photo credit: here |
Oleh: Muhammad Madarik
Hampir lima
tahun yang lalu peristiwa yang amat menyayat hati Ila, panggilan akrab Akilah,
itu terjadi. Setiap kali kejadian itu hadir di pelupuk mata, setiap kali itu
pula butiran bening yang mengalir di pipi Ila tak kuasa dibendung. Perempuan
yang mulai kelihatan menua karena sakit yang dideritanya sedikit demi sedikit
merenggut paras ayunya, kendati sisa-sisa kecantikan wajahnya tidak dapat
didustakan oleh siapapun yang memperhatikan dengan seksama.
Perjalanan
ini terasa sangat menyedihkan,
Sayang
engkau tak duduk di sampingku, kawan
Banyak
cerita yang mestinya kau saksikan di tanah kering bebatuan
oo ooh
oo ooh
Tubuhku
terguncang dihempas batu jalanan
Hati
tergetar menambah kering rerumputan
Perjalanan
ini pun seperti saksi gembala kecil menangis sedih
ooh
Kawan
coba dengar apa jawabnya ketika kutanya mengapa
Bapak
ibunya telah lama mati ditelan bencana tanah ini
Sesampainya
di laut kukabarkan semuanya
Kepada
karang kepada ombak kepada matahari
Tetapi
semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal
aku sendiri terpaku menatap langit
Barangkali
di sana ada jawabnya mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin
Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
yang selalu salah dan bangga dengan
dosa-dosa
Atau
alam mulai enggan bersahabat dengan kita
coba kita bertanya pada rumput yang
bergoyang
oo ooh
oo ooh
Di atas
kursi roda, Ila duduk sambil melihat langit-langit ruang tamu dengan tatapan
kosong. Masa lalu itu kembali terngiang di antara sisi-sisi pikirannya bersama
suara Ebiet G. Ade yang mendayu dari tape recorder di sampingnya.
***
Saat itu
malam Minggu merupakan malam panjang bagi remaja perkotaan seusia Ila yang
menganggap dirinya sebagai bagian dari kalangan modern. Pada umumnya mereka
menghabiskan waktu pada malam tersebut dengan kegiatan yang bersifat foya dan
santai. Di antara mereka ada yang menonton layar lebar di bioskop terbesar di
kota ini “Ortem Theater”, ada pula yang mencari hiburan di diskotik, ada yang
sekedar menongkrong dengan teman-temannya di mal.
Sementara
itu, Ila sedang duduk bersandingan dengan pacarnya, Ramu, di pinggir alun-alun
kota. Senyum kecil menghias di sela-sela cerita mereka berdua. Akilah, anak
desa yang kini sudah terpengaruh tata cara hidup dan lingkungan kota, memang
selalu menghabiskan malam panjang dengan pacarnya. Menyadari anugerah yang berada dalam dirinya berupa
kecantikan paras wajah, gadis ini seringkali tak menampik cowok yang
mendekatinya. Tetapi keceriaan Ila tidak lama bertahan, raut mukanya tak
sanggup menyimpan kegelisahan yang sejak tadi diupayakan Ila untuk dipendam.
Ramu, anak Jurusan Sastra Inggris ini menangkap tanda-tanda kegusaran pada diri
Ila.
“Ada apa
Ila?”
“Gak ada
apa-apa mas,” sahut Ila lirih.
Merasa
tidak nyaman dengan keadaan begini, akhirnya Ramu menyudahi kencan malam ini
dengan membonceng Ila di atas sepeda motornya untuk kembali ke rumah kosnya.
Betapa
kaget Ramu melihat pemandangan yang mencurigakan. Ternyata seorang pemuda yang
memarkir sepeda motornya di depan rumah kos Ila tengah menunggu ia datang. Ramu
baru menyadari bahwa sejak tadi tangan Ila selalu sibuk memainkan HP dengan
membaca dan menulis SMS di tengah senda-gurau itu hanyalah membalas bagi kedua
orang ini. Kecamuk amarah yang tertahan, membuat Ramu meninggalkan Ila di
tempat kos itu tanpa basa-basi seperti biasanya.
Idian
UJ, sang kekasih Ila langsung mendekatinya dengan tersenyum dan menunduk santun
kepada Ramu. Ramu pergi begitu saja tanpa sepatah-katapun, meskipun Idian
menjulurkan untuk bersalaman. Idian UJ termasuk dari sekian cowok yang
dikoleksi Akilah, tetapi Idian tergolong beruntung di antara pemuda yang
mendekati Akilah karena dialah yang sempat mendapatkan perhatian lebih dari Ila.
Sebab Idian seorang yang paling sabar menghadapi ulah Akilah dibanding perjaka
lainnya. Bagi Idian, Ila memang masih labil karena pengaruh lingkungan. Idian
memandang bahwa Ila hanya perlu bimbingan dan pendampingan yang serius. Akilah
berbuat demikian bukan karena tabiat atau pendidikan dasar yang membentuk
kepribadian, tetapi hanya disebabkan salah memilih teman. Idian memang sejak
semula tak pernah surut untuk mendapatkan hati Akilah, walaupun terkadang perih
di dada harus diterima akibat ulahnya.
***
Di
tempat kos itu Akilah satu kamar dengan adiknya, May Ramitis. Gadis yang baru
lulus SMP itu kini meneruskan pendidikannya di SMA di kota ini. Jarak yang
dekat dengan sekolah pilihannya, menjadikan May, penggilan akrab May Ramitis,
mengikuti kakaknya sebagaimana anjuran ayah dan ibunya. Tetapi di tempat ini May
sebetulnya tidak begitu betah, sebab ia merasa muak dengan tingkah kakaknya
yang hidup bergaya glamor dan bergaul tanpa batas. Kalau saja bukan karena
pesan orang tuanya, May sudah pindah kos menjauh dari cara hidup sang kakak.
Dalam
kelas, May dianggap anak yang rajin mengikuti proses pembelajaran dengan
tingkat pertisipasi yang cukup tinggi. Hal penting dari uraian para guru,
materi pelajaran, buku atau sumber lain yang terkait, selalu ia catat atau
diresume di rumah maupun di kelas untuk kemudian dijadikan acuan atau bacaan
pada saat siswa dipersilahkan bertanya atau berpendapat oleh pengajar, atau
pada waktu diskusi diselenggarakan dalam kelas. Di dalam kegiatan ekstrakurikuler,
May juga aktif pada kegiatan-kegiatan OSIS dan Pramuka. Bagi May,
keikut-sertaannya di luar aktivitas kelas dipahami sebagai bagian dari
pengembangan dan peningkatan kualitas diri sehingga manfaatnya kelak akan
dirasakan tidak saja bagi dirinya, tetapi bisa ditemukan oleh orang banyak. Maka
itu, sosok May Ramitis selain dikenal sebagai gadis yang lebih banyak bergelut
dengan buku bacaan, ia juga dipandang sebagai pribadi yang supel dan energik. Dikenal
sebagai profil yang selalu mempergunakan kesempatan untuk menambah
perbendaharaan ilmu dengan membaca dan menulis pada satu sisi, serta orang yang
memiliki etos kerja tinggi dan mudah bergaul dengan siapa saja pada sisi yang
lain. Oleh karena itu, meskipun May sering mengurung diri jika di tempat kos,
bukan berarti ia tidak punya teman. May
tampil sebagai golongan kawula muda yang pintar tapi bersahabat, cerdas namun
bersahaja.
***
Dasar, ulah
Akilah sering kali membuat sakit hati Idian UJ. Sikap urakan, terasa tidak
peduli, dan bahkan terpengaruh ikut-ikutan melakukan anak-anak jalanan. Ila
sering kali pulang malam, hampir-hampir setiap malam berputar antara kafe dan klub
malam, ia juga menjadi gadis perokok.
Malam
minggu ini Ila dengan senangnya menggandeng tangan Fidor, teman lelaki yang
baru saja dibawa ke tempat kosnya. Kretek filter kecil yang selalu saja
menghias di antara dua bibir tipisnya, menjadi pelengkap polah Ila yang kian
terkesan jalang. Idian yang menunggu di teras depan tempat kos Ila hanya dapat
menggeleng kepala menyaksikan tingkah gadis yang dinanti sejak tadi. Dengan
rasa bangga, Ila memperkenalkan Fidor yang diaku sebagai cowoknya. Idian tak
bersikap marah ataupun emosi kepada Akilah. Bahkan lelaki berparas kebapakan
ini menyalami dan menyelami identitas Fidor yang baru saja dikenalnya.
“Il,
seharusnya kamu lebih selektif dan berhati-hati memilih teman, apalagi teman
pria. Sebab, tidak jarang mereka tampak bersikap baik dan mau bersahabat dengan
kamu, ternyata di balik itu semua ada niatan jahat. Kehendak busuk dari lubuk
mereka yang terkadang kita tidak mengetahuinya. Makanya, kamu harus
mengantisipasi dengan sikap kehati-hatian agar tidak terjerumus ke dalam lobang
kenistaan. Bahaya Il sebagian laki-laki seperti mereka itu!” Nasihat Idian untuk
Akilah setelah Fidor mengangkatkan kakinya tanpa kata basa-basi kepada Idian.
“Huh,
sok banget kamu Mas,” sahut Ila.
“Bukan
begitu Il. Aku hanya prihatin melihat kondisi kamu sekarang ini. Kamu mungkin
tidak menyadari bahwa kini kamu telah betul-betul terjerat oleh kehidupan
mereka. Kamu sering pulang malam, pergaulanmu hanya bersenang-senang, dan kamu
ikut-ikutan merokok.”
“Mas, apa
pedulimu dengan kehidupanku? Aku bertingkah seperti siapapun terserah aku Mas.
Toh, aku begini tidak pernah membuat kamu rugi. Lalu apa pedulimu?” Celoteh Ila
lagi dengan nada agak tinggi.
“Apa
yang dikatakan Mas Idian itu benar kak. Selama ini kakak sudah terlalu jauh
bergaul sampai-sampai perkuliahan kakak tidak begitu terurus. Coba itu diingat
kak!” Sahut May Ramitis setelah keluar dari kamarnya setelah mendengar langsung
perbincangan sengit antara Akilah dan Idian UJ.
“Apa
kamu May, masuk sana!” Bentak Ila.
“Kak.
Apa yang dikatakan Mas Idian itu benar. Kakak memang selama ini hanya membuang
waktu belaka, mencari kenikmatan dan kesenangan semu. Padahal dari siapa biaya
itu kak? Cobalah dipikir ! Ayah yang selalu mendanai kita. Itu semua bukan
untuk dihamburkan sia-sia. Ayah memperoleh dengan susah payah hanya karena
ingin melihat kita dapat dengan mudah menggapai cita kita. Ayah ingin
menyaksikan kita bahagia di hari esok kelak dengan segala asa yang selama ini
kita impikan. Lalu kalau digunakan percuma, bagaimana perasaan ayah kak?”
“Sudahlah
May, kamu jangan berkhotbah. Kamu jangan sok suci May. Aku memang brengsek,
anak tidak tahu diri, jalang, najis, kotor, sampah. Puas kamu!”
Melihat
pertengkaran kakak beradik mengundang perhatian seisi kos, apalagi nada suara
Akilah kian meninggi, Idian segera melerai keduanya.
“Sudahlah,
May masuk ke kamar! Silahkan yang lain masuk saja! Ila, sabarkan dirimu, duduk
dulu!” Lerai Idian kepada May dan pintanya kepada beberapa penghuni kos putri
yang sempat keluar dari kamarnya.
Sementara
Ila sesenggukan setelah duduk bersandarkan pundak Idian. Air mata yang dilihat
Idian meleleh di pipi Akilah segera saja diusap dengan sapu tangannya. Malam
ini, bagi Ila, benar-benar saat yang menghentak bawah sadar yang selama ini
terselubung oleh perburuan kepuasan yang mulai terasa terselimuti kepalsuan
belaka. Perkataan Idian, lelaki yang berada didekatnya, dan ucapan May, saudara
kandungnya, masih begitu terngiang di gendang telinganya. Kejadian beberapa
detik yang lalu itu sedikit demi sedikit mulai menyingkap kebenaran yang selama
ini dirasa hilang, sehingga apa yang dilakukan tidak pernah sedikitpun dianggap
sebuah kesalahan. Lelaki yang disandarinya kini terasa betul-betul berarti
kehadirannya, tidak saja sebagai pembawa kunci pintu kebaikan, tetapi bahkan
sebagai pria yang akan mampu menjadi penuntun jalan kelak dikemudian hari.
***
Idian UJ
merasa sangat kesulitan untuk menemui Akilah di tempat kosnya. Setiap kali
didatangi, ditanyakan kepada saudara atau teman-temannya, atau malah dihubungi
sekalipun, Akilah selalu saja sibuk dengan kegiatan kampus atau organisasi.
Pada satu sisi, Idian merasa bahagia dengan perubahan Ila yang tampak beranjak
positif, namun di sisi yang lain ia merasa gelisah karena antara dia dengan
dirinya mulai berjarak. Pendekatannya selama beberapa waktu yang lalu melalui
perjuangan dan ketabahan menghadapi sikap cetus dan keangkuhan Akilah,
saat-saat sekarang telah membuahkan hasilnya. Tetapi kalau upayanya mendekati
dan memperbaiki Akilah terbayarkan, justru perubahan itu sendiri membuat hubungan
keduanya merenggang.
“Mas
Idian, kak Ila sedang pergi. Duduk saja dulu!” Sambut May setelah keluar dari
kamar. Idian seperti biasa langsung duduk di kursi dekat pohon jambu di depan
sebelah samping rumah kos ini. Dedaunan rindang pohon jambu yang menutupi sinar
lampu tempat kos Akilah menjadi peristirahatan favorit Idian setiap kali
bertandang ke tempat ini.
“Oh ya,
lagi kemana May?”
“Tidak
tahu Mas, katanya sedang mempersiapkan acara seminar GMNI dua hari lagi. Kakak
menjadi Sekretaris Panitianya.”
“Kenapa
tidak dihubungi saja Mas?”
“Itulah
masalahnya, HP-nya jarang diangkat. Makanya aku kesulitan menghubungi dia,
May.”
Pertemuan
demi pertemuan antara Idian UJ dan May Ramitis yang awalnya hanya bersifat
kebetulan belaka, kini mulai terasa akrab. Perbincangan kedua insan yang
mempunyai tipologi logis dan ilmiah, begitu mudah terkomunikasikan dengan cepat.
Kepribadian keduanya nyaris tak berbeda, mereka sama-sama pembaca dan aktivis
di masing-masing jenjang. Perbedaannya hanya terletak pada beberapa sifat menonjol
dalam sosok pribadi. Idian cerdas, pandai dan penyabar, sedangkan May pintar,
ulet dan kekanak-kanakan. Kadang ulah manja May mulai muncul sesekali, meski
pertemuan hanya sebatas perbincangan di depan kos.
Kini
perjumpaan Idian UJ dengan May tak hanya terbatas di teras kos, tetapi
keakraban keduanya sudah mulai terlihat di warung dekat kampus Idian,
perpustakaan, serambi masjid kampus atau taman kampus yang indah dan rindang. Seperti
biasa, saat May menyertai Idian ke warung, Idian mengajaknya ke “Warung Pojok
Depan” milik Pak Siloh, warung langganannya. Warung dipilih oleh Idian sebab
selain menyajikan menu makanan sederhana dan murah-meriah, warung itu juga
menyediakan jaringan internet, sehingga warung itu menjadi sangat cocok bagi
pengunjung kalangan pelajar kelas ekonomi menengah ke bawah. Warung model
begini memang menjamur di sekitar tempat perkuliahan Idian, berjejer nyaris
saja berdekatan. Walaupun warung semacam ini sedang tren dengan segala bentuk
tampilan, menu dan pelayanan, tetapi pengunjung selalu saja penuh, lebih-lebih
malam Sabtu dan Minggu. Sosok Akilah sudah mulai terlupakan di benak Idian
semenjak May mengisi lembar-lembar kehidupannya. Bukan saja karena Idian begitu
dekat dengan May, tetapi kedatangannya ke tempat kos tak bertemu Akilah
ditambah komunikasi sudah terputus menjadikan hubungan keduanya begitu sangat
renggang bahkan telah berkesudahan.
Kendatipun
May masih duduk sekolah menengah atas, tetapi kepandaian dan kecerdasannya
membuat Idian terpikat pada cara berpikir, nalar dan bicara gadis ini.
Percakapan keduanya seringkali diwarnai dengan perdebatan dan diskusi sengit
dengan topik dan isi pembicaraan yang berbobot. Tidak saja materi pendidikan
yang dipelajari oleh May di sekolahnya, tetapi persoalan-persoalan yang menyangkut
sosial, politik dan budaya menjadi bahan perbincangan keduanya. Hal yang
membuat hubungan keduanya kian karib, meski tidak jarang pokok pembicaraan mereka
berdua cukup serius, adalah setiap kali perbincangan selalu diselingi dengan
senyum atau gelak tawa.
***
Semenjak
Akilah mulai merasakan ada ketenangan dengan perubahan cara hidup yang ia alami
selama, ia lebih menikmati kegiatan dan aktivitas positif dengan kesungguhan
dan optimal. Ia lebih banyak berada di ruang inap kantor GMNI, tempat
organisasi yang ia geluti selama ini. Dari ruangan ini, Akilah banyak melakukan
aktivitas-aktivitas rutin keorganisasian, mulai dari administrasi, rapat atau
kegiatan lain yang tidak mungkin digarap di tempat kos. Keseriusan disertai
hobi, menjadikan Akilah lebih memilih berada di salah satu ruang kantor
organisasi kemahasiswaan yang diikutinya ketimbang mondar-mandir antara kantor
dan tempat kos, sementara di ruangan ini ia sebagai perempuan tidak sendirian.
Akilah
memang sengaja menjauh dari Idian UJ dengan menghentikan segala cara
komunikasi, baik melalui pertemuan maupun alat telekomunikasi. Terasa berat
menghilangkan raut wajah lelaki itu dari ingatannya, tetapi keputusan seperti
ini harus ia lakukan sebab Akilah tidak pantas bersanding seorang Idian UJ,
pribadi baik dengan seluruh sifat positif yang dikenal para sahabatnya pada
dirinya. Sedangkan Akilah, seorang wanita jahat dengan segala perangai negatif
yang seringkali disandangkan pada dirinya oleh banyak temannya. Bagi Akilah,
tidak mungkin barang najis harus dicampur dengan sesuatu yang suci. Pada
mulanya, ketegaran memilih keputusan demikian ini mengharuskan seorang Akilah
menjadikan tetesan air mata sebagai tumbal. Tetapi sejalan roda zaman, air mata
mulai mengering sejurus dengan kesibukan yang ia lakoni telah benar-benar
menghapus kesedihan yang menghinggapi batinnya. Apalagi kegiatan keorganisasian
ditambah teman-teman Akilah dalam satu organisasinya mampu menghantarkan gadis
ini pada suasana kegembiraan yang cenderung positif. Kini, Akilah merasa lebih
tenang dengan berbagai aktivitas, bagi Akilah, menjadi pelipur lara kalbunya.
Perasaan Ila semakin riang tatkala mendengar sekaligus menyaksikan Idian UJ
tengah dekat dengan adiknya. Menurut Akilah, masa kini sang kekasih sungguh-sungguh
sudah menjadi mantan yang tak lagi kehilangan tongkat. May Ramitis di samping
Idian dianggap sebagai titisan melebihi dirinya yang bisa menjelma sebagai
sosok pengusap air mata jika sedih, pribadi yang dapat menampung keluh tatkala
gelisah dan seorang gadis cerdik yang sanggup mengimbangi kepandaian lelaki
itu.
***
Nama
Idian UJ benar-benar telah sirna di lubuk hati Akilah, terlebih sesudah Akilah
dekat dengan Fidor, jejaka Prodi Bahasa Indonesia, yang sesama aktifitis GMNI.
Lelaki yang lebih akrab dengan panggil Mas Fifi ini selain pegiat GMNI pada
kegiatan ekstra, ia juga selalu ikut kegiatan teater pada organisasi intra
kampus. Di samping pemuda enerjik dalam setiap program organisasi
kemahasiswaan, Mas Fifi juga memiliki keahlian bersajak. Kepiawaiannya
mengumandangkan syair-syair puisi dalam setiap kali berucap, acapkali ditunjuk
oleh teman-teman seorganisasinya untuk mewakili dalam kegiatan atau lomba yang
bersifat teaterikal. Bahkan dalam rapat organisasi atau kesempatan berkumpul
seringkali Mas Fifi didapuk oleh para sahabatnya untuk menutup acara dengan
kata-kata puitisnya.
MALAM
YANG GAMANG
Sama
seperti sebelumnya
Malam-malam gamang
Tinggal aku seorang
Tiada teman ‘tuk tertawa
Malam-malam gamang
Tinggal aku seorang
Tiada teman ‘tuk tertawa
Biasa lagu merdu dari dara
Iramanya tidak terdengar lagi
Hanya dua burung merpati
Mesra di sangkar beranda senja
Cumbui malam yang gamang
Kidung kicau kiranya
Menjadi alunan tembang
Menghibur hati yang merana
Kuberi senyum padanya
Sebagai tanda terima kasih
Meski aku terluka sungguh
Tertusuk panah asmara
Sajak
ini salah satu yang dikumandangkan Mas Fifi tatkala rapat koordinasi malam itu
berakhir. Sejak awal Akilah mendengarkan dan menghayati bait demi bait yang
terucap dari bibir Mas Fifi. Terenyuh lubuk hati Ila menyimak puisi ini,
sehingga tidak terasa butiran air bening telah mengalir di pipinya. Untaian
sajak Mas Fifi mampu menghantar lamunan Ila mengarungi pengalaman hidup masa sebelum
kenal dengannya. Sesungging senyum menghias di bibir gadis ini kala teringat waktu-waktu
kelam menyelimuti dirinya. Ila merasa sekaranglah ia benar-benar menjadi
manusia seutuhnya dengan ditandai eksistensinya terasa berguna bukan saja bagi
diri sendiri, tetapi kepada sesama pun manfaat itu sungguh begitu menjalar.
Dahulu, kebahagiaan diukur oleh seberapa maksimal kesenangan materi didapat,
meski terkadang jeritan naluri tak bisa dibohongi. Kini, kebahagiaan cukup
diperoleh dengan seberapa banyak hal positif dilakukan, walau kadang-kadang fakta
kantong kosong tidak dapat dipungkiri.
***
“Warung
Pojok Depan” milik Pak Siloh merupakan salah satu saksi keakraban Akilah dan
Fidor selain perpustakaan, serambi masjid kampus, taman kampus yang indah dan
rindang atau di kantor tempat mereka beraktivitas. Kecocokan begitu terlihat
dari pergaulan yang selalu akrab diiringi suasana serius dan gelak tawa di antara
mereka berdua. Tentu saja bukan Fidor namanya kalau dalam setiap berucap tidak
diwarnai kalimat indah bernunsa puitis.
MUNGKINKAH
Mungkinkah sang bayu berkesiur merdu
Riuhkan rangkaian cerita tetangmu
Mungkinkah luruh dedaunan
Peristiwa demi peristiwa pertanda
Bahwa ialah keabadian cinta yang sesungguhnya
Seolah sang pujangga
Memintal jejak sajak dari remang jelaga jiwa
Sungguh tangguh keinginanmu dapatkan citra
Ingin sekali kutanggalkan perjalanan
Cerita pada lembar hari kalendermu
Berharap agar selalu lelap kamu
Dalam mesranya, serasa cinta milikmu berdua
Ah . . . ! tampak senyummu tertusuk panah asmara
Rekah ranum bibirmu merengkuh luka nestapa
Mencoba menyimpan lara dalam mahligai asmarandana
Sebagai tembang pelipur lara yang semakin bertakhta
Inilah
faktor yang menjadikan Ila merasa enggan menjauh dari sanding Fidor.
Kebersamaan mereka yang terkesan bagai pinang dibelah dua, seakan tidak ada
Fidor jika tak disertai Akilah, membuat rasa cemburu bagi siapa saja yang
menyaksikan kedekatan mereka berdua. Bagi Akilah, Mas Fifi tidak saja dianggap
sebagai pundak kuat yang mampu dijadikan tempat berkeluh kesah, namun lelaki
itu telah menjelma seperti dewa penolong dari setiap keputusasaan yang
seringkali menghinggapi seluruh situasi yang dirasakan Akilah. Di mata Akilah,
Mas Fifi merupakan perjaka tegas yang bisa menunjukkan solusi alternatif
terbaik pada saat ia bertabrakan dengan problematika yang dihadapi dalam setiap
kegiatan, baik bersifat personal maupun organisasi. Semangat dan etos kerja
acapkali tumbuh setelah tersiram motivasi Mas Fifi. Oleh karena itu, Akilah
merasakan kehadiran Mas Fifi di sampingnya merupakan anugerah Tuhan yang tidak
boleh ditampik. Tak jarang Akilah menengadahkan tangan memuji Tuhan atas
derma-Nya yang tak berkesudahan.
***
Malam
Minggu itu Akilah sedang bersama Fidor di “Warung Pojok Depan” milik Pak Siloh.
“Il, aku
besok harus pulang. Aku kangen ibu, sudah lama tidak berjumpa,” kata Fidor,
setelah sekian lama bercakap dengan Ila tentang banyak hal.
“Ya, gak
apa-apa Mas. Tapi jangan lupa telpon Ila kalau sudah sampai di sana,” sambung
Akilah dengan nada manja.
“Ila,
kenapa kau meragukan wujudku. Angin dan burung pasti ‘kan selalu setia membawa
kabar tentang diriku. Percayalah Il, waktu dan tempat tak kan mampu menjadi
tembok pemisah di antara kita,” kilah Fidor sambil memanggut dagu Akilah yang
tengah tertunduk lesu. Fidor kemudian mengajak Akilah kembali ke kantor GMNI,
sebab ia ingin segera bergegas pulang. Akilah menuruti ajakan Mas Fifi, meski
sebetulnya berat rasanya berpisah dengan karib yang disayanginya itu.
Sejuta
pilu bagai menghujam batin Ila, ia tak mampu berkata sepatahpun, hanya derai
air mata yang mengalir deras di pipinya, saat ia mendengar berita lewat telepon
dari keluarga Fidor bahwa pemuda itu tewas dalam kecelakaan tabrak lari. Bus
yang berjalan dengan kecepatan tinggi menghantam sepeda motor Mas Fifi sehingga
terseret sampai sekian meter dari kejadian, dan Mas Fifi meninggal di tempat
dengan mengenaskan.
Rupanya,
pertemuan di warung itu tanpa disangka menjadi tatap muka terakhir dengan
dirinya. Masih terasa bagaimana tangan Mas Fifi memanggut dagunya yang dibalas dengan
anggukan manja. Ternyata kata-kata puitis yang diucapkan itu menjadi kalimat
terakhir yang keluar dari bibir Mas Fifi, seakan hanya merupakan pelipur lara
menutupi tidur panjang yang bakal memisahkan keduanya.
Semenjak
hidup Akilah dilalui tanpa Fidor bagaikan kidung tak bermakna. Saat-saat
melakukan kegiatan keorganisasian atau kesibukan apapun kerapkali dikerjakan
berdua, kini Akilah hanya menyelenggarakan tanpa teman yang benar-benar
mengerti tipologi dirinya. Biasanya hari-hari dan waktu yang dilewati selalu
saja diwarnai dengan gelak tawa, penuh senyum, ucapan mutiara nan puitis padat
arti, baik ketika berdua maupun bersama kawan-kawan seorganisasi. Tetapi kini,
minggu demi minggu hanya dialami dalam kesendirian, serasa alam raya ini kian
sunyi dan sungguh-sungguh sepi. Sebetulnya para sahabatnya telah berupaya
menghibur Ila agar kembali bersemangat menyongsong masa depan dengan ragam
motivasi dan dorongan, tetapi segala usaha dari kawan-kawannya tak mampu
menjadikan luka Akilah terobati. Semakin banyak petuah yang dinasihatkan, kian
membuat mata Akilah tersembab dan pipinya terbasahi.
***
Sejak
hidup dalam rasa kesepian, gundah gulana tak lagi sirna dalam lubuk yang paling
dasar, semenjak itu pula badan Akilah kian kurus kering akibat serangan
komplikasi yang menggerogoti kebugaran tubuhnya. Bak jasad hidup, postur Ila
hanya tinggal tulang dibalut kulit belaka, pipinya keriput dan matanya cekung,
sehingga pada akhirnya, Ila harus rela berada di atas kursi roda akibat lumpuh
kaki yang dideritanya.
Kadang
terbayang dalam pikiran seorang Akilah harus menghentak, menjerit dan menggugat
Tuhan. Kenapa Dia menggariskan hidup sekian manusia terjerembab dalam lubang
kesengsaraan di antara banyak insan yang tegak di altar kebahagiaan? Mengapa
Dia pastikan aku terkurung dalam jeruji kesenyapan, sementara adikku Dia
posisikan sebagai ibu rumah tangga dari keluarga yang tenteram dan sejahtera?
Panjang, yaa :D
ReplyDeleteTapi keren banget tulisannya :)
Teruslah berkarya :))
Betul. Panjangnya keterlaluan.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung.
Mari berbagi
:)