Tuesday, March 1, 2016

Bisakah Media Bebas Nilai?

7:01 PM


Oleh: Irham Thoriq

Apa hubungan antara jurnalisme dan filsafat? Sebagai induk segala ilmu, filsafat tentu berkaitan dengan apapun termasuk dengan jurnalisme. Salah satunya tentang proses mencari kebenaran, fisafat dan jurnalisme sejatinya adalah ikhtiar terus menerus untuk mencari kebenaran.

Jika filsuf mencari kebenarannya mungkin dengan merenung, wartawan mencarinya dengan mencari data lalu memverifikasinya dan setelah itu merangkai fakta-fakta itu. Karena tidak ada kebenaran yang hakiki, dalam proses mencari kebenaran itu bisa diibaratkan kita sedang mengetuk-ketuk pintu. Kita harus terus mengetuk pintu agar kita semakin dekat dengan kebenaran.

Mula-mula saya ibaratkan jurnalisme dengan filsafat karena dalam proses mencari kebenaran itu biasanya kita dipenuhi dengan aneka macam kepentingan. Oleh karenanya, dalam judul saya ajukan pertanyaan mendasar; Bisakah media bebas nilai?

Bebas nilai yang dimaksud adalah bebas dari kepentingan atau tidak ada nilai­nilai yang diperjuangkan wartawan ketika menulis berita. Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya tentu tidak ada yang bebas nilai. Tidak hanya media sebenarnya, hidup kita pun sebenarnya tidak ada yang bebas nilai.

Dalam kehidupan kita banyak yang memengaruhi, mulai dari orang tua kita, tetangga, teman, kerabat dan juga agama kita. Karena yang memengaruhi inilah, segala sikap kita sejatinya selalu penuh dengan kepentingan atau tidak ada yang bebas nilai.

Begitu juga dengan media, karena tidak ada yang bebas nilai maka produk yang ada di media adalah produk yang subjektif. Tidak ada yang objektif. Kenapa tidak ada yang objektif ? karena serangkaian proses kerja jurnalistik itu hasil dari aneka macam subjektivitas.

Mari kita runut dari awal. Ketika pagi hari wartawan mencari berita di lapangan, tentu saja wartawan akan mencari data yang sesuai dengan ‘selera’ media tempat mereka bekerja. Jika kita bekerja di media khusus ekonomi, tentu wartawan itu tidak akan mengambil kejadian sebesar apapun tentang krimanilitas.

Selain itu ketika ada undangan peliputan, bisa saja wartawan itu tidak mau datang karena menganggap acaranya tidak menarik. Itulah keputusan subjektif wartawan yang memilah mana yang menarik dan tidak menarik.

Setelah itu subjektivitas selanjutnya ada dalam rapat redaksi yang dilakukan redaktur. Untuk media massa seperti koran yang terbit harian, biasanya ada rapat redaksi pada sore hari atau sebelum redaktur mengedit berita. Saat inilah redaktur memilih berita mana yang akan dibuat halaman utama dan berita mana yang akan dijadikan berita utama atau Headline.

Tentu saja pemilihan itu adalah subjektivitas redaktur meskipun setiap media memunyai ukuran mana yang penting dan yang menarik. Tidak berhenti di situ, subjektivitas itu masih berlanjut di pagi hari selanjutnya ketika koran tiba di tangan pembaca. Para pembaca memilih mana yang hendak mereka baca dan yang tidak. Nah, di situlah pembaca juga memunyai subjektivitas.

Dari contoh-contoh itu, saya hendak mengatakan kalau dalam hidup ini sebenarnya tidak ada yang bebas nilai. Kalau kita ikut Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tentu kita akan membela PMII. Jika kita Islam, kita lebih memunyai kecenderungan membela Islam daripada agama lain.

Hati Nurani
Lalu bagaimana jika semuanya sudah tidak ada yang bebas nilai. Kita sebenarnya memunyai satu pegangan yakni hati nurani. Dari hati kecil kita itulah kita bisa menilai mana yang sebaiknya kita bela dan mana sebaiknya kita tinggalkan. Hati nurani adalah penilai di tengah subjektivitas itu.

Oleh karenanya, subjektivitas yang dilakukan wartawan, filsuf atau aktivis sebaiknya berdasarkan hati nurani. Untuk media misalnya, subjektivitas yang dipilih itu bukan berdasarkan uang, kepentingan media atau kepentingan pemilik media.

Apakah bisa? Tentu bisa, meski itu sangat sulit. Sebagai entitas bisnis yang harus menggaji karyawan dan menutupi biaya operasional, media harus menjaring iklan dari penguasa dan pengusaha. Nah, karena berbenturan dengan iklan inilah atau kepentingan pemilik media.

Pada pemilu 2014 lalu, misalnya, bagi kalangan wartawan pemilu tersebut menjadi momen turunnya kepercayaan masyarakat terhadap televisi. Kita tahu, dua stasiun televisi yang pemiliknya sama-sama memimpin partai politik dengan terang-benderang mendukung calon presiden dengan membabi-buta. Atas fenomena tersebut tentu masyarakat dan juga wartawan banyak yang prihatin. Tapi mau bagaimana lagi kita bukan pemilik media.

Peran Aktivis PMII
Di tengah subjektivitas itu, sebagai aktivis kita harus tetap mewarnai wacana publik atau kalau perlu menguasainya. Sebagai aktivis kita harus bisa menganalisa dan memproduksi wacana. Apa yang diperjuangkan PMII harus diproduksi dalam bentuk wacana agar bisa diketahui dan memberi manfaat banyak orang.

Media untuk memproduksi wacana itu bisa dengan membuat buletin, mengaktifkan website dan lain-lain. Jika hal tersebut tak dilakukan aktivis PMII, bisa jadi aktivis PMII hanya menjadi penonton bukan pelaku.


Artikel ini disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Komisariat Ibnu Rusyd atau PMII Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) Cabang Kota Malang, Sabtu 21 Februari 2016.

sumber gambar:

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

4 komentar:

  1. Tulisan ini memerintahkan saya agar melakukan hal yang sama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tolong bedakan antara kebenaran dengan pembenaran :))

      Delete
  2. Hal yang sama itu gmana ya Fawaid ?

    ReplyDelete
  3. ehm...tulisan sederhana, renyah dan tentu bagus; mencerminkan sisi transendensi dari penulisnya yang juga seorang jurnalis jaringan media besar. lanjutkan!

    ReplyDelete

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top