaan bisa ditaruh di bagian bawah.
Sedangkan jenis berita kedua adalah feature atau berita yang
berkisah. Biasanya feature berkisah tetang kehidupan seseorang. Feature yang
menarik tidak akan jauh dari dua rumus ini, yakni orang yang from hero to zero
atau from zero to hero. Orang yang awalnya miskin sekali lalu sukses menjadi
dokter atau presiden, kisahnya selalu menarik.
Atau seorang siswa jawara olimpiade tingkat nasional,
setelah dicek ternyata dia adalah anak sopir angkot. Sebaiknya, berita jenis
ini yang ditonjolkan anak sopir angkot dan juga prestasinya. Tidak melulu soal
prestasinya.
Hal menarik lain soal kenestapaan seseorang yang sebelumnya
menjadi hero. Seperti contoh ada Mantan Bupati yang ketika pensiun memilih
berkebun. Ini bisa jadi feature menarik meski semisal Mantan Bupati tersebut
hanya hobi berkebun, bukan karena tidak punya uang untuk beli sayur-sayuran di
Pasar.
Pada berita jenis ini yang paling penting adalah
penggambaran. Karena berita dalam jenis ini adalah ceritanya, maka biasanya hal
penting tidak ada di depan melainkan ada di tengah atau di akhir berita. Pada
awal berita umumnya berupa deskripsi terhadap orang atau pristiwa yang kita
tulis dalam bentuk feature-nya.
Oleh karenanya, dalam feature ada istilahnya super lead.
Selain untuk memancing pembacanya, super lead ini juga berisi tentang inti
dalam tulisan tersebut. Sehingga, orang bisa tertarik membaca diskripsi hingga
inti dari berita.
Untuk mempermudah menggambarkan, berikut saya tuliskan
beberapa contoh deskripsi dalam features yang ada dalam buku berjudul "Seandainya Saya Wartawan Tempo". Pada contoh pertama ini bermula dari seorang
wartawan yang merasa ingin tahu tentang kebiasaan pengamen yang banyak kita
temui di jalanan.
Mungkin orang biasa menganggap biasa pengamen tersebut dan
kadang kita tidak memperdulikannya. Seorang wartawan yang jeli bisa membuat
feature menarik dari berbagai kisah mereka. Contohnya yang ada dalam buku
tersebut seperti ini:
Nama saya Buyung. Tak seorangpun pernah menanyakan asal-usul saya.
Cita-cita saya hanya sanya satu menjadi penyanyi, enggak usah terkenal, tapi didengar. Saya tak pernah sekolah, saya tak bisa membaca dan menulis, tapi kalau ngitung-ngitung, bisa. Ayah saya kuli bangunan di Medan. Empat tahun lalu saya lari ke Jakarta.
Dari deskripsi memikat itu, bisa ditulis artikel panjang.
Pada akhirnya cerita ini dimuat di rubrik selingan di Majalah Tempo edisi 6
Mei 1989 dengan judul: Bocah-Bocah Turun ke Jalan.
Ada lagi deskripsi yang bunyinya seperti ini:
Laksana tarian perli langit, asap membumbung di atas Hotel Bali Beach yang membara terpanggang api (Tempo, 30 Januari 1993, Akhir Legenda dan Sejumlah Misteri Bali).
Bola mata juani berkaca-kaca ketika mengintip kemenakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik pagar sumur yang jarang, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak (Tempo, 2 Januari 1993, Kasmaran Laut di Sarang Elang)
Dari berbagai contoh itu, kita bisa menyimpulkan kalau
tulisan ini enak dibaca karena tidak boros menggunakan kata-kata. Kalimat
disusun secara ketat, sehingga pembaca tidak bosan membacanya.
Hitam-Putih Media
Saya tidak ingin berpanjang-panjang membahas soal ini.
Karena mungkin semua sudah tahu kalau sangat jarang kita mendapati media yang
independen. Terlebih, pasca pemilu 2014 yang dua stasiun televisi seperti
berlomba-lomba memihak dua calon presiden berbeda.
Tapi, saya yang bekerja di media menganggap kalau masih ada
media yang lurus. Ya, meskipun melenceng tidak terlalu parah. Lalu, kenapa
media sulit independen seratus persen? Menurut saya jawabannya karena tiga hal, yakni karena bisnis, politik dan juga faktor subjektivitas media.
Saya ingin membahas faktor subjektifitas media. Menurut saya
karena media merupakan produk kreatif manusia, maka bisa saja media memihak
berdasarkan prinsip dan visi media tersebut. Media toleran misalnya, akan sulit
memuat pernyataan-pernyataan tokoh ekstremis yang itu bisa menghasut orang ikut
pada ajaran mereka.
Belum lagi ada subjektivitas wartawan yang menganggap berita
A penting serta menarik dan menganggap berita B tidak penting. Karena ada
subjektivitas itu selalu akan ada keberpihakan di media. Atau mungkin tidak
hanya di media, dalam hidup kita saja sebenarnya kita sudah memihak ketika
memutuskan beragama, mempunyai istri yang satu agama, sampai ketika ikut
organisasi tertentu. Hal tersebut menurut saya pilihan yang berpihak, yang juga
tidak bisa dihindari oleh wartawan dan pekerja media.
Tapi, dari keberpihakan itu menurut saya kita punya hati
nurani yang layak kita bela. Hati nurani bagaikan wasit kita mau berpihak
ke mana sebaiknya mengikuti kata hati nutani kita.
Tulisan ini disampaikan
dalam diskusi bersama Gubuk Tulis, 13 April 2016.
Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com
[sumber gambar: di sini]
0 komentar:
Post a Comment