Wednesday, October 7, 2015

Rekonsiliasi Bentuk Perikemanusiaan

4:36 PM

[sumber foto: di sini]
Oleh: Ahmad Rudi

Sejarah kelam bangsa Indonesia tidak lain ialah G30S/PKI yang diberi nama oleh rezim Soeharto. Namum penamaan tersebut merupakann bentuk propaganda dan provokasi kepada rakyat Indonesia, bahwa tragedi 65 merupakan pemberontakan yang digagas oleh Partai Komunis Indonesia.

Kami yang mengikuti pemikiran Bung Karno lebih sepakat menamakan tragedi itu Gestok yang diberikan langsung oleh Presiden sekaligus Panglima Tertinggi pada saat itu. Namun dengan nama G30S/PKI-lah rakyat Indonesia lebih mengenal, dengan membredel koran-koran yang anti AD, dan mendorong  koran-koran yang pro AD, maka propaganda-propaganda mulai diberikan lebih dalam kepada rakyat Indonesia.

Pemfitnahan yang terjadi luar biasa sadisnya. Pembunuhan jutaan jiwa rakyat Indonesia dengan dalih PKI atau yang dituduh PKI. Tragedi 65 bukanlah pembantaian yang wajar, di tanah pertiwi ini pernah terjadi pembantaian besar-besaran, pembantaian terbesar di dunia setelah Nazi. Siapakah dalang di balik Gestok itu? Apa memang PKI ingin mengudeta Soekarno dan mengganti pancasila, hingga lahir Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober? Apa makna Hari Keaktian Pancasila tersebut? Hingga 1 Juni 1945 tidak lagi dipakai untuk memperingati hari lahir pancasila pasca Orde Lama? Mengapa bukan hanya PKI yang dibantai, bahkan rakyat miskin yang tidak tahu apa-apa ikut serta dibantai? Ada apa dengan ungkapan “didahului atau mendahului”? Semua pertanyaan itu makin terbuka jawaban setelah masa reformasi ini.

Namun hingga saat ini belum ada yang mampu menggungkap tabir tersebut: siapakah sebenarnya dalang itu? PKI, Bung Karno, atau Soeharto dan CIA. Bukankah kurikulum Sejarah Indonesia masih menyalakan PKI sebagai dalangnya?

Janganlah lari dari masa lalu, JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah yang benar sesuai kenyataannyalah yang mestinya tidak dilupakan. Stigmatisasi negatif terhadap PKI, penghancuran eksistensi, hingga berujung pada pembantain massal yang melanggar HAM. Rakyat Indonesia tidak lagi bisa menerima komunisme di negeri ini bukanlah tanpa sebab. Film G30S/PKI yang setiap malam 30 September diputar pada zaman Orba, membuat rakyat semakin benci terhadap PKI, rakyat takut dengan kekejaman PKI, rakyat tidak menghendaki adanya orang-orang atheis di negeri ini.

Hal tersebutlah yang membuat rakyat phobia terhadap PKI dan tidak mau menerimanya lagi, meskipun penilain-penilain tersebut tidaklah benar adanya.  Bukanlah hal yang wajar-wajar saja, korban-korban yang masih hidup hingga saat ini dengan cacat fisik dan materil, yang masih ada di luar negeri dan tidak mendapat hak sebagai warga negara Indonesia. Apa yang telah terjadi masih membekas, dan luka itu hingga kini belum mampu terobati.

Marilah kita sama-sama tidak mencari siapa yang salah akan sejarah, tapi luruskanlah sejarah kelam itu hingga ke akarnya, sebagai bentuk pertanggung-jawaban terhadap korban-korban yang hingga kini masih disalahkan meskipun tidak mengerti apa-apa. Saat ini kita tidak sedang mencari siapa yang salah, namun rekonsiliasilah yang perlu kita lakuakan. Proses rekonsiliasi ini tidaklah merugikan pihak yang membantai, namun lebih pada pertanggung-jawaban kita sebagai manusia yang theis sama sekali, yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, terkhusus hak untuk hidup layak.

Tragedi 65 memberikan pelajaran yang luar biasa kepada bangsa kita, supaya tidak lagi pembantaian-pembantaian baru yang melanggar HAM. Rekonsiliasi sangat dibutuhkan, supaya korban-korban tidak lagi punya ketakutan batin yang kuar biasa karena stigma PKI yang disandangnya. Namun rekonsiliasi ternyata tidak atau belum juga bisa diterima oleh rakyat atau segolongan orang di negeri ini dengan alasan-alasan bahwa PKI ingin mengganti pancasila dan PKI atheis. stigma itu sampai kini masih melekat di benak rakyat indonesia. Soeharto dengan lihai membuat narasi sedemikian rupa, 32 tahun tidak ia sia-siakan nama PKI.

Namun meski demikian, dibutuhkan kesadaran dan kebijakan dalam bertindak. ‘’Belajarlah dari sejarah, maka kita akan lebih bijak,‘’ ungkap Ki Hajar Dewantara. Rekonsiliasi bukanlah hal yang mudah, namun tidak mungkin pemerintah akan  melakukan rekonlisiasi jika kurikulum sejarah Indonesia belum diluruskan, jika  stigmatisasi yang ada di benak Indonesia terhadap PKI diubah dengan kebesarannya. Karena dengan seperti itulah, pola pikir rakyat terhadap PKI dapat diubah secara perlahan.
 
Setiap kebijakan yang diambil pastilah punya nilai baik dan buruk. Namun kita sebagai manusia berperi kemanusiaan sudah sewajarnya melakukan rekonsiliasi dan para korban Gestok itu sudah selayaknya dapat hidup seperti pada umumnya kita hidup.[]


1 Oktober 2015
Putat Lor Gondanglegi Malang

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top