Sumber foto: di sini |
Oleh: Muhammad Madarik
Mendung masih menggantung
di bawah langit, kendati hujan sudah mulai rintik setelah semenjak tadi Kota
Apel ini diguyur air dengan lebatnya. Dalam kondisi jalan licin, Zami
membanting setir ke kanan dengan cepat. “Syiiit” bunyi roda memanjang, saat Zami
menginjak rem secara mendadak. Hampir saja mobil Sport-nya melindas
trotoar ketika tiba-tiba sebuah Jeep memotong jalan. “Tiiit, tiiit,,,”
klakson dipencet berkali-kali, menggambarkan perjaka ini begitu kesal. Terlebih
mobil berwarna biru tua itu berlalu dengan kencang tanpa sedikit sopirnya
merasa bersalah, membuat Zami hanya mampu bergumam “masya Allah!” sambil
menggelengkan kepala pertanda ia semakin dongkol. Pada saat yang sama nada midnight
picnic dari HP-nya berdering.
“Halo?!” Suara Zami
ketika meraih telepon genggamnya.
“Iya, iya. Aku
sedang meluncur. Sebentar lagi nyampek, Fik!” Sambungnya lagi.
Segera Zami
membanting HP-nya dengan kasar ke jok kirinya seraya menancapkan gas memacu
kendaraan lebih cepat.
Sesampainya di
halaman gedung serba guna, ia langsung memarkir mobilnya di antara kendaraan
yang mulai berdatangan. Organisasi kemahasiswaan yang diketuainya memang sedang
mengadakan acara pengumpulan amal buat bakti sosial pembagian santunan anak
yatim dan orang-orang miskin di sekitar kampus dengan mendatangkan pembicara
dari kampus, intelektual muda dari Surabaya dan dimeriahkan dengan grup musik
dari ibu kota sebagai bintang tamunya. Sebagai pihak yang membawahi panitia
penyelenggara, ia didapuk untuk memberikan kata sambutan pada acara itu.
“Zam, kenapa kok
lambat sih? Ini ‘dah jam berapa?” Tanya Fika yang telah berdiri di depan pintu
gedung.
“Maaf, Fik, ini
di jalan aku hampir mo nabrak. ‘Gimana undangan?” Zami mengumbar alasan.
Seperti biasa, sejurus kemudian ia mengeluarkan bungkusan filternya, mengambil
satu batang, membakar dan menghisap dalam-dalam. Nikmat yang luar biasa
betul-betul dirasakan Zami, meskipun rasa kantuk yang sejak tadi masih tersisa
seolah terobati oleh hisapan demi hisapan.
Matanya yang
agak merah karena tadi malam menyertai panitia lembur membuat Fika menyadari
sedikit keterlambatannya.
“Yah, lumayan. Aku
lihat di daftar hadir sudah separo lebih. Kita tinggal menunggu Pimpinan
Rektorat yang kita undang,” sahut Sekretaris Panitia ini.
“Aditya mana,
Fik?”
“Itu di depan,
masih mengatur Seksi Acara,” tunjuk gadis berjilbab ini.
Tak lama, Puket
III dan beberapa dosen undangan telah menuju tempat acara. Melihat pihak yang
ditunggu sudah datang, Zami memberikan perintah-perintah persiapan kepada
segenap panitia yang berada di sampingya.
“Fik, kamu tetap
standby di sini dengan bagian penerima tamu, aku masuk dulu sama
Aditya,” ucap Zami memberikan komando.
“Ya, Zam,”
timpal Fika.
Sedetik, HP-nya
berdering. Rokok di tangan kiri, tangan kanan mengangkat selulernya sambil
berjalan menuju ruang acara.
“Apa, Mit?! Ya,
ya, nanti sajalah. Aku lagi sibuk,” Zami mempercepat langkahnya di jalan antara
kursi para undangan.
“Ya, nanti kuhubungi
lagi, Mit,” kembali suaranya menyeruak di antara pinggir jalan yang dilewati Zami.
Secepat kilat ia matikan HP-nya, sementara rokoknya tanpa terasa masih diapit
dua jari kirinya.
“Hei Zam!
Rokokmu!” Aditya menunjuk rokok itu.
***
“Bapak, Ibu,
Saudara sekalian,” Zami mengawali sambutannya setelah ba bi bu dengan mukadimah
di awal pidatonya.
“Ada hal yang
seringkali terlupakan dari banyak sisi kehidupan kampus, terutama para
mahasiswa. Ternyata gaya hidup sebagian besar mereka benar-benar nun jauh di
sana. Sementara masyarakat sekitarnya hanya menghirup udara dengan model hidup
sederhana dekat di sini. Seakan para mahasiswa menggelantungkan tangan-tangan
mereka di kaki langit, sedangkan masyarakat jelata melata di permukaan bumi.
Terdapat jurang perbedaan yang lebar nan dalam menganga di antara keduanya,
sehingga tak seorangpun akan berani bermimpi menyusun galah kemauan, yang
dirakit dengan temali silaturrahim, kemudian disambung di dua sisi egoisme.
Ada petuah
menarik dari kiai sepuh di salah satu pesantren tua yang menggambarkan tentang
kualitas pengetahuan dan pemahaman seseorang. ia mencontohkan tingkat
pendidikan yang dijalani setiap individu layaknya seperti sebuah bukit. Makin
tinggi kita mendaki, maka kian luas apa yang kita pandang. Bahkan saat kita
berada di puncak ilmu pengetahuan, kemungkinan besar kita mampu menyorot
seluruh permasalahan dengan sorotan yang luas dan mencakupi segenap dimensi,
bukan sebaliknya melihat dengan kaca mata kuda yang sempit dan picik.” Zami
berhenti sejenak setelah gemuruh tepuk tangan terdengar di ruangan. Tanpa
sengaja pandangannya berpapasan dengan sorot mata Fika yang berdiri bersama
beberapa panitia di ujung belakang. Fika terlihat menundukkan kepala ketika pandangan
keduanya bertabrakan.
“Bapak, Ibu,
Saudara sekalian. Tapi, fakta memang sering berbantah dengan teori empiris
sekalipun. Nyatanya gaya glamor, hedonis dan eksklusif masih saja kerap
menghinggap di dalam dinamika kehidupan para insan yang konon katanya kaum
intelektual. Lebih-lebih di masa sekarang, bawaan setiap mondar-mandir hanyalah
laptop, HP dan setumpuk buku hasil pinjaman perpustakaan. Barang-barang inilah
yang dirasakan oleh mereka dapat mengangkat status dan pandangan orang lain
terhadap gelar kemahasiswaan yang sedang disandangnya. Padahal, tidak disadari sebetulnya
mereka telah membanggakan sesuatu yang seandainya lenyap dari dirinya, mereka
bagaikan kakek keriput tanpa pakaian.” Kembali suasana riuh oleh tawa yang
diiringi tepuk tangan para hadirin.
“Sementara ini,
kita menganggap diri kita sebagai komunitas berkelas intelektual, sedang orang
kampung di sekeliling kita dianggap sebagai kaum ritual. Saat ini, kita dengan
segala penampilan dan atribut kemahasiswaannya merasa menjadi orang-orang
gagah, adapun mereka dengan serta merta kita nilai sebagai manusia-manusia yang
begitu jauh dari hidup megah.
Padahal
seandainya kita mau sejenak memejamkan mata, mengantarkan pikiran untuk
menerawang pada proses muasal kejadian, lalu sedikit saja bertanya, kita
berasal dari mana, maka sebetulnya kita akan dengan mudah menundukkan kepala
kepada golongan papa di sekeliling kampus ini, sebab tidak satupun mampu
memungkiri bahwa sebetulnya bapak-emak kita sama seperti meraka.” Sejenak Zami
menarik nafas, kemudian dengan nada pelan ia meneruskan kata sambutannya.
“Inilah beberapa
sebab kenapa kami semua Pengurus dan jajaran kepenitiaan mengadakan kegiatan
ini, tidak lain ingin menunjukkan kepada hadirin bahwa eksistensi kami selalu
diwarnai oleh rasa kepedulian pada sesama dan terus menerus ingin belajar
berwawasan bijaksana dan seksama.
Diakhir sambutan
saya, mohon maaf kepada Pimpinan dan para nara sumber, tanpa rasa sombong di lubuk
ini saya ingin mengawali pengumpulan dana ini dengan merogoh kocek sebesar
sembilan ratus sembilan puluh ribu rupiah.” Tepuk tangan menyeruak ruangan agak
lama, karena tindakan Zami di luar dugaan hadirin yang datang. Tetapi bagi
kawan-kawan Zami, perilaku dermawan itu bukan sesuatu yang asing. Lalu dengan
bla bla bla, Zami mengakhiri sambutannya.
Seperti biasa,
perjaka berkulit kuning ini keluar dari ruangan dan menghampiri beberapa
panitia yang sedang duduk dengan beberapa gelas kopinya. Sebelum menyulut rokok
yang sudah dikeluarkan, ia disalami teman-teman panitia.
“Selamat Zam.
Hebat pidatonya.”
“Selamat Zam.
Bukan saja isi pidatonya, tapi isi kantongnya,” sergah yang lain.
Zami hanya tersenyum
sambil menghirup rokoknya dalam-dalam. Kopi tinggal separo sisa sahabatnya
itupun menjadi incaran Zami yang merasakan kerongkongannya sudah mengering.
Zami memang
sosok yang nyaris perfect. Ia sudah dua periode ini dinobatkan sebagai
Ketua organisasi kemahasiswaan yang dipilih secara aklamasi tanpa lawan. Andai
saja tidak ada tata tertib tentang batasan jabatan, niscaya Zami akan dipercaya
kembali oleh teman-teman seorganisasinya. Hampir 2 tahun ini, organisasi yang
dipimpinnya menunjukkan perubahan positif yang ditandai dengan manejemen
organisasi yang teratur, kekompakan individu dan berbagai kegiatan spektakuler yang
diselenggarakan. Lelaki ganteng turunan Bandung, otak brilian dan anak orang
kaya ini memang acapkali menjadi incaran cewek di kampusnya. Hanya saja, Zami
tidak meladeni berbagai trik yang mereka lakoni selama ini.
***
Saat acara selesai,
Zami masih duduk-duduk diteras depan gedung. Zami tidak mengikuti sambutan
Pimpinan, orasi para nara sumber dan penutupan. Ia hanya bersama beberapa panitia
berbincang banyak hal dengan kopi dan rokoknya. Kini waktu sendiri, ia
dihampiri Aditya yang sejak tadi sibuk mengatur bawahannya.
“Hei, Zam.
Kenapa gak ke dalam?”
“Dit, kamu…. Ah,
sudahlah, aku di sini saja. Sudah beres kan?”
“Yeh, tinggal
menata dan merapikan gedung. Perlengkapan dan teman-teman yang lain juga kerja
kok. Zam, aku ngomong ni. Sebenarnya sudah lama, tapi waktunya selalu tidak
tepat. Nah, sekarang mungkin pas.”
“Wah, serius
banget kamu, Dit.”
“Enggak. Ini
hanya soal pribadi kok.”
“Soal apa sih?”
“Gini. Fika itu
sudah lama berbagi cerita denganku. Dia kan cukup dekat dengan aku. Dia sering
mengungkapkan isi hatinya, keadaan keluarga dan lain-lainlah. Tapi anaknya
minder. Yah maklum kan, dia merasa anak orang pas-pasan. Anak Madura, ada di
desa lagi. Yah, boleh dikata bukan anak keju, tapi anak singkong.”
“Ya, lalu kenapa,
Dit?”
“Si Fika itu, ya
gimana ya?!”
“Gimana gimana,
Dit?”
“Dia ada
perasaan padamu, Zam. Yah, boleh dikata menaruh hatilah.”
Meskipun sedikit
berdesir kalbunya, Zami hanya tersenyum belaka dan tidak ingin berlama-lama
dengan perasaannya ia mengajak Aditya ke warung.
“Itu, Rijal,
Misli, Kacong diajak juga,” ajak Zami. Salah satu sebab Zami disenangi
kawan-kawannya karena ia tidak segan-segan mentraktir sahabatnya.
***
Sore yang cerah
ditemani angin sepoi menjadikan cuaca tidak begitu gerah.
“Nak Zami!”
Panggil Bok Tun. Zami menepi dari kolam renang yang berada di halaman belakang
rumahnya lalu menyambar handuk di pagar kolam.
“Nak, kenapa
berenang sekarang?” tanya ibu tua yang merawat Zami sejak kecil itu.
“Karena Zami
tahu, setelah habis renang mbok pasti bawakan susu hangat buat Zami,” kilahnya
sambil menyabet segelas minuman berwarna putih kental dari tangan Bok Tun.
Seusai
berpakaian, Zami memasuki ruang tamu tengah. Ternyata di situ sudah ada ayah
dan ibu yang sedang duduk di sofa besar. Sang ayah membaca majalah mingguan,
sedangkan ibu memutar tasbih di tangan kanannya. Tak lama Anisa, adik ketiga
Zami, turun dari tangga di sebelah pinggir ruangan tersebut, kemudian duduk di sebelah
sang ibu.
“Zam, duduk sini!”
Suruh ayahnya.
“Ya, Bah,” sahut
Zami seraya mengibaskan rambutnya yang masih basah.
“Zam, beberapa
waktu yang lalu Pak Rahmad menanyakan perihal hubungan kamu dengan putrinya,
Paramitha. Maksudnya Pak Rahmad, bagaimana kelanjutan kalian berdua, sebab dia
sangat berharap sekali untuk menjalin kekerabatan dengan keluarga kita,” terang
Bapak Izuddin, ayah Zami.
“Maaf bah, Zami
belum berpikir ke sana. Lagian Zami enggak pernah meladeni Mita, walaupun dia menelepon
Zami,” tangkis Zami.
“Jangan percaya,
Bah! Kak Zami pasti sudah punya pacar,” ledek Anis, anak kelas V SD ini.
“Apa kamu!”
Sergah Zami sambil melempar bantal kecil ke arah adiknya itu.
“Sudahlah, Bah!
Anak masih senang belajar jangan diganggu dulu!”
“Ya, sudah. Abah
tidak akan memaksa kalau kamu masih berpikir begitu. Pesan Abah, jangan
mencemarkan nama baik keluarga besar Kiai Mansur. Kamu tahu kan, kakek kamu itu
seorang ulama di desa. Apalagi paman kamu, Abdul Hadi, pengganti kakek yang
menjadi ulama berkelas nasional. Yah, hanya Abah ini nasibnya menjadi
pengusaha,” jelas ayah Zami.
“Ya sudahlah,
kita salat Maghrib berjamaah. Habis ini aku ada undangan tasyakuran anak
perusahaan teman Abah di kota,” sambungnya lagi.
Setelah
mengiringi dan melepas suaminya pergi, sang ibu kembali ke musala rumah di
samping kolam renang, menemani Zami dan Anisa yang sedang membaca Alquran.
Seperti biasa,
sehabis makan malam bersama serampung salat Isya berjamaah, Zami duduk di dekat
kolam renang dengan menikmati rokok dan secangkir kopi. Siluet bulan yang
tengah sempurna memantul di tengah kolam yang beriak. Malam temaram yang
ditemani sang dewi bulan kian indah tatkala Bok Tun mengantarkan sepiring
pisang goreng hangat.
***
Zami memang
pemuda energik dan memiliki etos kerja tinggi. Sekembali dari Bandung, ia sudah
disibukkan dengan proyek pengembangan pupuk organik. Dengan menggandeng
beberapa LSM yang fokus dalam kegiatan yang sama, ia memobilisir teman-teman
mahasiswa yang sepemahaman untuk menggarap proses pemberdayaan masyarakat.
Sekarang Zami bersama beberapa kawannya di LSM sedang melakukan penjajakan
kerjasama dengan PT (Persero) yang bergerak dalam produksi pada skala besar.
“Harus diakui
selama ini, para petani di desa dan kampung sudah terlena dengan penggunaan
pupuk kimia bahkan cenderung berlebihan hanya gara-gara terbuai mimpi mampu mengejar
produktivitas hasil yang melimpah. Padahal fenomena itu merupakan buah rekayasa
sistematis dari produsen agar cara berpikir (image) yang tumbuh dalam alam
pikiran para petani adalah ketergantungan kepada hasil produksi mereka.” Zami
mengungkapkan presentasinya di depan para Wakil Kepala Bagian Produksi,
Pemasaran dan beberapa staf terkait dalam perusahaan itu.
“Sehingga anjuran
penggunaan pupuk organik masih belum diadopsi secara optimal dan tingkat
kesadaran mereka terhadap pupuk jenis ini masih berkisar 25%. Padahal
sebetulnya, banyak di antara mereka memelihara ternak.” Ujarnya sambil menghela
nafas.
“Semua kalangan
telah mengakui betapa pupuk organik sangat bermanfaat bukan saja bagi
peningkatan produksi pertanian baik dari aspek kualitas maupun kuantitas,
tetapi lebih dari pada itu dapat mengurangi pencemaran lingkungan, meningkatkan
mutu lahan secara berkelanjutan, mencegah degradasi lahan, ikut serta menghemat
anggaran negara, dan yang lebih penting efektifitas kerja bisa diserap secara
komprehensif,” lanjutnya yang disambut anggukan para penggerak perusahaan.
Selepas
mempresentasikan proposal proyeknya dan diusaikan dengan acara ramah tamah,
seperti biasa Zami menarik sebatang kretek filternya sambil keluar dari ruang
pertemuan. Seraya berjalan menuju sedannya, Zami melirik jam mewah yang
melingkar di tangan kirinya sementara tangan kanannya mengapit rokoknya.
Selesai disalami kawan-kawannya, ia memasuki mobil yang masih terbilang
keluaran anyar itu.
Itulah sebabnya,
meskipun menjadi incaran banyak cewek dan pernah didorong oleh ayahnya sendiri,
sosok seorang Zami belum pernah berpikir soal pendamping hidup apalagi hanya
sekedar mempermainkan kaum hawa.[]
0 komentar:
Post a Comment