Oleh: Muhammad Zamzami
Malam
itu saya nongkrong bareng teman-teman di salah satu kedai kopi yang terletak di
kota Jogja, salah satu tempat tongkrongan favorit anak-anak mahasiswa di sana,
Kopas Coffee. Suasana yang ramai dengan hiasan lampu yang agak remang-remang mewarnai
kenikmatan ngopi dan mengobrol kami. Areanya yang sangat strategis menjadi lahan
yang tepat bagi pemiliknya untuk membuka usaha, karena memang peminatnya yang
banyak dari kalangan mahasiswa di kota istimewa ini.
Namun bukan itu inti dari tulisan ini.
Saya kira sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang mengupas secara tuntas tentang
keistimewaan kedai ini layaknya keistimewaan kota yang terkenal dengan sebutan kota
pelajar tersebut. Ada hal menarik yang bisa kita ambil pelajaran khususnya bagi
saya pribadi. Nah, sebelumnya mari kita seruput dulu kopinya sebelum melanjutkan
menyimak tulisan ini.
Saat itu, ketika kami berempat sedang
menenangkan suasana dan sibuk dengan pekerjaan tangan masing-masing (alias
sibuk dengan gawai masing-masing), dan ketika saya membuka akun Facebook, saya temukan
sebuah postingan dari salah satu saudara sepupu saya yang kini menjadi seorang tokoh
agama di kota Surabaya. Beliau mosting tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban
beserta dalil-dalilnya.
Dari beberapa hadis yang beliau bagikankan,
ada satu yang artinya adalah sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah melihat hamba-hambanya di malam Nishfu Sya’ban, maka Allah memberikan ampunan kepada semua makhluk-Nya, kecuali orang-orang yang menyekutukan Allah dan orang-orang yang menebar kebencian” (HR Ibnu Majah dari Abu Musa)
Nah, dari yang saya tulis tebal di
hadis tersebut, ada hal yang sukses mengercitkan dahi saya sampai-sampai salah satu
teman saya mengagetkan saya dengan pukulan ringan di pundak bareng dengan ucapan,
“Hayo, nyapo kui kok ketok mikir barang!” Saya balas hanya dengan senyum
sembari berkata, “Hehe… Ora, om. Iki lo ono postingan seng apik soal Nishfu Sya’ban.
Tapi jarke wae wes. Raurus.” Dan akhirnya mata kami kembali ke gawai masing-masing. Nah, Dalam benak saya bertanya-tanya
kenapa orang-orang yang saling membenci, dalam hadis di atas, dibahasakan dengan
kata محاشن, atau bahkan orang yang bermusuhan nasibnya sama
dengan orang-orang yang menyekutukan Tuhan? Lalu tanpa pikir panjang, saya ajukan
pertanyaan itu di kolom komentar.
Tak lama kemudian gawai saya berbunyi
nada notifikasi, segera saja saya buka notifikasinya dengan sedikit sentuhan lembut
ke area notifikasi. Setelah saya seret ke bawah, saya baca balasan beliau, lalu
saya melihat di sana belau hanya menuliskan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban yang bunyinya demikian:
عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
"تعرض أعمال الناس في كل جمعة مرتين: يوم الاثنين ويوم الخميس، فيغفر لكل
مؤمن إلا عبدا بينه وبين أخيه شحناء، فيقال: أتركوا هذين حتى يفيئا" رواه ابن
حبان.
Lalu beliau menambahkan dengan
kata-katanya yang khas banget: “agar saling memaafkan Gus”. Lalu saya balas
kembali dengan ucapan terima kasih yang kemudian diberi tanda suka oleh beliau.
Dari balasan beliau tersebut, logika
saya bangkit berusaha meraih suatu kesimpulan bahwa Tuhan tidak akan mengampuni
dosa seorang hamba terhadap-Nya selama dalam hatinya masih menyimpan rasa benci,
memusuhi atau hal-hal negatif yang lain dengan saudaranya, alias Haqqullah akan
menjadi bermasalah birokrasinya jika masih ada masalah birokratis dalam Haqqul
Adami. Wah, jadi ingat sistem perkuliahan yang berlaku di kampus, bahwa mahasiswa
tidak dapat mengambil mata kuliah keagamaan jika belum lulus dari ma’had.
Dari sini, barangkali dapat kita petik
sebuah pelajaran untuk diri kita agar kita dapat saling memaafkan dan bisa sadar
untuk mengambil langkah yang bijaksana agar tidak mudah membenci dan bahkan memusuhi
saudara-saudara dan sahabat-sahabat kita, atau bahkan orang lain, meski permasalahan
dan perbedaan tak dapat dihindari selalu mewarnai kehidupan kita. Bukankah setiap
orang pasti memiliki arah pikirannya masing-masing dan tidak dapat kita salahkan
begitu saja sesuai keinginan dan kepentingan kita sendiri atau kepentingan kolektif
yang sifatnya merugikan yang lain? Bukankah kita sebagai manusia diperintahkan
agar lita’ârafû (saling memahami) dan mencari jalan sempit penyelesaian untuk
memecahkan permasalahan tanpa harus saling membenci toh?
Yah, mungkin sebelum saya akhiri tulisan
ini, ada baiknya jika saya sebagai penulis meminta maaf kepada para pembaca sekalian
dan siapa tahu dengan saling memaafkan kita bisa terhindar dari klaim Tuhan kalau
kita termasuk dari dua golongan dalam hadis di atas yang tidak mendapat ampunan
di malam Nishfu Sya’ban, amin.[]
sumber gambar:
0 komentar:
Post a Comment