Friday, December 5, 2014

Istri yang Terjun ke Neraka

12:59 PM

[sumber]


Oleh: Halimah Garnasih 

Suatu malam, di sudut kamar di atas bumi ini seorang istri yang hatinya sedang terhimpit patah hati dan cemburu yang teramat agung menumpahkannya di atas bantal. Semua rasa kecewa itu tumpah sebagai buliran bening yang keluar dari matanya yang elok. Bantal yang menjadi saksi di mana malam-malamnya adalah peluh dan desahan dalam gelimang gairah dan birahi dengan suaminya selama dua puluh tahun ini, kini basah seakan hatinya yang basah tak karuan. Rambutnya yang panjang tergerai telah semrawut di sana-sini. Beberapa menempel pada dahi dan pelipisnya karena air mata. Matanya sudahlah sembab, hidungnya memerah, dan tentu saja ada satu bagian yang lebih merah dari biasanya yang tak kasat mata, hatinya yang telah remuk kecewa.



Tangis itu ia tahan saat intuisinya menangkap langkah yang sangat dekat dengan hatinya telah berada di balik pintu kamar. Ia tahu malam ini suaminya akan merajuknya. Tapi ia telah benar kecewa dan benci karena ia merasa telah dikhianati. Baginya, bagaimana bisa cinta itu terbagi?


Langkah itu semakin dekat. Pintu berderit dan langkah yang samar-samar tadi semakin jelas pada malam yang kecewa ini. Ia sangsi akankah cinta yang telah kecewa itu bisa hidup sebagai cinta seperti dulu, saat tulus ia serahkan pada suaminya. Lelaki yang kini telah duduk di tepi ranjang, di sisinya.

“Adinda…”

Suara itu juga masih sangat dekat dengan hatinya. Dengan batinnya. Meski kini telah terasa berbeda. Hangatnya terlanjur menjadi dingin karena cintanya yang kecewa.

Perempuan yang pada hatinya ada cinta yang kecewa itu mengibaskan tangan suaminya yang berusaha merajuknya dengan membelai rambut kepalanya yang hitam dan terurai. Lalu ia tersedu sambil masih membelakangi suaminya. Entah kenapa rasa cinta yang selama dua puluh tahun membara itu kini telah menjelma sebagai kebencian yang dalam.

“Kau telah menzalimiku, Kang!” suaranya samar tapi tegas terdengar oleh suaminya.

“Apa maksudmu, Adinda?”

Suara itu terdengar berbohong. Ada yang ia tutupi di sana. Ada ketidak-mengakuan di sana. Dan itu jelas terekam oleh batin perempuan yang pada hatinya ada cinta yang kecewa itu.

“Kau semakin picik dengan pura-pura tak mengerti. Sungguh, kau semakin menjadi orang asing bagiku. Betapa kau seolah tak tahu apa yang sekarang sedang menjadi lantaran jauhnya hatiku dan hatimu”

“Adinda, mengapa Kau berkata seperti itu,”

Perempuan itu menolak, membalikkan badan dan mendorong tubuh suaminya yang berusaha memeluknya seperti malam-malam selama dua puluh tahun lalu. Hatinya benar-benar telah panas karena kemunafikan yang ia rasa sedang ada pada diri suaminya.

“Cukup! Cukup dengan segala kebodohan dan kepura-puraanmu! Kau membopong perempuan itu ke salah satu bilik rumah ini dan kau merasa tak ada apa-apa? Kau merasa tak ada yang perlu dipirkan? Kau sakit! Kau gila, Kang! Kau telah membagi cinta kita pada hati perempuan lain! Kau telah mendzolimiku. Kau telah mendzolimi cinta kita!”

Matanya menyala. Terlihat dari sana bara dalam hatinya sedang bergolak dahsyat. Air mata memang masih menempel pada pipinya yang kuning langsat dan bersih itu, tapi tak ada lagi yang mengalir di sana karena semuanya telah menjadi api. Api yang siap melahap siapa saja.

Laki-laki itu juga memanas. Ia menahan geram karena bentakan dan tatapan tajam perempuan di depannya. Sedzarroh pun ia tak akan pernah merasa bersalah. Karena baginya, agama adalah ada pada pihaknya.

“Baik! Lalu apa maumu, hah?!”

“Mauku? Kau tanyakan mauku?! Kau tahu dari dulu sampai sekarang pun aku tak akan pernah meminta apa-apa darimu. Dari cinta. Karena kau tahu, bagiku cinta itu tidak meminta atau butuh dipinta. Kau sangat tahu bahwa bagiku cinta itu memberi dan diberi”

Lelaki dan perempuan itu saling bersitatap dalam bara hati yang tak terkatakan. Di luar, malam masih setia dengan angin dan dinginnya. Daun pohon pisang dan bambu di belakang, berkesiur diterpa angin.

“Aku hanya mengingatkanmu bahwa kau telah menzalimiku”

Suara perempuan itu hening dan memecah malam yang juga memiliki hening. Hening yang menggantung dibawah langit. Lelaki itu masih bergeming di atas ranjang.

“Dan aku tetap tidak akan meminta apa pun darimu. Cintaku terlanjur kecewa”

“Apa yang kau maksudkan?”

“Kau telah tahu dan kita sama-sama meyakini, bahwa orang yang terzalimi doanya adalah mantra yang dijanjikan lekas terjelma nyata oleh Tuhan”

Lelaki itu terperanjat. Hatinya bersejingkat dari tempatnya. Betapapun, ia tidak menyangka kesalahan yang ia lakukan menjadikan dirinya begitu asing di depan perempuan yang selama dua puluh tahun ada dalam dekapannya yang hangat. Terlebih, suatu hal yang benar-benar ia dan perempuan itu yakini bersama, tentang terdzolimi dan doa yang akan diijabah.

“Kau… kau… kau akan berdoa pada Tuhan?”

“Ya! Aku akan berdoa pada-Nya. Doa yang jahat. Hahaha”

Lelaki itu pucat pasi. Seketika itu nuraninya mengakui kesalahan agung yang ia perbuat. Membagi cinta suci itu kepada perempuan lain dan menyimpannya di salah-satu bilik di rumah ini. Memang begitu menyakitkan.

“Kenapa Kau menjadi pucat, hai Lelaki! Jika kau tidak merasa bersalah, kau tidak akan merasa menzalimiku. Tapi lihatlah, lihatlah mukamu sekarang! Hahahaha”

Lelaki itu merebut kedua tangan perempuan itu. ia genggam begitu erat dan hangat. Matanya ia buat begitu mesra menatapnya. Ia berusaha dengan sekuat tenaga bahwa tatapan mesra itu adalah tatapan yang selama dua puluh tahun ini ada di antara mereka berdua.

“Oh, Istriku. Sungguh harus Kau ketahui bahwa ada suatu hal yang Kau tak ketahui tentang ini semua,”

Perempuan itu tak paham dengan perubahan bekas cintanya ini.

“Aku sengaja melakukan ini agar kau terzalimi hingga kau bisa mendapat tiket doa ijabah. Dan… dan… cita-cita kita selama ini akan terwujud, Sayang…”

Lelaki itu terkejut. Kedua tangannya telah terpelanting ke atas kasur. Rupanya sang istri tak termakan bujuk rayunya. Dia marah, dadanya panas. Dirinya merasa sangat dilecehkan.

“Tahukah Kau, hai Perempuan jalang! Saat kau mendoakan kejahatan dan keburukan atas diriku, saat itu kau sedang menzalimiku, maka aku akan berdoa kepada Tuhan agar kau sirna dari kehidupan ini. Lenyap menuju akhirat!”

“Bagus. Tapi jangan lupa bahwa aku juga punya tiket kezalimanmu. Aku juga akan berdoa atas kematianmu agar kau tak bisa bercinta dengan perempuanmu itu!”

Lelaki itu sungguh tak menyangka akan semua itu. Betapa selama ini istrinya tak sebodoh yang ia sangkakan. Lalu semuanya menjadi gelap. Ia tak ingat apa-apa.
***
Semuanya terlihat gelap dan kemerah-merahan. Ia begitu asing dengan tempat dan suasana ini. Tak lama ia mendengar suara orang menjerit-jerit kesakitan. Orang menjerit-jerit minta tolong.

“Hai, kita sudah berada di akhirat!”

Suara itu sangat di kenalnya sewaktu ia berada di dunia. Dua puluh tahun ia telah hidup seatap bahkan sehati dengan sang pemilik suara.

“Istriku!” teriaknya senang karena ada orang lain di tempat yang baginya sangat asing

“Bukan. Aku bukan lagi istrimu”

“Bagaimana bisa, bukankah sebelum mati aku tidak pernah menceraikanmu? Kau tetaplah istriku. Telah terbukti, ternyata kita adalah cinta sehidup semati”

“Tutup mulutmu! Jauh sebelum kita mati, tepatnya saat hatimu telah berpaling pada perempuan lain, hatiku telah tercerai dan menceraikan cintamu”

“Ap… apa? Bagaimana bisa seperti itu?”

Tapi perempuan itu tak menggubrisnya. Ia berjalan menaiki tangga yang menghubungkan tempat itu dengan suatu tempat yang indah di atasnya, Firdaus.

“Istriku, kau mau kemana?” teriaknya kebingungan

“Dasar tolol! Apa kau tak melihat lelaki tampan dengan wajahnya yang cerah dan senyumnya yang sumringah di depan itu?”

Lelaki itu menoleh. Memperhatikan cahaya putih yang bersinar dari wajah seorang lelaki tampan di ujung sana. Dia menelan ludah.

“Siapa dia istriku?”

“Siapa lagi, kalau bukan si ganteng Ridwan”

“Maksudmu, Kau akan ke surga bersamannya istriku?”

Perempuan itu hanya tersenyum sambil terus berjalan menaiki tangga dan ke ujung sana.

Lelaki itu mendengar teriakan yang menyayat hati. Dan ia baru sadar, teriakan itu berada di tempat yang ada tepat di bawah kakinya. Ia begidik, melihat kenyataan neraka yang lebih mengerikan dari gambaran yang ia bangun sendiri saat di dunia. 

Ia begitu ketakutan. Pada saat seperti itu, ia akan melakukan hal apa pun untuk menjauhi rasa stresnya. Ia yang sangat memahami istrinya itu, berjalan bersijingkat dan sangat pelan. Ia sembunyi di balik rok istrinya yang panjang dan tergerai di tanah akhirat. Diam-diam ia gandolan pada rok istrinya untuk memasuki surga. Dengan kepiawaiannya, juga mungkin skenario Pencipta, ia luput dari pandangan Malaikat Ridwan dan masuklah ia bersama rok istrinya ke Surga. Tempat yang digambarkan sangat indah dan dipercantik oleh kecantikan para bidadarinya.

“Kau?!” istrinya terperanjat, saat melihat suaminya keluar menyelinap dari balik roknya yang putih panjang dan tergerai di tanah surga.

Lelaki itu hanya tersenyum dan cengangas-cengenges melihat air muka istrinya. Tanpa ba bi bu, ia meninggalkan istrinya yang terbengong dan menghambur pada keramaian bidadari yang tengah bersenda gurau di bawah pohon apel di atas bantaran sungai madu.

Melihat itu, perempuan yang cintanya pernah kecewa dan baru saja masuk Surga itu merasa teramat jengkel. Mungkinkah ia masih menyisa cemburu? meski sebenarnya ia masih bingung mengapa warna hati yang pernah ia rasakan di dunia dulu masih membuntutinya walau di Surga?

Kini ia mulai melangkah mantap. Dengan percaya diri yang tinggi, ia menyeruak di antara para bidadari di bawah pohon apel di atas bantaran sungai madu itu. Para bidadari yang tengah melayani lelaki yang tak lain adalah suaminya itu menyurut dan menyingkir melihatnya. Perempuan itu berdiri tepat di depan muka si lelaki dengan kedua tangan di atas pinggang dan mata membelalak.

“Ada apa? Ini Surga tempat yang dipenuhi bidadari dan segala keindahannya. Dan adalah tugas mereka melayani setiap orang yang masuk ke dalamnya bukan?”

“Dasar bajingan! Tempatmu bukan di sini, tapi di neraka! Kau masuk surga karena aku”

“Hahaha. Bukan, aku masuk ke sini karena kepandaianku”

“Ya. Kepandaianmu berlaku licik. Akan kukatakan pada si ganteng tentang semua ini”

“Hahaha. Dia itu malaikat. Dan malaikat ditakdirkan bukan sebagai makhluk pembangkang. Lagian apa Kau lupa, Tuhan pernah berfirman barang siapa yang masuk surga maka akan abadi di dalamnya. Intinya, si gantengmu tak akan pernah bisa mengeluarkanku dari sini. hahaha”

Lalu, dia memanggil para bidadari itu untuk kembali melayaninya. Para bidadari itu pun datang dengan segala pesona dan anggur di tangannya.

Perempuan itu merasa jengkel. Dia mendekati malaikat Ridwan dan berbincang dengannya sambil terus melirik ke arah suaminya yang sedang dilayani oleh para bidadari. Tapi tak sekali pun suaminya melirik ke arahnya apalagi timbul cemburu di dadanya.

Perempuan itu merasa, kalau kenyataan di Surga seperti ini, maka bukan hanya dunia tempat ketidak adilan bagi perempuan. Lalu, dia melepas gaun kebesaran sang penghuni Surga. Ia berdandan dan memakai baju seperti yang dikenakan para bidadari sehingga ia tak hanya terbelenggu dengan satu lelaki yang bernama suaminya. Memang betul, secara agama, ia belum resmi diceraikan. Sejak saat itu, ia bergabung dengan kumpulan bidadari dan bisa bercanda dengan setiap lelaki yang memikat hatinya. Bahkan si ganteng Ridwan yang dari awal telah menggoda dengan senyumnya.

Suatu senja (oh di Surga pun senja masih ambil bagian), perempuan itu termenung di bawah salah-satu pohon apel yang buahnya merah berpendar cahaya. Ia memikirkan penyamarannya yang ia lakukan hanya untuk memuaskan hatinya atas ketidak adilan yang ia rasakan di Surga ini. Ia terdiam mendengarkan nuraninya yang paling dalam, betapa dirinya masih cinta pada suaminya yang membuat cintanya pernah kecewa. Namun ternyata, akhirat bahkan surga mengapa masih saja tidak berpihak padanya yang perempuan? setelah di dunia, agama dan para ulama’nya mati-matian membela lelaki.

Lalu, dengan langkah mantap, ia cari suaminya di antara buaian bidadari. Ia tarik tangannya dan ia seret sampai dekat pintu Surga. Suaminya bertanya-tanya lalu dengan tegas sang istri menjawab, “Jika Ridwan sebagai malaikat tak ditakdirkan membangkang, maka aku yang penduduk Surga ini bisa”

Sang suami terkejut. Tapi sebelum sadar dari keterkejutannya dan sebelum bisa melakukan apa-apa, tubuhnya telah terdorong dari surga. Tubuhnya melayang-layang dan mulai merasakan panas yang maha dahsyat.

Saat ia sedang berteriak-teriak karena didera sakit, entah mengapa ia melihat wajah istrinya dan juga mendengar jeritannya. Mungkinkah, sesaat setelah mendorongnya dari Surga, istrinya juga meloncat ke neraka?

“Iya, Suamiku. Demi memuaskan pencarianku tentang apakah keadilan itu bersemayam di neraka?!” teriak istrinya di antara kesakitan dan teriakan.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top