Sunday, November 27, 2016

5 Keuntungan Menjadi Keamanan Pesantren

7:54 PM

pure

Oleh: Halimah Garnasih

Menurut KBBI, kata “keamanan” adala kata benda yang memiliki arti ‘keadaan aman’, turunan dari kata sifat ‘aman’. Pada dasarnya kata ini tidak merujuk makna ‘lembaga’, ‘sebuah profesi’, atau ‘sosok; orang’. Namun, di beberapa Pesantren, kata ini memiliki pergeseran makna. Di beberapa Pesantren tersebut, saat Anda menyebut kata “keamanan”, maka konsep yang ada di benak pendengarnya akan otomatis merujuk pada ‘Divisi’, ‘Profesi’, dan menyempit pada ‘sosok’. Umumnya, kata ini akan mengalami penyempitan lebih dalam lagi pada makna “sosok yang menjadi momok” warga Pesantrennya.

Menjadi Keamanan Pesantren berarti menjadi santri yang paling ditakuti, dibenci, sering dicurigai, sekaligus dicintai. Menjadi Keamanan Pesantren adalah hal yang paling dijauhi, ditakuti, tapi diam-diam sekaligus diharapkan, diimpi-impikan, dan dibangga-banggakan. Kursi jabatan Keamanan Pesantren (selanjutya ditulis ‘Keamanan’) adalah kursi yang sarat kontroversi, polemik, dan guncangan. Kenyataan ini akhirnya menurun pada proses sosialnya dan tentu saja bergayut-kelindan pada ‘sosoknya’.

Banyak yang bilang, menjadi Keamanan itu banyak untungnya. Nah, tulisan ini hadir untuk mengamini asumsi tersebut. Di bawah ini ada lima keuntungan Keamanan terkait posisi yang bisa dipertaruhkannya berdasaran pengalaman kerjanya selama di Pesantren.

Menjadi Jurnalis yang Handal
Tidak tanggung-tanggung, Keamanan tidak hanya memiliki skill menjadi penulis dan peneliti. Lebih dari itu, Keamanan bisa menjemput masa depannya yang penuh tantangan dengan menjadi jurnalis yang handal!

Ini berdasarkan pengalaman panjangnya dalam kerja Keamanan yang tidak mengenal waktu dan tempat, kecuali hari liburan Pesantren tiba. Meski untuk kasus-kasus tertentu kerja Keamanan tidak mengenal hari libur sih.

Keamanan terbiasa mencari data aktivitas para santri dari absen-absen kegiatan pesantren yang super banyak. Setelah mendapatkannya, data-data itu dikelompokkan, lalu diteliti satu per satu. Dalam penelitian ini, Keamanan harus sangat teliti, rinci, dan berhati-hati jangan sampai terlewat satu nama dan satu kegiatan pun!

Hal ini karena berkaitan menentukan nasib seorang santri pada malam Jumat mendatang. Apakah dia akan lolos masuk Kantor Keamanan yang menyeramkan, atau harus mendekam dan menghabiskan malam Jumat nan sakral itu dengan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tubuh gemetaran.

Data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan itu tadi harus melewati tahap selanjutnya, yaitu verifikasi. Dan terakhir, Keamanan siap membuat laporan tertulis sebagai bahan persidangan malam mengerikan bagi para kriminal.

Dan sesungguhnya, dalam tahap akhir itu pun kerja Keamanan belum usai. Dia berpindah mengumpulkan, meneliti, dan mengolah data yang tidak tertulis. Data-data yang datang dari laporan beberapa pihak baik santri, pengasuh, maupun masyarakat sekitar Pesantren. Juga hal-hal kriminal (dalam konteks Pesantren; santri yang melanggar Tata Tertib Pesantren. Kriminal di Pesantren belum tentu kriminal dalam konteks Hukum Negara) yang langsung ditemukan sendiri oleh Keamanan.

Misalnya ya, ini misalnya lo ya: Seorang Keamanan (santri) putri yang mendapatkan surat titipan dari seorang santri putra untuk diberikan kepada santri putri. Kasus ini terkadang yang membuat pertimbangan para santri putra dalam menghafal wajah-wajah Keamanan putri.

Menjadi Intelijen Negara
Tidak jamak diketahui memang, bahwa Keamanan diam-diam memiliki beberapa telik sandi. Mereka datang dari para santri yang mustaqîm, alias lurus dan sungguh tidak menyenangi para santri yang terang-terangan melanggaran peraturan Pesantren. Mereka berkeyakinan, esensi nyantri adalah ngalap barokah. Dan esensi ini akan menjadi berjarak dengan santri apabila mereka melanggar peraturan Pesantren. Karena peraturan Pesantren memiliki turunan dari perintah dan larangan Kiai.

Keamanan yang memiliki bekal menjadi intelijen adalah dia yang cerdas membaca fenomena. Dia terlatih melihat, merekam, membaca dan menyikapi isu-isu Pesantren yang hadir ke permukaan dengan cerdas. Karena bila tidak memiliki kemampuan tersebut, alih-alih mendapatkan aktor-aktor yang bekerja di balik itu semua dan menjaga kestabilan Pesantren, dia akan menjadi korban bentukan isu dan terkecoh oleh para kriminal besar yang menjadi dalang dari semua kerusuhan. Ya, seperti keadaan Jakarta saat ini. Aduh, padahal sudah ngempet-ngempet agar tidak menyentuh perbincangan ini!

Keamanan juga terbiasa dituntut memiliki sudut pandang yang berbeda. Hal ini bukan untuk memosisikan diri di titik oposisi biner dan berhadap-hadapan, tapi bagian dari teknik melihat dengan holistik, juga menjangkau apa yang ada di sana. Sekaligus apa yang ada di sini.

Sebenarnya masih ada lagi. Tapi bagian ini harus unclassified, bila tidak, bisa jadi bentuk-bentuk kriminalitas akan semakin kreatif. Bila hal ini terjadi, Keamanan akan kelimpungan dan dituntut untuk lebih kreatif dalam tekhnik-tekhnik kerja senyapnya. Jadi, energi Keamanan sebenarnya memang perlu dimaksimalkan di titik ini, agar hasrat menyalurkan anarkisme (bila masih ada) sedikit demi sedikit menjadi lunak. Tentu saja disertai mulai menerapkan hukuman yang lebih manusiawi dan memiliki nilai edukasi. Sebuah kesadaran manusia-manusia berperadaban.

Pendeknya, Keamanan berpengalaman dan menerapkan dua kerja sekaligus, yaitu kerja FBI dan kerja CIA!

Menjadi Polisi, Pengacara, dan Hakim
Kerja Keamanan juga adalah kerja tiga profesi di atas sekaligus. Memanggil para saksi untuk dimintai keterangan sudah bagaikan makanan sehari-hari bagi Keamanan. Keamanan dituntut jeli menangkap keterangan para saksi baik keterangan verbal maupun non verbal. Membaca keterangan dari bahasa tubuh dan dari garis-garis di raut muka memang mendorong intelejensi Keamanan menjadi lebih dalam. Mana keterangan verbal yang berbanding lurus dengan bahasa tubuh, dan mana keterangan verbal yang bertolak dengan bahasa tubuh.

Di sinilah Keamana juga sering dihadapkan dengan perilaku metafisis para saksi, tersangka maupun korban. Sambil terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan sarat pancingan, semua indera harus aktif terjaga mengawal keadaan. Akan ada mulut yang tidak henti-henti merapal berbagai amalan yang dipercaya mengecoh atau membungkam Keamananan. Ada jari telunjuk yang bergerak-gerak memilin ujung kain kerudung sambil fokus menatap Keamanan yang dituju agar kehilangan fokus pada subjek, dan pola-pola metafisis lainnya oleh para saksi, tersangka, maupun korban yang dihadirkan.

Dalam menghadapi yang seperti ini, Keamanan juga terbiasa mengamalkan hizib dan mengantongi rajah dan semacamnya sebagai bentuk advokasi metafisis. Ini kelebihan yang barangkali tidak dimiliki Badan Keamanan Negara secara umumnya baik Nasional apalagi Internasional (saat mendapat serangan metafisis, KPK hanya menggunakan jasa, tidak melakukan sendiri). Di sinilah kemampuan intelejensi, emosional, dan spiritualitas Keamanan sangat terasah. Hal ini membentuk pribadi Keamanan sebagai sosok yang berkarakter, matang jiwa-raga.

Melewati proses di atas, Keamanan akan memasuki fase pengolahan keterangan dan memutuskan sebuah putusan. Di titik ini, ketegasan tanpa memandang bulu, dan kebijaksanaan harus mampu dihadirkan dari jiwa seorang Keamanan. Menjadi sosok yang bijak dengan mendasarkan keputusan sebuah putusan hanya dari simpul putusan dan mengacu pada limitasi, berkas Tatib Pesantren. Semacam UUD nya Pesantren lah ya.

Menjadi Pemimpin
Keamanan telah terbiasa pandai mengorganisir waktu, juga antara yang pribadi dan yang umum, bahkan di beberapa titik seringkali merelakan kepentingan pribadinya demi mengutamakan kepentingan umum. Kerja Keamanan harus terus berlangsung sementara kewajibannya sebagai santri dan peserta didik tetap menjadi tanggung jawabnya.

Ketika santri masih nyenyak tidur, Keamanan harus bangun terlebih dulu demi memastikan para santri telah bersiap melaksanakan salat jamaah saat pengasuh sebagai imam subuh telah rawuh di Musalla. Saat para santri telah mulai mengistirahatkan kedua matanya, Keamanan harus tidur lebih akhir untuk mengontrol keadaan santri dan Pesantren di malam hari. Saat santri nyaman belajar dan menghafal nazam di sela-sela kegiatan, Keamanan harus cerdik nyambi hafalan di tengah proses investigasinya. Bahkan, seringkali harus terjaga sampai menjelang subuh karena kasus-kasus besar sedang ditangani.

Manajemen dan skill organizing-nya sudah tidak perlu ditanyakan. Pengalamannya melayani umat telah mengasah jiwa Keamanan sebagai jiwa yang rela berkorban. Satu di antara hal esensial yang harus dimiliki seorang pemimpin!  Dan yang terpenting, pelayanannya untuk Pesantren menjadikannya santri yang dihujani barokah. Bersama barokah dari sang Guru, kerja kepemimpinanya akan senantiasa dikawal oleh kerelaan dan doa-doa. Bertabur barokah.

Menjadi Insan Kamil
Insan kamil atau manusia sempurna adalah istilah sarkasme yang ditujukan untuk Keamanan. Hal ini datang karena anggapan: benar atau salah Keamanan tetap benar. Keamanan luput dari proses hukuman. Bersamaan dengan itu, hal sebaliknya tertanam dalam kesadaran Keamanan: Salah atau benar, Keamanan selalu dipandang salah, seperti tidak ada benarnya di mata santri. Bilamana keliru, maka hujatan dan caci-maki akan datang bertubi-tubi. Bilamana berada pada jalur, bagaikan angin lalu. Bilamana berhasil mencetak prestasi kerjanya, itu memang menjadi sewajarnya.

Kenyataan di atas sesungguhnya menjadi bagian dari faktor yang menghantarkan Keamanan menjadi Insan Kamil (dalam arti yang sesungguhnya). Kontrol sosial yang dahsyat terhadapnya, dapat menjadi rambu-rambu dalam menjalani aral hidupnya di Pesantren. Jangankan meleot beneran, hanya akan meleot saja, rambu-rambu lekas berganti warna merah dan berbunyi nyaring sekali dan datang dari segala arah.

Selain menjadi kontrol sosial, kedua hal di atas akan membawa Keamanan pada titik berkontemplasi tentang keberadaannya di dunia Pesantren. Lalu bergerak lebih jauh, masuk pada spektrum yang lebih luas: kehidupan itu sendiri. Ia mulai melakukan perjalanan pikir dan batin dan menemukan muaranya. Akhirnya ia berjalan menemukan muara bukan karena kedua hal di atas. Bukan pula karena Tatib Pesantren. Apalagi terjebak pada ketakutan normatif: Kabura Maqtan ‘Indallaahi.

Allaahu A’lam.

Malang, 25-26 November 2016

sumber gambar: somewhere @ pure dreams

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top