Oleh: Fawaid Azman
Sejak pagi tadi orang-orang sibuk mempersiapkan perayaan resepsi pernikahan antara Mas Panji Darman dan Mbak Puji Lestari yang akan dilaksanakan malam nanti. Aku tergolong orang yang diberikan satu lembar berisikan gambar beserta nama mereka dibawahnya, dan tulisan “Mohon Doa & Restu” adalah paling besar berwarna hitam berada paling atas, pertanda paling penting. Dan, namaku terlihat jelas di bagian kertas paling bawah dengan kolom putih yang disediakan untuk nama orang yang diharapkan hadir dalam acara itu. Memberikan kesimpulan: kehadiranku mereka harapkan! Ya, kehadiran seorang yang tidak pernah percaya pernikahan itu akan terjadi. Bahkan: Menentang!
Sejak pagi tadi orang-orang sibuk mempersiapkan perayaan resepsi pernikahan antara Mas Panji Darman dan Mbak Puji Lestari yang akan dilaksanakan malam nanti. Aku tergolong orang yang diberikan satu lembar berisikan gambar beserta nama mereka dibawahnya, dan tulisan “Mohon Doa & Restu” adalah paling besar berwarna hitam berada paling atas, pertanda paling penting. Dan, namaku terlihat jelas di bagian kertas paling bawah dengan kolom putih yang disediakan untuk nama orang yang diharapkan hadir dalam acara itu. Memberikan kesimpulan: kehadiranku mereka harapkan! Ya, kehadiran seorang yang tidak pernah percaya pernikahan itu akan terjadi. Bahkan: Menentang!
Aku
yang sejak tadi pagi juga tidak beranjak dari tempat tidurku, tempat istimewa
bagi ratapan tangis yang tak dapat kuhindar, masih saja melihat selembar undangan
itu yang ada di genggaman tanganku. Genggaman erat dengan nafas tersengat-sengat
yang tanpa kusadari telah membuat lembaran itu antara empat sudutnya berkumpul
menjadi satu sampai menjadi surat undangan yang tak berguna lagi. Hanya bisa dijadikan
pengisi tong sampah depan kamarku. Bagiku, juga bagi tong sampah, mungkin juga
tidak ada artinya!Dan membuatku mengambil korek didalam saku bajuku diikuti
oleh bungkus rokok yang tak berisi penuh. Kuambil dan kubakar satu batang
dibagian ujungnya. Seketika, udara yang kata para medis sangat berbahaya bagi
kesehatan paru-paru dan jantung itu kuhisap. Hisapan pertama mengepulkan asap
tak seberapa. Kulanjutkan dengan hisapan kedua. Lebih banyak dari yang pertama.
Kulihat kembali kertas yang sedari tadi sudah tak berbentuk dengan layak. Tanganku
menghampiri. Mencoba untuk mengembalikannya dengan bentuk semula. Berhasil!
Meski tak nampak sempurna seperti awal kuterima.
Sepasang
mataku kutitik beratkan kepada gambar kedua mempelai. Rasanya ada gendang
bermain dalam jantungku. Anganku bertindak nakal dan wajah Mas Panji Darman
berubah menjadi cerminan kaca ketika aku berada di depannya. Senyum kebahagiaan
begitu tampak,perpaduan antara madura dan jawa, bermata orang india yang
kehitam-hitamannya terlalu ke atas. Diam-diam tangan kirikuku bergerak mencari
korek yang kuletakkan diatas bungkus rokok tadi. Kuhidupkan pelan-pelan. Api
membara. Kudekatkan kertas ditangan kananku kepada api itu. Semakin dekat,
semakin membuat gambar Mbak Puji Lestari seolah memancarkan wajah suram,
kecantikannya hilang, seolah melarang perbuatanku, berkata dengan lembutnya dan
hati-hati.
“Tidakkah
kau ingat dengan perkataanmu sendiri, “Hidup ini bukanlah tentang memiliki
yang kau cintai. Tapi mencintai yang kau miliki” Kau tega mengubah gambarku
menjadi debu? Kau sedih? Asal kau tahu, Musa,aku tidak ingin ada kesedihan. Sudahlah,
hapus air matamu itu!”. Diam-diam aku mendengarkan, tidak mengiakan juga tidak
membantah. Sedikit kuindahkan larangan itu dengan memadamkan api. Akibat dari kata-kata
lembut dan hanya terdengar olehku yang sekaligus memberikanku kehidupan
agarmenghadiri pernikahannya malam nanti. Pernikahan yang tak kuingunkan! Tapi,
sudahlah. Akan kuberikan restu kepada janur kuning itu. Meskiberada di pundak
penderitaan seorang yang oleh orang-orang biasa dipanggil Musa. Namaku sendiri
..... Sementara ini tak perlu kusebutkan. Bukan karena gila misteri. Telah aku
timbang: belum perlu benar tampilkan diri dihadapan mata orang lain.
Aku yang
menerima kertas tanda diundangdan berencana tak akan menampakkan hidung kepada
siapapun yang ikut serta dalam resepsi itu, berencana lain untuk membeli
pakaian baru ke toko baju terdekat dan tidak menghindari malam bersejarah Mbak
Puji Lestari bersama Mas Panji Darman. Pakaian batik dengan setelan celana kain
berwarna silver kuanggap pantas dijadikan seragam untuk menghadiri undangan itu
dan kutukar dengan dua lembar uang berwarna merah, berlambang Bung Karno,
Presiden Republik Indonesia pertama.
****
Malam
beserta kegelepannya sudah tiba sejak dua jam yang lalu. Kamar mandi sudah aku
pergunakan sebelum itu. Hari besar orang yang pada sebelumnya mengajariku
Bahasa Jawa: Bahasa yang digunakan kerajaan Maja Pahit, dan orang yang sudah
membuatku menjadi hanya bertepuk sebelah tangan itu baru saja dimulai. Para
tamu kabarnya juga sudah berdatangan.Aku yang tetap termenung antara datang
atau tidak masih sibuk dengan urusan diriku sendiri: menghabiskan tembakau yang
aku beli dan secangkir kopi buatanku sendiri. Kulihat baju dan celanaku yang
tergantung dilemari. Kalau saja baju dan celana itu bermulut, mungkin saja tak
segan-segan berujar: Kasihan sekali kau, Musa. Orang yang kau cintai, kau
sebut-sebut namanya saat kedua tanganmu terangkat, sekarang ini, malam ini, kau
hanya bisa menangisinya. Tak lebih! Sungguh beruntung orang yang sekarang sudah
ada di dekapan wanita itu. Sedangkan kau, Musa, hanya bermimpi. Lalu, bagaimana
mungkin aku sudi menutupi tubuh kekarmu, sedangkan kau tak segera bangun dari
tidurmu. Sudahlah, bangun! Pakailah aku dengan keegoisanmu! Jika tidak, maka
jangan!
Baiklah.
Aku akan pergi.
Membutuhkan
waktu dua kali satu jam dengan mengendarai sepeda motor melewati jalan licin
berjuranguntuk sampai ke tujuan. Juga tikungan tajam yang berkali-kali
membuatku bertanya-tanya:Mengapa bekas jalannya ular raksasa itu orang-orang
menjadikannya jalan raya? Jalan yang dulunya sering kulewatitanpa tolah-toleh.
Fokus. Lengah sedikit saja akan berakibattanahberbatu itu menghantam tubuh.
Braakk! Nyawa terancam hilang. Ah, alangkahtak terhitung korban kecelakaan.
Sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment