sumber foto: di sini |
Oleh: Irham Thoriq
Saat tulisan ini diketik, lebaran sudah masuk hari kelima.
Di desa saya, tak ada tanda-tanda keriuhan lebaran tahun ini sudah berakhir.
Orang desa, masih hilir mudik mengunjungi sanak saudara serta para tetangga.
Bunyi petasan masih terdengar dari berbagai sudut kampung.
Di hari yang sama, puluhan kilometer dari desa, jantung Kota
Malang sudah mulai hidup, ditandai dengan macetnya sejumlah ruas jalan. Dari
desa saya ke Kota Malang, yang jarak tempuh di hari biasa hanya satu jam dengan
bersepeda motor. Saat itu, harus saya lalui hampir dua jam. Rupanya, di hari
kelima orang-orang sudah kembali dari kampung halaman mereka. Para masyarakat
urban ini sudah mulai bersiap untuk bekerja dan menjalani kepenatan Kota.
Masih terasanya denyut lebaran di Desa tidak terlalu
mengejutkan. Ya, begitulah orang desa selalu punya waktu luang lebih panjang
dari orang kota untuk merayakan apa yang pantas mereka rayakan. Orang kota yang
identik dengan masyarakat industri, kebanyakan hidupnya selalu dikejar waktu.
Bahkan, bagi sebagian orang, hanya untuk bertemu orang tua, mereka harus
menunggu cuti panjang atau libur lebaran.
Soal desa, selama Ramadan lalu saya mendapat pengalaman
mengunjungi 12 desa di Kabupaten Malang. Waktu itu saya ditugasi liputan soal
kerukunan antar umat beragama di 12 desa yang pemeluk agamanya majemuk. Selain
soal kerukunan, banyak hal yang saya dapat dari dua belas desa itu. Salah
satunya soal bagaimana orang-orang desa menjalani dan merayakan hidup mereka.
Di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, misalnya, saya menemui penduduk suku tengger yang ramah-ramah. Meskipun
mayoritas Budha, mereka menyambut kita yang Muslim dengan penuh keramahan. Saat
kami mampir ke rumah warga untuk wawancara, sepersekian menit si tuan rumah
sudah menyuguhkan kopi hangat. Sederhana memang, tapi fenomena ini langka kita
temukan di perkotaan.
Sore keesokan harinya, saat kami berkeliling di Desa Ngadas,
matahari sore sudah mau beranjak pergi. Ketika itu, kami banyak menemui
orang-orang Ngadas sedang berada di dapur. Tidak untuk memasak, mereka sengaja
berlama-lama menghadap tungku di dapur untuk menghilangkan hawa dingin yang
menyengat.
Tri Wiratmo, Salah seorang tokoh masyarakat mengatakan,
memang dalam menjalani hidup masyarakat Ngadas dan suku Tengger tidaklah
neko-neko. Bagi mereka, selepas berkebun dan berlama-lama di dekat tungku sudah
merupakan kemewahan."Kurang enak rasanya kalau tungku di rumah tidak
menyala terus menerus," katanya.
Ya begitulah suku tengger merayakan hidup mereka dengan
sederhana. Saking sederhanannya, jika pemuda desa jamaknya memilih merantau ke
kota untuk mengejar rupiah, pemuda suku tengger jarang ada yang mau merantau.
Kebanyakan, mereka meneruskan menggarap lahan pertanian warisan orang tua.
Mungkin karena ini pula, ada hukum adat di suku Tengger yang mereka pegang
kekeh yakni melarang tanah milik suku Tengger dijual ke orang luar. Karenanya,
lahan pertanian masyarakat suku Tengger tetap digarap generasi mereka dan
menjadi musabab para anak mudanya tidak mau merantau.
Di desa lain, kami juga banyak merasakan keramahan
masyarakat desa. Selama perjalanan, kami selalu ditawari untuk tidur di rumah
penduduk, bahkan si tuan rumah repot-repot menyediakan makanan untuk buka puasa
dan sahur. Sederhana memang, tapi sekali lagi, hal itu amat jarang kita temui
diperkotaan.
Ya, mungkin itulah yang membedakan antara penduduk kota dan
desa. Meskipun tidak bisa digeneralisir kalau orang desa selalu baik dan orang
kota cenderung culas, tapi, bagaimanapun, menurut ilmu psikologi, situasi
lingkungan kita hidup sangat menentukan watak dan karakter kita.
Jika kita hidup di perkotaan yang sangat individualis, selalu
dipacu dengan waktu, bukan tak mungkin kening kita akan selalu mengkerut, minim
humor, dan bahkan tidak humanis. Karena, ya begitulah lingkungan kita.
Tidak heran jika di sebuah jalan di Kota, saat kita
kecelakaan dan terjatuh, orang sekeliling kita hanya melihat dan melongo, tanpa
ada inisiatif untuk menolong. Ini pulalah yang pernah saya rasakan di suatu sore
saat mengalami kecelakaan ringan. sekali lagi, memang amat sederhana, tapi
inilah yang membedakan antara orang kota dan orang desa dalam merayakan hidup.[]
0 komentar:
Post a Comment