UMAT MUSLIM AKAN DIPIMPIN OLEH SEORANG KHALIFAH?
Catatan Kritisi Terhadap Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir Indonesia)
Oleh Abdurrasyid
Sekilas Tentang Hizbut Tahrir dan Pendirinya
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, (pendiri
Hizbut Tahrir) dilahirkan di desa Ijzim, Haifa,
Palestina, tahun 1909. Beliau menamatkan pendidikan dasarnya
didaerah kelahirannya, setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan studinya ke al-Azhar dan Darul Ulum Mesir. Pada
tahun 1953 Syeikh Taqiyuddin
An-Nabhani mendirikan sebuah partai politik yang dinamai
dengan Hizbut Tahrir. Gerakan ini menitikberatkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh
dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah
Islamiyah.
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi
Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut
Tahrir bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah
(seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan
(akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial
kemasyarakatan). Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan
merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an
ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas
dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.
Misi Hizbut Tahrir
Salah satu ajaran yang sangat ditekankan oleh Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani adalah memperjuangkan kebangkitan umat Islam di dunia
untuk mengembalikan kehidupan Islam melalaui tegaknya kembali Khilafah
Islamiyah. Argumentasi legalistis yang dijadikan dasar oleh
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah hadist Hudzaifah yang berbunyi;[1]
حدثنا
أبو بكر محمد بن الحسن بن فورك رحمه الله ، أخبرنا عبد الله بن جعفر الأصبهاني ،
حدثنا يونس بن حبيب ، حدثنا أبو داود الطيالسي ، حدثنا داود الواسطي ، قال : وكان
ثقة ، قال : سمعت حبيب بن سالم ، قال : سمعت النعمان بن بشير بن سعد ، في حديث
ذكره قال : فجاء أبو ثعلبة فقال : يا بشير بن سعد ، أتحفظ حديث رسول الله صلى الله
عليه وسلم في الأمراء ، وكان حذيفة قاعدا مع بشير ، فقال حذيفة : أنا أحفظ خطبته ،
فجلس أبو ثعلبة فقال حذيفة : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إنكم في النبوة
ما شاء الله أن تكون ، ثم يرفعها إذا شاء ، ثم يكون خلافة على منهاج النبوة تكون
ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء ، ثم تكون جبرية (1) تكون ما شاء الله أن
تكون ، ثم يرفعها ، إذا شاء أن يرفعها ، ثم تكون خلافة على منهاج (2) النبوة »
“Hudzaifah berkata: Sesungguhnya
Nabi bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya,
kemudian Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan
datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya.
Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang
kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah
mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai
dengan jalan kenabian.”.
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, hadits Hudzaifah di atas telah membagi
kepemimpinan umat Islam pada 5 fase. Pertama, fase kenabian yang dipimpin
langsung oleh Nabi. Kedua, fase khilafah yang sesuai
dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga dan keempat, fase kerajaan yang diktator dan otoriter. Kelima, fase Khilafah
Al-Nubuwwah yang sedang dinanti-nantikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani berasumsi bahwa Khilafah Al-Nubuwwah pada fase ke-5 tersebut belum terjadi, sehingga harus
ditegakkan dan masih harus diperjuangkan.
Pertanyaannya, Apakah Khilafah Islamiyyah yang dicita-citakan
oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bisa tercapai secara faktual ataukah hanya angan-angan
yang hanya dalam khayal? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus
meninjaunya masalah ini dari dua sudut pandang, pertama: sudut pandang
teoritis, kedua: sudut pandang faktual.
Sudut Pandang Teoritis
Secara teoritis asumsi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tentang hadist Hudzaifah yang
dijadikan argumentasi legalistis mengenai Khilafah Nubuwwah tidaklah benar. Hal ini dikarenakan beberapa
aspek. Pertama:
beliau menafsirkan hadits tanpa merujuk terhadap penafsiran Ulama Ahli
Hadits yang otoritatif (mu’tabar), padahal beliau belum memiliki
kapasitas untuk menafsirkan hadits. Kedua: dalam semua jalur riwayat hadits tersebut
dikemukakan bahwa Habib bin Salim, salah satu perawi hadits di atas,
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Bisyarah Khilafah Al-Nubuwwah
pada fase kelima dalam hadits di atas adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz.
Kemudian penafsiran Habib bin Salim ini diakui oleh para Ulama‘ perawi hadits. Bahkan
Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyyuddin
al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) dalam karya monumentalnya, Hujjatullah ‘ala al-’Alamin
fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, memberikan paparan yang sama dengan para
Ulama hadits bahwa yang dimaksud dengan Khilafah Al-Nubuwwah dalam
hadits Hudzaifah tersebut adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz.[2]
Bahkan lebih lanjut lagi, al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali
berkata:
فنص
رسول الله صلى الله عليه و سلم في آخر عمره على من يقتدي به من بعده والخلفاء
الراشدون الذين أمرنا بالاقتداء بهم أبو بكر وعمر وعثمان وعلى رضي الله عنهم فإن
في حديث سفينة عن النبي صلى الله عليه و سلم والخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم يكون
ملكا وقد صحيح الإمام أحمد واحتج به على خلافة الأئمة الأربعة ونص كثير من الأئمة
على أن عمر بن عبد العزيز خليفة راشد أيضا ويدل عليه
ما خرجه الإمام أحمد من حديث حذيفة رضي الله عنه عن النبوة صلى الله عليه و سلم
قال تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج
النبي فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها الله ثم تكون ملكا عاضا ما شاء الله أن
تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون
ثم إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج نبوة
Rosululloh pada penghujung
usianya secara eksplisit telah menjelaskan orang-orang yang dapat diikuti
setelah beliau. Adapun Khulafa’ur Rasyidin yang Nabi perintahkan untuk
mengikuti mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, karena dalam hadits
Safiinah dari Nabi: “Khilafah sesudahku selama 30 tahun, kemudian kerajaan“[3].
Imam Ahmad bin Hambal telah mensahihkan hadits tersebut dan menjadikannya
sebagai hujjah atas kekhalifahan para
imam yang empat. Banyak para Imam yang memastikan bahwa Umar bin Abdul Aziz
juga seorang khalifah yang rasyid (memperoleh petunjuk), hal tersebut
ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadisnya
Hudzaifah, dari Nabi saw bersabda: “Kenabian akan ada ditengah-tengah kamu
selama Allah menghendaki kemudian Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya.
Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah
menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian
akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian
Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah
sesuai dengan jalan kenabian.“[4]
Sudut Pandang Faktual
Secara Faktual diakui atau tidak kita selaku umat Islam
kesulitan atau bahkan tidak mampu mengangkat Pemimpim Tunggal (Khilafah
Islamiyyah), sebab realitas politik tidak memungkinkan untuk melakukan hal
itu. Kalau kita telisik dari sisi sejarah, konsep khilafah terbentuk pada saat
belum ada negara bangsa seperti sekarang, pada saat didunia sudah terbentuk
negara bangsa, maka keinginan untuk menjadikan umat Islam dipimpin oleh
pemimpin tunggal adalah hal yang tidak rasional.
Ketika realitas politik tidak memungkinkan dan umat Islam
terpecah-pecah menjadi banyak negara yang berdaulat seperti dewasa ini, maka
umat Islam tidak memiliki kewajiban untuk memperjuangkan Khilafah
(Kepemimpinan Tunggal). Al-Imam al-Hafidz Abu Amr ad-Dani al-Maliki al-Asy’ariy,
seorang pakar hadits dan qiroat dari Andalusia dalam karyanya Ar-Risalah
al-Wafiyah, berkata yang artinya: “mengangkat seorang imam ketika mampu
dan memungkinkan dihukumi wajib bagi umat Islam, yang harus mereka ketahui dan
tidak boleh ditinggalkan. Pengangkatan tersebut berdasarkan keputusan Ahlu
al-Halli wa al-Aqdi dari Umat, bukan berdasarkan nash dari Rasulullah.“[5]
Ketika umat Islam tidak mampu mengangkat seorang Pemimpin
Tunggal karena struktur sosial dan politik umat Islam yang telah berubah dan
tidak memungkinkan terangkatnya seorang Pemimpin Tunggal seperti yang terjadi
pada zaman sekarang, maka para Ulama membenarkan terjadinya banyak Pemimpinan
politik di setiap daerah yang memungkinkan. Dalam kasus ini Imam al-Haramain
al-Juwainiy berkata: “Sebagian Ulama‘ berkata: “Apabila suatu masa mengalami
kekosongan dari penguasa tunggal, maka penduduk setiap daerah dan setiap desa
mengangkat diantara orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pemikiran,
seseorang yang dapat mereke patuhi perintahnya dan mereka jauhi larangannya. Karena
apabila mereka tidak melaksanakan hal tersebut, mereka akan ragu-ragu ketika
menghadapi persoalan penting dan tidak mampu menyelesaikan masalah yang sudah
terjadi.“[6]
Alasan lain, realitas yang ada sekarang, pemeluk agama Islam
sudah menyebar keseluruh penjuru dunia, dan jarak antara negara satu dengan
nagara lain saling berjauhan. Tatkala daerah Islam berjauhan antara satu dengan
yang lain, dan kemudian diangkat seorang Pemimpin Tunggal lalu kita diwajibkan
untuk mentaatinya adalah sebuah hal yang Sangat Tidak Logis. Karena sangat
mungkin orang yang berada di daerah yang jauh dari tempat di mana seorang
Pemimpin Tunggal bertakhta tidak mengetahui apa yang telah diperintahnya dan
apa yang dilarangnya, bahkan mungkin saja mereka (baca: orang yang berada di daerah
yang jauh dari tempat di mana seorang Pemimpin Tunggal bertakhta) tidak tahu
siapa Pemimpin Tunggal mereka. Kalau dalam keadaan yang demikian ini mereka
diwajibkan untuk taat terhadap Pemimpin Tunggal, maka termasuk katagori Taklif
Ma Lam Yuthoq (membebankan hukum yang tidak mampu dilakukan) dan itu sangat
mustahil.[7]
Terkait dengan hal ini Imam as-Syaukaniy[8]
menjelaskan.
فاعرف
هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال
في مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي
عليه الآن أوضح من شمس النهار ومن أنكر هذا فهو مباهت لا يستحق أن يخاطب بالحجة
لأنه لا يعقلها
“Ketahuilah hal ini (Tidak memungkinkannya mengangkat seorang Pemimpin Tunggal [Khilafah
Islamiyyah] dan seluruh umat Islam wajib taat dan patuh kepadanya), karena
inilah yang lebih relevan dengan kaidah-kaidah syariat dan cocok dengan
argumentasi legal-formal (al-Adillah). Tinggalkanlah statemen-statemen yang
dilontarkan oleh orang-orang yang isinya kontardaiktif dengan apa yang aku
katakan, karena perbedaan kekuasaan pada masa awal-awal Islam dengan zaman
sekarang lebih terang dari matahari di waktu siang. Orang yang
mengingkari hal ini adalah para pembohong, tidak perlu mematahkan argumentasi
yang dipaparkan mereka, karena mereka tidak punya otak.“[]
Sumber gambar:
[1] Al-Bahaqiy, Abu
Bakr Ahmad bin al-Husaian, Dalail an-Nubuwwah wa Ma’rifati Ahwali Shohib
as-Syari’ah, (Vol. VI. Hal. 491)
[2] Syaikh
Yusuf bin Isma’il al-Nabhani, Hujjatullah ‘ala al-’Alamin fi Mu’jizat Sayyid
al-Mursalin, hal. 527
[3] Secara
lengkap redaksi Hadits tersebut berbunyi:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَشْرَجُ
بْنُ نُبَاتَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ قَالَ حَدَّثَنِى سَفِينَةُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْخِلاَفَةُ فِى أُمَّتِى
ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ». ثُمَّ قَالَ لِى سَفِينَةُ
أَمْسِكْ خِلاَفَةَ أَبِى بَكْرٍ وَخِلاَفَةَ عُمَرَ وَخِلاَفَةَ عُثْمَانَ. ثُمَّ
قَالَ لِى أَمْسِكْ خِلاَفَةَ عَلِىٍّ. قَالَ فَوَجَدْنَاهَا ثَلاَثِينَ سَنَةً.
قَالَ سَعِيدٌ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّ بَنِى أُمَيَّةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ
الْخِلاَفَةَ فِيهِمْ. قَالَ كَذَبُوا بَنُو الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ
شَرِّ الْمُلُوك
“Sa’id bin Jumhan berkata: safinah menyampaikan hadits
kepadaku bahwa Rosulullah saw bersabda: “Pemerintahan Kholifah pada umatku
selama 30 tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan”.
Lalu safinah berkata kepadaku, “hitunglah masa kholifah Abu Bakar (2 tahun),
Umar (10 tahun), Ustman (12 tahun)”. Safinah berkata lagi kepadaku, “tambahkan
dengan masa kholifahnya Ali (6 tahun)”. Ternayata semuanya 30 tahun. Sa’id
berkata: “aku berkata pada safinah, sesungguhnya Bani Umayyah berasumsi bahwa
Kholifah ada pada mereka”. Safinah menjawab: “mereka (Bani Umayyah) berbohong,
justru mereka adalah raja, yang tergolong seburuk-buruknya raja” (HR. Ahmad, 20910) dan (at-Tirmidzi, 2152)
[4] Ibnu
Rajab, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah),
hal. 231.
[6] Imam Al-Haramian
al-Juwainiy, Ghiyats al-Umam fi Iltiyas al-Dzulam, (Maktabah Imam
al-Haramain, Kairo), hal. 386-387
[7] Kepemimpinan
sangatlah erat kaitannya dengan masalah ketaatan, karena Allah telah berfirman
berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian semua pada Allah,
Kepada Utusan-Utusaan Allah dan Pemimpin diantara kalian semua.”
0 komentar:
Post a Comment