Oleh: Muhammad Zamzami
Assalamu ‘Alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh…
Salam kenal dariku, wahai orang
yang telah dikaruniai Hikmah dari sisiNya, yang belum pernah sama sekali
Ia berikan kepada hamba-hambaNya yang lain, sehingga Ia mengabadikan pemberian
itu dalam salah satu firman suciNya, Luqman al-Hakim.
Memang jarak waktu antara kau dan
aku terlampau sangat jauh sekali. Ada yang bilang kau hidup pada masa Nabi
Ibrahim AS., ada yang bilang pada zaman Nabi Dawud, dan ada juga yang bilang
kau semasa dengan nabi Ayub AS. Tak hanya itu, orang-orang bilang kau berprofesi
sebagai seorang hakim yang amat adil di kalangan Bani Israel, ada yang bilang sebagai
tukang kayu, tukang jahit, bahkan ada juga versi lain bahwa kau adalah seorang
budak yang dibeli dari Habsyah.
Betapa pun banyak versi tentang profesi
dan kedudukanmu sebagai manusia, seperti yang mereka katakan tentangmu, aku
sama sekali tidak peduli. Yah, diakui atau tidak kau memang hanya seorang manusia
biasa, tak lebih sama denganku dan orang-orang di sekitarku ini. Namun ada hal
dari dirimu yang tak bisa kudapatkan dari mereka. Yaitu wasiat-wasiatmu kepada
anakmu, Taran. Entah berapa wasiat yeng telah dicatat oleh para penggemarmu,
yang kau ucapkan kepada anakmu itu.
Mohon maaf jika aku lancang
mengirimkan surat ini padamu. Aku hanya bingung dengan wasiatmu yang berbunyi:
يا بني، جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك، فإن الله يحي القلوب بنور
الحكمة كما يحي الأرض الميتة بوابل السماء
Bukankah itu adalah wasiatmu
kepada anakmu? Tentu saja kau tidak main-main dengan ucapanmu itu, kan? Juga
tak hanya anakmu yang kau inginkan untuk mengamalkannya, tapi juga
generasi-generasi setelahnya, kan? Jika memang iya, lantas kenapa sekarang situasinya
terbalik?
Hanya sekadar klarifikasi. Di
sekitarku saat ini, kalau saja kau tahu, banyak sekali ulama. Mereka adalah
orang-orang yang tak diragukan lagi akan kefakihannya, mereka juga orang-orang
yang amat sangat terpandang di kalangan masyarakat. Tidak hanya itu, mereka
bahkan memilki banyak penganut (bahasa kami menyebutkannya dengan santri),
termasuk juga aku.
Dalam wasiatmu kau mengatakan:
“dekatilah para ulama sedekat-dekatnya, agar hatimu hidup dengan siraman hikmah
dari mereka layaknya tanah yang tandus menjadi subur dengan turunnya hujan”. Kami
sangat setuju sekali dengan wasiatmu itu dan sama sekali tidak meragukan akan kebenarannya.
Namun, apakah kau tahu bahwa sekarang situasinya sudah tak seperti zamanmu dulu?
Ketika kami hendak mendekati mereka (Ulama), malah bukannya kami mendapat setetes
hikmah pun dari mereka, tapi malah mereka yang tak mau untuk kami dekati. Mereka
menjauh dari kami dan mereka enggan bersahabat dengan kami.
Aku tak tahu yang mana yang salah,
apakah mereka bukan Ulama yang kau maksud, apakah ulama yang kau katakan dalam
wasiatmu itu sudah tak ada lagi saat ini, di zamanku ini? Ataukah ucapanmu yang
meleset, alias sudah tak berlaku lagi sekarang? Ataukah mungkin secara diam-diam
kau mengatakan kepada mereka: “Aku sudah berwasiat seperti ini pada anakku agar
dia sebarkan kepada generasi-generasi setelahnya, kalau kalian didekati oleh
mereka, jangan mau. Jauhi saja mereka yang tak sopan, hindari mereka yang bukan
dari golonganmu, dan jangan hiraukan mereka biar mereka kebingungan. Untuk apa
kalian mau didekati oleh orang-orang yang tak pantas mendapat hikmah?”
Tentu saja kami yakin bahwa kau
bukan orang yang seperti itu. Toh, mana mungkin orang sepertimu, yang telah
dimuliakan dalam firmanNya, melakukan hal yang sedemikian hinanya kepada kami?
Sebab yang kami tahu, kau adalah orang yang sangat istimewa, orang yang memang
memiliki kelebihan berupa anugerah Hikmah yang amat agung dariNya, dan
orang yang senantiasa memberi nasehat kepada keadilan dan condong kepada keridaanNya.
Meski pun banyak versi cerita tentangmu yang mengatakan bahwa kau itu adalah
orang yang berprofesi sebgai tukang kayu lah, tukang jahit lah, budak lah, atau
apapun itu aku sama sekali tak perduli akan kebenaran hal itu. Yang aku tahu
kau adalah orang pilihan yang dekat denganNya. Dan aku hanya ingin mengklarifikasi
wasiatmu tadi, kok situasinya bisa kebalik saat ini, yakni masa di mana kami
para generasi ini hidup.
Mungkin hanya itu saja yang ingin
aku sampaikan padamu. Sekali lagi jika kau menganggap aku kurang sopan
mengirimkan surat ini, entah itu kata-katanya, sikap yang tercermin dari bentuk
tulisannya, atau bahkan pikiranku ini yang mungkin kau anggap tak layak
melintas di otakku, aku benar-benar minta maaf. sebab mau bagaimana lagi, aku
sudah tak tahan dengan perilaku mereka.
Aku tunggu balasan surat ini
darimu, Luqman al-Hakim.
Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.
sumber gambar: Slim Teller
0 komentar:
Post a Comment