Oleh: Irham Thoriq
Suatu
ketika Eka Kurniawan membaca sebuah koran lokal. Eka mendapati berita yang
menurutnya menarik. Berita tersebut tentang tempat penitipan sepeda motor, di
tempat itu banyak sepeda motor yang ditinggal pemiliknya bertahun-tahun.”Bahkan
ada yang dua tahun, tidak tahu kemana itu pemiliknya,” kata Eka ketika mengisi
kuliah tamu di Universitas Negeri Malang (UM), Kamis (21/4) lalu.
Eka
melanjutkan, ketika membaca koran dia senang membaca berita kecil yang ada di
halaman dalam. ”Kalau berita utama tentang Jokowi atau Ahok, mendengarkan
obrolan tetangga juga bisa,” kata Eka disambut tawa para audiens.
Eka
hendak menjelaskan kalau cerita memang bisa dilahirkan dari kejadian
sehari-hari yang sederhana. Dari hal kecil itu, ketika diramu bisa menjadi
cerita yang menarik. ”Berita seperti penitipan sepeda motor itu kan menimbulkan
pertanyaan kemana orangnya, dari situ bisa kita dalami untuk menjadi cerita,”
imbuhnya.
Lalu
Eka bercerita tentang buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Corat-Coret di
Toilet. Eka memberi judul salah satu cerita pendeknya seperti itu karena
terinspirasi dari banyaknya corat-coret di toilet umum. Dan yang membuatnya
tertarik, corat-coret itu menyambung satu sama lain, padahal yang buat bukan
satu orang.
Guru
Besar Universitas Negeri Malang (UM) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., yang
menjadi moderator bertanya, kenapa dia selalu mengambil cerita-cerita sederhana
dengan latar Indonesia. Padahal, Eka beberapa kali pernah ke luar negeri, di antaranya
ketika dia menjadi salah satu penulis yang dibawa pemerintah
dalam Frankfurt Book Fair. Saat itu, Indonesia menjadi tamu kehormatan.
Eka
menjawab kalau dia ingin mengenalkan Indonesia dan juga kehidupan
orang-orangnya. ”Itu saja mungkin alasannya kenapa saya bercerita dengan latar
Indonesia.”
****
Saya
membaca karya-karya Eka Kurniawan baru-baru saja, meski dia sudah menerbitkan
novel pertamanya berjudul Cantik Itu Luka pada 2002 silam. Dari karya-karyanya,
saya menyimpulkan kalau cerita Eka memang bermula dari hal-hal sederhana. Novel
O yang sedang saya baca misalnya, hanya bercerita tentang monyet yang menjadi
tokoh utama.
Monyet
itu bernama O. Dia harus bersusah payah meladeni kemauan sang pawang monyet
untuk berakrobat di Jalanan Jakarta. Uang hasil jerih payah O itu lalu dibuat
mabuk-mabukan oleh sang pawang.
Meski
tokoh utamanya adalah Monyet, Novel O sebenarnya bukan melulu cerita tentang
fabel. Membaca novel ini saya justru sadar kalau hewan kadang lebih manusiawi
daripada manusia. O, meski selalu dipecuti oleh pawangnya, pada momen-momen
tertentu O merasa kasihan dengan pawangnya. Semisal ketika sang pawang
tiba-tiba diam, atau ketika teler habis menenggak minuman keras.
Pada
salah satu gumamnya, O mengatakan kalau kehidupan Jakarta sangat keras. Orang
hidup hanya untuk saling memakan satu sama lain. Dan itu menurut saya sangat
manusia sekali. Jakarta memang keras, dan karena kekerasan itu orang terbiasa
berlaku tidak manusiawi. Saling memakan dan menerkam satu sama lain.
Karena
novel yang memukau itu, ketika tahu Eka Kurniawan menghadiri dua acara di
Malang, saya usahakan untuk datang ke dua acara tersebut. Di sela-sela acara,
saya membeli novelnya yang lain berjudul Seperti Rindu, Dendam Harus
Dibayar Tuntas. Lagi-lagi, ceritanya sederhana. Pada pembuka novel
ini, Eka menulis tentang seseorang yang tidak bisa ngaceng atau
kemaluannya tidak bisa berdiri. ”Hanya orang yang enggak bisa ngaceng,
bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo
Kawir. Begitu pembuka itu, yang memikat dan tentu saja memancing rasa
penasaran.
***
Nama
Eka Kurniawan belakang memang menjadi buah bibir. Pada Maret lalu, Eka
mendapatkan penghargaan World
Reader’s Award yang disponsori oleh Hong Kong Science and
Technology Parks Corporation. Sebelumnya, dia masuk nominasi The
Man Booker International Prize. Dalam nominasi ini, Eka bersaing
dengan penulis kenamaan di dunia, salah satunya sastrawan asal Turki yang
pernah meraih nobel sastra, Orhan Pamuk.
Karena
inilah, ketika pada kuliah tamu tersebut saya diberi kesempatan bertanya, saya
menyatakan kalau tahun ini adalah tahun Eka. Lantaran, tahun lalu nama penulis
yang ramai dibicarakan adalah Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori. Keduanya
menjadi bintang dalam Frankfurt Book Fair 2015 karena
buku keduanya membahas isu kesewenang-wenangan negara terhadap PKI (Partai
Komunis Indonesia). Isu ini sedang hangat di Jerman, karena negara ini pernah
punya sejarah kelam yang sama.
Waktu
itu saya bertanya tentang proses Eka dalam melakukan riset sebelum menulis. Dia
menjawab, dari kisah sederhana itu biasanya dia kembangkan sendiri. Dalam novel
O misalnya, dia tertarik setelah anaknya suka pertunjukan topeng monyet. Dari
situlah lantas dia kembangkan menjadi cerita.
Eka
juga mengatakan kalau dalam menulis sebenarnya kita hanya mengembangkan apa
yang pernah kita lihat, kita alami dan juga yang pernah kita baca. Karena
inilah, untuk menghasilkan karya bagus orang harus banyak membaca, juga harus
mengasah rasa keingin tahuan.
Karena
inilah, Eka menyampaikan kalau dia lebih banyak membaca daripada menulis. Dia
membaca setiap hari, tapi tidak menulis setiap hari.”Tidak mungkin saya menulis
tiap hari, saya menulis kalau perlu menulis saja,” kata dia.”Ketika kuliah,
saya sering bolos hanya untuk baca novel,” imbuhnya, kali ini disambut ger-geran para
peserta.
Penulis
tinggal di www.irhamthoriq.com
Sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment