Oleh: Irham Thoriq
Ini semacam cinta yang keras kepala.
Kalau bukan karena kecintaan mereka pada buku, dan juga kepedulian agar semua
orang bisa baca buku gratis, mungkin mereka sudah meninggalkan kegiatan
’setengah gila’ ini. Mereka tidak dibayar. Dan juga tak terlalu berharap pada
bantuan pemerintah. Umumnya berada di pelosok kelurahan dan desa.
Mereka adalah relawan pengelola
taman baca yang ada di Malang Raya. Pada peringatan Hari Buku Nasional pada
Selasa 17 Mei lalu, sekitar 30 pustakawan berkumpul di Perpustakaan Anak Bangsa,
di Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Yang mengumpulkan adalah
dedengkot perpustakaan gratis di Malang: Eko Cahyono.
Pria 36 tahun ini sudah 18 tahun
mendirikan dan mengelola perpustakaan gratis. Bukunya sudah ribuan. Di kalangan
pustakawan di Indonesia, nama Eko sudah sangat dikenal. Dia beberapa kali
tampil di Kick Andy, dan mendapatkan penghargaan dari program ini.
Saya yang hadir dalam pertemuan ini,
merasa terharu pada keikhlasan dan semangat mereka mengembangkan perpustakaan
gratis. Apa yang mereka lakuan seolah menjadi ’lilin’ di tengah lesunya minat
baca di Indonesia. Berdasarkan data Central Connecticut State University yang
dirilis April lalu, peringkat literasi Indonesia berada di urutan kedua dari
bawah. Dari 61 negara yang di-ranking, Indonesia peringkat 60. Angka yang miris
bukan?
Dalam pertemuan di ruang
perpustakaan yang luasnya sekitar separo lapangan futsal ini, saya duduk di
sebelah mahasiswi Strata Dua (S-2) Universitas Negeri Malang. Dia mengelola
perpustakaan gratis di Dusun Pandanrejo, Desa Sukopuro. Dari perpustakaan Eko,
jaraknya hanya sekitar 15 menit.
Perempuan ini sangat bersemangat
ketika membicarakan buku dan juga perpustakaan. Dia datang pagi sekali. Sekitar
setengah delapan, padahal acara baru dimulai jam sebelas. Kepada para
pustakawan lain, dia juga bertanya-tanya cara mendapatkan buku gratis. ”Koleksi
perpustakaan saya hanya sekitar seratus buku,” kata Yuyum, panggilan perempuan
itu.
Ketika seorang pustakawan lain
memberi informasi kalau ada pengajuan buku gratis, dia langsung membuka website
yang memuat informasi tersebut.
Saat saya tanyakan motivasinya
mendirikan perpustakaan gratis, dia menjawab sederhana. ”Anak-anak di kampung
saya sedikit sekali yang sekolah, dan juga banyak premannya,” kata dia.
”Makanya sejak SMA saya pinjamkan buku-buku saya ke anak-anak sekitar,”
tambahnya.
Rupanya, sedikitnya buku yang dia
miliki bukan satu-satunya masalah. Menurut dia, masalah paling utama adalah
mendatangkan anak-anak dan juga orang dewasa ke perpustakaannya. ”Agar banyak
yang datang, saya adakan kegiatan seperti lomba-lomba,” imbuhnya.
Ada lagi seorang perempuan bernama
Sri Mulyani. Umur perempuan yang tinggal di daerah Gadang, Kota Malang ini
kira-kira sudah kepala lima. Dia membuka perpustakaan gratis di perumahannya.
Awalnya, perpustakaan itu dikelola oleh pendidikan anak usia dini (PAUD). Tapi
belakangan karena sudah tidak ada yang mengelola lagi, dia kelola sendiri.
”Bukunya masih sedikit,” kata dia.
Dia lantas bertanya-tanya dengan
pemuda yang ada di sampingnya. Namanya Ragil, mahasiswa Universitas Brawijaya
(UB) yang juga pendiri komunitas Gubuk Cerita. Komunitas ini mempunyai sekitar
seribu tiga ratus judul buku. Perpustakaannya beda dengan biasanya, yakni
meminjamkan buku dengan sistem delivery order.
Ketika ada orang yang mau pinjam,
tinggal mengirim pesan singkat. Buku diantar, si peminjam meninggalkan KTP. Dan
setelah baca buku, relawan Gubuk Cerita mengambil. ”Saya bisa pinjam ya Mas,
untuk perpustakaan saya yang bukunya masih sedikit,” kata perempuan ini. Ragil
manggut-manggut.
Sedangkan Eko, si tuan rumah
terlihat sibuk dalam acara itu. Dia hilir mudik, sesekali memberi pengarahan.
”Kalau Anda mengelola perpustakaan, Anda sendiri harus suka baca buku,” kata
Eko. ”Anda pernah baca Laskar Pelangi, novel Ronggeng Dukuh Paruk, harus pernah
karena ini novel ini sangat berpengaruh di Indonesia,” kata dia.
Karena inilah, Eko meminta para
pustakawan untuk sering berkunjung ke toko buku dan juga perpustakaan Kota
Malang. ”Karena Anda harus tahu buku yang update, dan biasanya itu dibutuhkan
warga, semisal sekarang sedang booming novel Ayat-Ayat dengan Cinta 2. Anda
harus punya agar orang yang ingin baca buku ini ke perpusatakaan Anda,” kata
dia.
Siang mulai beranjak pergi.
Pertemuan tersebut ditutup dengan deklarasi Forum Taman Baca Masyarakat Malang
Raya dan makan nasi jagung bersama. Eko berharap, forum ini bisa mempercepat
perkembangan perpustakaan-perpustakaan gratis yang ada di kelurahan dan di
desa-desa. ”Saya yakin, dengan adanya forum ini, taman baca Anda bisa
berkembang lebih pesat daripada ketika saya mengembangkan perpustakaan saya ini
dulu,” kata Eko.
Keyakinan agar perpustakaan gratis
ini berkembang cepat memang perlu terus dikumandangkan. Sebagaimana buku The
Secret yang dikutip Eko dalam pertemuan itu bahwa semesta akan mendukung
mewujudkan apa yang kita yakini. Eko ingin perpustakaannya menjadi besar, punya
buku banyak, dan rak yang bagus. Menurut Eko, itu semua terwujud karena
keyakinan dalam buku tersebut yang dia pegang. Ya ya, mewujudkan cinta yang
keras kepala memang butuh keyakinan yang berlipat-lipat. []
Tulisan ini terbit pertama kali di
Radar Malang edisi 19 Mei 2016
Sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment