Oleh: Muhammad Madarik
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pada tahun inipun Pondok
Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo memasuki tahun ajaran baru seperti
pesantren-pesantren lain. Hanya saja penanganan dan penataan tata laksana
manajemen lebih diintensifkan lebih dari pada periode sebelumnya. Tahun
pelajaran 2016/2017 ini diwarnai dengan keterlibatan hampir-hampir semua pihak,
mulai dari Dewan Pengasuh, santri senior dan beberapa kalangan yang selama ini
lebih aktif di sekolah formal. Kondisi sedemikian menandakan sebuah kekompakan
dan kebersamaan yang diperlihatkan oleh semua unsur. Tentu ini merupakan
langkah-langkah strategis yang diancang mampu mereaktulisasi proses pendidikan
di lingkungan PPRU 2 dalam segala aspek.
Meneguhkan Komitmen
Semua tahu bahwa PPRU 2 (terutama putra) ke depan perlu berbenah
dengan usaha lebih kuat. Pengelolaan dan
penanganan dengan mengerahkan segenap kemampuan memang mendesak untuk
disegerakan pelaksanaannya. Sebab, menyongsong masa depan yang lebih baik
dengan berbagai macam tantangan internal dan eksternal merupakan hal yang harus
benar-benar diwujudkan di lingkungan pesantren ini.
Berkaitan dengan konteks pengembangan PPRU 2 ini, maka komitmen
segenap unsur, baik Dewan Pengasuh, santri, alumni maupun semua stakeholder,
seyogianya diutamakan dan dikokohkan kembali. Tentu komitmen itu diejawantahkan
dalam bentuk dukungan dari masing-masing sesuai jenjang dan proporsinya. Oleh
sebab itu, semua kalangan harus mempunyai tekad bulat terhadap kesuksesan
setiap rencana kegiatan yang dicanangkan.
Dewan Pengasuh sebagai pihak yang memiliki kuasa dan tanggungjawab
penuh terhadap keberadaan pesantren dapat menampakkan dukungannya lewat arahan
atau instruksi yang berbasis kebijaksanaan. Di dalam lingkungan PPRU 2, model
kepemimpinan sebetulnya sudah dicontohkan oleh pendiri pesantren ini, KH Qosim
Bukhori. Sebagaimana banyak diceritakan oleh para alumni yang rata-rata tahu
betul corak beliau dalam mengawal para santri, merupakan sosok moderat dan
demokratis. Moderat artinya cenderung menyesuaikan perkembangan situasi yang
muncul. Demokratis dimaknai sebagai sikap beliau yang seringkali memposisikan dirinya menjadi orang yang
berperilaku; Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri
Handayani. Artinya, dalam banyak hal beliau tampil sebagai figur yang mampu
menjadi suri tauladan serta bisa menggugah semangat dan dorongan moral. Sebab
itulah, beliau dirasakan oleh para santri bukan saja sebagai guru tetapi juga
dianggap seperti sahabat dalam makna yang luas. Faktanya, pada satu sisi beliau
disegani karena kepribadiannya, namun pada sisi yang lain sosok beliau
dijadikan tempat mengadu (baca: curhat) karena caranya berinteraksi yang acap
kali mengakrabi.
Sedangkan komitmen bagi santri diandaikan sebagai sikap memompa
diri untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki melalui program-program
pesantren. Sehingga semua kewajiban yang dipikulkan kepada mereka tidak dinilai
sebagai beban, tetapi justeru dianggap kebutuhan buat mengembangkan jati
dirinya. Oleh karenanya, motivasi awal para santri menuntut ilmu perlu di tata
ulang. Jika mengadopsi teori sebagian ulama berkaitan dengan niat, maka yang
harus ditanamkan dalam lubuk mereka tidak lain hanya mencari ridla Tuhan dan
menghilangkan kebodohan. Dorongan inilah yang diyakini bakal mampu mendongkrak
semangat dan mengikis segala macam rasa malas.
Dalam konteks ini, peran kiai Qosim lebih banyak terlihat ketika
menanamkan nilai-nilai dan norma kepada para santri dalam banyak kesempatan,
baik secara formal di berbagai proses pembelajaran maupun di kala interaksi
secara tidak formal. Seperti seringkali diingat sejumlah alumni bagaimana Yai
memberikan dorongan dan motivasi belajar dengan beragam bentuk. Satu waktu,
terkadang beliau menganjurkan santri untuk meningkatkan belajar, namun lain
kali beliau menyarankan santri memperluas wawasan dengan membiarkan terlibat di
organisasi, atau menugaskannya mengikuti sebuah kegiatan. Nasihat-nasihat dan
saran beliau begitu sangat terkesan bagi kalangan santri sebagai sebuah pembuka
ruang belajar. Hal yang cukup menarik dari apa yang dilakukan beliau seringkali
pesan kepada salah satu santri berbeda ucapan beliau kepada santri yang lain.
Hal ini seakan peristiwa jawaban Nabi Muhammad SAW yang berbeda antara satu
sahabat dengan sahabat yang lain meskipun pertanyaan sama, terulang dalam kasus
Yai Qosim kepada santri-santrinya ketika memberikan saran yang tidak sama
antara satu santri dengan yang lain.
Komitmen bagi para alumni tak jauh berbeda dengan santri, hanya
saja ranah mereka sudah berada di lingkaran masyarakat. Bentuk dukungan yang
bisa dilakukan antara lain memposisikan diri mereka sebagai corong yang
menyuarakan keberadaan pesantren di tengah-tengah lingkungannya. Keikutsertaan
mereka menyebarkan nama pesantren tentu bervariasi sesuai kemampuan dan posisi
masing-masing. Hal yang paling mendasar dalam peran alumni adalah menunjukkan
jati diri dengan bangga sebagai orang yang pernah menyerap pendidikan di
lembaga agama. Alumni yang demikian ini saja sudah dapat dipastikan menjadi
promosi tersendiri bagi almamaternya, apalagi kemudian mereka rela menjadi agen
informasi dan rekrutmen, maka hasilnya akan lebih membahana.
Yai Qosim sekalipun tidak pernah menuntut para alumninya harus
menjadi apa dengan posisi bagaimana. Beliau lebih memasrahkan pengembangan diri
para alumni di tengah-tengah masyarakat berproses secara alami sesuai dengan
kearifan lokal masing-masing individu. Dari sekian banyak pesan-pesan beliau
terhadap para alumni, yang terpokok hanyalah konsistensi terhadap ajaran agama,
seperti menjaga shalat dan berakhlak karimah.
Terlebih jika peran serta para alumni diwujudkan dengan kegiatan
yang diselenggarakan secara kolektif, pasti hasil yang diharapkan jauh lebih
melegakan. Sebetulnya wadah untuk para alumni di lingkungan PPRU 2 sudah terbentuk
semenjak Yai Qosim masih hidup. Bahkan serikat itu terbilang mengalami
perkembangan memuaskan, baik dalam hal gerakan maupun dalam segi organisatoris.
Perkumpulan alumni yang dinamai "Yasru [Yayasan Alumni dan Santri
Raudlatul Ulum]" ini telah mampu mengakomodir keuangan alumni dalam
pelbagai program dan sudah menata manajemen organisasinya secara rapi.
Sayangnya, wahana alumni ini "mati suri" seusai mengalami berbagai
benturan dan konflik internal.
Tidak dimaknai sebagai pemakai dan pengguna jasa, stakeholder yang
dimaksud disini ialah segenap orang tua santri yang memberikan kepercayaan
pesantren. Komitmen bagi mereka dapat digambarkan seluruh keikutsertaan para
wali santri di dalam proses pendidikan putra-putranya yang berupa dukungan
moral dan finansial.
Dukungan moral bisa diwujudkan dengan selalu menjaga terlenggaranya
segala program dan tata aturan yang berlaku di pesantren. Kasus yang seringkali
mencuat ialah pengawasan terhadap kegiatan putranya saat di rumah yang dirasa
begitu minim. Contoh yang bisa diangkat adalah fenomena santri yang enggan
melestarikan pembiasaan-pembiasaan di pesantren disinyalir karena faktor
pengawasan orang tua yang melemah. Malah terkadang sikap para wali bertabrakan
dengan kebijakan-kebijakan pesantren. Tamsil yang bisa dibuat gambaran antara
lain kehendak memamitkan putranya yang cenderung "didesakkan",
membuat tata aturan pesantren tercerai-berai.
Tetapi menggeneralisir kasus kepada semua orang tua santri, tentu
bukan sikap yang bijak sebab tindakan demikian hanya bersifat personal. Apapun
faktnya, ketimpangan ini lebih banyak disebabkan relasi pesantren dan
stakeholder yang kurang harmonis. Makanya, kesinambungan komunikasi kedua belah
pihak perlu diupayakan semaksimal mungkin agar tidak terjadi persimpangan yang kian
menjauhkan keduanya. Melirik kegiatan Yai Qosim yang seringkali melawat ke
berbagai daerah dengan misi pokok beliau mendakwahkan dzikir Naqsyabandiyah
merupakan salah satu sarana yang produktif mengkomunikasikan kepentingan
pesantren kepada stakeholder. Jejak Yai Qosim ini masih sangat relevan untuk
dilestarikan guna merekatkan kembali hubungan antara wali santri dan pihak
pesantren.
Sumber Gambar:
0 komentar:
Post a Comment