Sunday, October 28, 2012

Bias-bias Sufisme dalam Kitab Tafsir Al-Alusi

10:52 PM


oleh: Taufik Umar*

Sudah hampir menjadi dalil aksiomatik bahwa tak ada teks, apapun bentuknya, yang hadir tanpa ada hal yang mengonstruknya. Ia selalu terkait dengan ruang dan waktu yang melatarbelakanginya, dalam konteks ini tak terkecuali Alquran yang diturunkan 13 abad silam. Alquran, yang memiliki jargon sebagai teks shâlih li kull zamân wa makân, pada akhirnya memunculkan banyak sekali perspektif sehingga dapat dibaca dari berbagai perspektif yang berbeda-beda dan pada akhirnya melahirkan banyak sekali produk penafsiran, termasuk di antaranya tafsir Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa Sab‘ al-Matsânî.

Al-Alûsî sebagai seorang mufasir yang menghasilkan produk penafsiran memiliki nilai urgensi dan signifikansi tersendiri. Dewasa ini tafsir Al-Alûsî disebut-sebut sebagai tafsir yang sarat akan nilai-nilai sufisme. Tentu hal itu bukan merupakan hipotesis belaka, karena dalam beberapa penelitian yang ada, cukup banyak ayat-ayat yang dikutip melalui perspektif sufisme. Hal itu bisa saja diapresiasi mengingat bahwa Al-Alûsî pernah berguru pada seorang ulama tasawuf kenamaan, Muhammad Bahâ’uddîn an-Naqsyabandî. Akan tetapi, dalam sudut pandang yang lain, adz-Dzahabî memiliki silang pendapat yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, di mana adz-Dzahabî memosisikan Tafsir al-Alûsî sebagai produk penafsiran yang bersumber pada ra’y jâ’iz (ijtihad tafsir yang diperbolehkan).


Biografi dan Latar Belakang Kehidupan Al-Alûsî
Beliau bernama lengkap Abû Tsanâ’ Syihâb ad-dîn as-Sayyid Mahmûd al-Afnadî al-Alûsî al-Baghdâdî. Beliau dilahirkan pada 14 Sya’ban tahun 1217 H/1802 M., tepatnya di kota Kurkhi daerah Baghdad. Beliau juga merupakan alim ulama yang menguasai banyak cabang ilmu yang berdomisili di Irak.[1] Beliau merupakan putra dari seorang Ayah, guru, pembimbing, yang juga merupakan ulama besar pada zamannya yang bernama lengkap Syaikh ‘Abd Allah Salâh al-Dîn yang dikenal sebagai sosok ulama yang arif dan bijaksana.

Nama “al-Alûsî” dinisbatkan kepada suatu daerah di dekat sungai Eufrat antara Baghdad dan Syam (Syiria). Di situlah keluarga dan kakeknya bertempat tinggal. Itu sebabnya beliau dikenal dengan nama al-Alûsî. Pada masa mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri, yaitu Syaikh as-Suwaidî. Selain ayahnya, al-Alûsî juga pernah berguru pada Syaikh an-Naqsyabandî. Dari Syaikh al-Naqsyabandî inilah beliau belajar tasawuf. Maka, menurut Hamim Ilyas, wajar jika sebagian uraian tafsirnya beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai sebuah upaya menguatkan makna batin.[2]

Beliau sangat gigih dan ulet dalam mengedepankan semangat ijtihad terhadap persoalan-persoalan yang ada pada masa itu, di mana pada saat itu adalah keadaan masyarakat yang beku dan stagnan terhadap pemikiran keilmuan Islam. Hal demikian terjadi karena masyarakat pada waktu itu banyak terpesona dan terpengaruh akan filsafat Barat yang telah mempengaruhi mereka. Pada umumnya masyarakat yang ada pada waktu itu cenderung bosan terhadap persoalan-persoalan agama sehingga mereka sangat dangkal terhadap permasalahan akidah.

Namun sebagai seorang ilmuwan beliau mulai bergerak untuk melakukan model-model pembaharuan-pembaharuan terhadap ilmu pengetahuan agama, yang khususnya ilmu agama yang stagnan. Menurutnya kemiskinan ilmu pengetahuan yang ilmiah serta jauhnya mereka dari kajian-kajian ilmu pengetahuan harus diupayakan sedemikian mungkin. Pertama yang beliau lakukan adalah hal-hal yang mendasar, yaitu menanamkan nilai-nilai tauhid, kemudian dilanjutkan dengan kajian-kajian masalah sosial yang terjadi pada zamannya serta mencoba memberikan bentuk solusinya.

Oleh karenanya, beliau sangan alim dan ahli dalam perbedaan-perbedaan hukum yang ada dalam aliran-aliran ulama mazhab (Hanafî, Mâlikî, Syâfi‘î, dan Hambalî). Pada dasarnya, mazhab yang beliau ikuti adalah madzhab Imam Syâfi‘î, akan tetapi dalam banyak kasus dan problem yang dihadapinya beliau cenderung untuk mengikuti apa yang menjadi pemikiran Abû Hanîfah an-Nu’mân. Namun, pada akhir hayatnya, beliau cenderung untuk melakukan ijtihad secara individu yakni bisa dikatakan jarang untuk bertaqlid pada ulama-ulama madzhab.[3]

Al-Alûsî meninggalkan warisan ilmu yang besar untuk para penuntut ilmu yang menarik hati para ulama dan mencengangkan para cendekiawan. Banyak orang bertanya bagaimana beliau meluangkan waktu untuk menulis karya-karyanya, padahal usia beliau relatif pendek. Di antara karya-karya besar beliau seperti: Hâsyiyah ‘alâ al-Qatr, Syarh al-Salîm, al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah ‘an As’ilah al-Lahoriyah, Durrah al-Ghawâs fî Awhâm al-Khawâshsh, Rûh al-Ma‘ânî fî tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab‘ al-Matsânî. Namun pada akhirnya, salah satu kepastian manusia, al-Alûsî menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Ju’mat 25 Zulqa’dah 1270 H.[4]

Metodologi Tafsir Ruh al-Ma’ani
Masalah metodologi produk penafsiran pasti tidak bisa dipisahkan dari beberapa hal, antara lain seputar metode penafsiran, sumber penafsiran, dan corak kajian tafsirnya. Sedangkan berbicara metodologi tafsir Al-Alûsî maka bisa dijelaskan dalam beberapa hal, yaitu:

Metode Tafsir Ruh al-Ma’ani
Secara universal metode yang digunakan oleh Al-Alûsî dalam menuis tafsir Ruh al-Ma’ani adalah metode tahlîlî (analisis). Metode tahlîlî adalah sebuah upaya menjelaskan kandungan Alquran dengan meneliti segala aspeknya dan menyingkap maksud-maksud ayat tertentu dengan menggunakan munâsabah (hubungan ayat yang satu dengan ayat yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain), asbâb an-nuzûl (latar belakang turunnya ayat), dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat pula dari berbagai kutipan kitab tafsir sebelumnya yang digunakan oleh Al-Alûsî, Al-Kasysyâf dan Mafâtih al-Ghaib di mana dalam beberapa hal tertentu Al-Alûsî menyesuaikan pola fikir dengan tafsir-tafsir yang ia kutip.

Secara metodologis, metode tahlîlî ini juga memiliki keunggulan, di satu sisi, dan juga memiliki kelemahan, di sisi yang lain. Di antara keunggulan metode tahlîlî ini adalah ruang lingkupnya yang luas sehingga seorang mufasir bebas memainkan ekspresi keilmuan dan wawasannya. Namun pada sisi kelemahan, juga didapati beberapa hal. Pertama, bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat Alquran, karena penggunaan metode tafsir tahlîlî mengakibatkan pemahaman terhadap suatu problem tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.

Kedua, adanya kesenjangan antara ajaran Alquran yang berupa pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada dalam Alquran kurang memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.

Ketiga, bagaimana menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak singkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.

Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran yang dijadikan dasar dalam tafsir ini adalah perpaduan antara sumber bi al-ma’tsûr (riwayat) berupa hadis dari Nabi, qaul sahabat, tabiin, dan tâbi at-tâbi‘în. Selain menggunakan sumber riwayat, Al-Alûsî juga menggunakan sumber-sumber ar-ra’i, yaitu model ijtihad terhadap ayat-ayat tertentu. Selain itu beliau juga terkadang mencamtumkan syair-syair Arab klasik sebagai media pijakan sumber tafsir ar-ra’y-nya, dan yang tak kalah pentingnya terkadang Al-Alûsî juga menggunakan intuisi.

Selain beberapa sumber di atas, Al-Alûsî juga banyak mengutip pendapat-pendapat mufasir sebelumnya, seperti Az-Zamakhsyarî dalam tafsir Al-Kasysyâf-nya, Al-Baidlâwî dalam kitab Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl-nya, Fakhr ad-dîn ar-Râzî dalam Mafâtih al-Ghaib-nya dan karya-karya ulama tafsir sebelumnya sehingga kitab ini sering disebut dengan kitab tafsir ensiklopedis. Dalam kesempatan yang berbeda, Ash-Shâbûnî menambahkan bahwa Tafsir Al-Alûsî adalah tafsir yang mengompromikan ringkasan-ringkasan tafsir terdahulu.[5] Namun demikian, Al-Alûsî tidak serta merta menukil semua apa yang menjadi pendapat ulama tafsir sebelumnya kecuali cenderung bersifat eklektif dan selektif, yaitu dengan cara memberikan penilaian, kritik, bahkan tidak segan-segan untuk menolaknya.[6]

Corak Penafsiran
Al-Alûsî mempunyai gaya penafsiran yang mempunyai nilai lebih dibanding dengan penafsir yang lain. Dalam penafsirannya beliau pertama kali akan memulainya dengan gaya penafsiran rasional-logis, kemudian diikuti dengan penjelasan riwayat yang sahih atau pendapat para ulama. Namun, dalam mengupas makna suatu ayat, Al-Alûsî juga membuka batas ra’y selebar-lebarnya, sehingga dalam menilai kitab ini Muhammad Husain adz-Dzahabî, menggolongkan tafsir Al-Alûsî sebagai tafsir bi al-ra’y yang boleh digunakan.[7]

Dikatakan sebagai tafsir yang bercorak ijtihad yang boleh, karena, sebagaimana yang disyaratkan oleh adz-Dzahabî dan dijelaskan oleh Al-Alûsî dalam pengantar kitabnya, beliau membatasi ijtihadnya agar tidak lepas dari ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh ulama tafsir. Paling tidak, jika ingin menafsirkan Alquran, seorang mufasir dituntut untuk memahami enam hal. Pertama, pengetahuan tentang bahasa (معرفة اللغة) karena dengan mengetahui bahasa seorang mufasir akan mampu memahami lafaz-lafaz yang terkandung dalam Alquran.[8] Kedua, mengetahui hukum-hukum struktur bahasa Arab, baik dari bentuk mufrad (tunggal) maupun bentuk kalimat yang berupa susunan (tarkîb). Ketiga, mengetahui kaidah-kaidah sastra Arab yang meliputi bayân, badî‘, dan ma‘ânî. Keempat, mengetahui kaidah-kaidah ijmâl, ‘umûm, khushûsh, ithlâq, dan taqyîd. Kelima, menentukan kalimat-kalimat atau ayat-ayat yang masih samar (mubhâm), umum (mujmâl), mencari asbâb an-nuzûl dari sebuah ayat, mengetahui ayat-ayat yang mengalami naskh-mansûkh, semua hal itu bisa didapatkan dari hadis. Keenam, mengetahui ilmu kalam, dan yang ketujuh adalah mengetahui ilmu Qirâât.[9]

Oleh karena itu, dengan mengetahui beberapa hal di atas, maka menurut Al-Alûsî penafsiran dengan cara ar-ra’y pun boleh untuk digunakan. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
من تكلم فى القران برأيه فأصاب فقد أخطاء
maka yang dimaksud salah (khatâ) dalam hadis tersebut adalah metodenya (ath-tharîq) karena, menurut Al-Alûsî, jika metode yang digunakan merujuk pada poin-poin di atas maka tentu tidak mungkin terjadi kesalahan sekalipun menggunakan ijtihad pribadi.[10]

Namun selain pendapat di atas, ada yang menyebut tafsir Al-Alûsî sebagai tafsir yang bercorak sufi isyârî. Tafsir isyârî adalah tafsir yang digunakan oleh para sufi dengan menyandarkan makna pada keyakinan batinnya karena menganggap dirinya telah sampai pada Tuhan.[11] Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan mengingat bahwa Al-Alûsî juga pernah berguru kepada An-Naqsyabandî sebagai guru tasawufnya.[12] Namun, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Adz-Dzahabi, corak sufi isyârî yang terkandung dalam tafsir Al-Alûsî sangatlah sedikit sehingga tafsir ini tidak bisa diklaim sebagai tafsir yang bercorak sufi.[13]

Catatan Kritis terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani
Diakui atau tidak, tafsir Al-Alûsî memang memberikan warna dalam dinamika penafsiran Alquran. Sudah banyak sekali komentar-komentar positif dan pujian yang dilontarkan kepada Al-Alûsî. Akan tetapi, menyikapi berbagai komentar dan pujian yang disanjungkan pada Al-Alûsî, tentu harus disikapi dengan objektif dan lebih cermat sebagai sebuah upaya meningkatkan nilai-nilai akademis yang lebih positif dan juga merupakan bagian dari bentuk proporsional bahwa segala apa yang dikembangkan oleh Al-Alûsî dalam tafsirnya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai relativifitas.

Sebagaimana yang dewasa ini banyak dibincangkan mengenai tafsir Al-Alûsî, corak penafsiran yang bersifat ra’y ja’îz atau bersifat tafsir sufi isyârî? Menyikapi hal ini, hemat penulis, pada dasarnya secara keseluruhan tafsir Al-Alûsî memang lebih mengarah pada penafsiran ra’yî yang disepakati oleh ulama tafsir. Maka dalam aplikasi penafsirannya, Al-Alûsî menyantumkan beberapa poin yang harus dikemukan terkait dengan tafsir ra’yî, misalnya, mengemukan riwayat-riwayat sahih, asbâb an-nuzûl, munâsabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain.

Hanya saja, tentu harus perlu kembali dicermati bahwa bias-bias sufisme dalam tafsir Al-Alûsî juga tidak bisa dihilangkan begitu saja. Walaupun dalam penelitiannya, Adz-Dzahabî menegaskan bahwa tafsir Al-Alûsî tidak bisa digolongkan dalam tafsir sufi isyârî karena porsinya yang terlalu sedikit. Berbeda pandang dengan Adz-Dzahabî, Sa‘îd ath-Thantwî menilai tafsir Al-Alûsî berbanding terbalik dengan pengamatan Adz-Dzahabî. Menurutnya, tafsir Al-Alûsî tergolong tafsir sufi isyârî lantaran dalam beberapa ayat yang beliau tafsirkan masih mengandung bias-bias sufi.[14]

Pendapat tersebut, juga ditegaskan oleh Alî ash-Shâbûnî dalam karyanya, At-Tibyân, bahwa salah satu hal yang positif dari tafsir Al-Alûsî adalah bahwa ia memberikan kritik pada riwayat-riwayat isra’îliyyât dengan memperhatikan tafsir isyârî dari segi balâghah dan bayân. Oleh karenanya, tafsir Al-Alûsî tergolong dalam tafsir riwâyah, dirâyah, dan isyârî yang baik.[15] Dengan ini, maka Ash-Shabûnî ingin menegaskan bahwa selain kandungan tafsir Al-Alûsî juga memuat tafsir dari sisi dirâyah dan riwâyah-nya, juga mengandung bias-bias sufisme yang mengedepankan makna batin.

Oleh karenanya, hemat penulis, tafsir Al-Alûsî sekalipun digolongkan ke dalam tafsir yang bi ar-ra’y jâ’iz, tafsir yang bersumber pada ijtihad yang telah disepakati oleh ulama tafsir, akan tetapi para pembaca juga perlu cermat memperhatikan beberapa ayat tertentu yang mengandung bias-bias sufi isyârî. Dengan demikian, citra bahwa tafsir Al-Alûsî yang selama ini dinilai sebagai kitab tafsir ensiklopedis yang memuat pemikiran-pemikiran sebelumnya, sajian balâghah yang disisipi dengan bentuk syair yang indah, serta sajian yang menggugah para pembaca kitab tafsir tidak menjadi citra negatif dengan hadirnya beberapa bias-bias sufi yang mungkin hanya bisa difahami oleh para ahli tasawuf saja.[]

*Taufik Umar adalah alumnus PP. Raudlatul Ulum I. Sekarang sedang melanjutkan studinya di Tafsir Hadis, Fakulstas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



[1] Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbiyyah, tt.,  hlm. 250.
[2] Lihat Abdul Mustaqim, “Ruh al-Ma’ani Karya Al-Alusi dalam A. Rofiq (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, hlm. 154.
[3] Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn,hlm. 251.
[4] Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm. 251.
[5] ‘Alî ash-Shâbûnî, At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm. 320.
[6] Lihat Abdul Mustaqim, “Ruh al-Ma’ani Karya Al-Alusi dalam A. Rofiq (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, hlm. 152-153; Lihat juga dalam Muhammad Ibn Muhammad Abû Syuhbah, Al-Isrâ’îliyyât wa al-maudlû‘îyyât fî Kutûb at-Tafsîr, Kairo: Maktabah as-Sunnah, tt., hlm. 145-146.
[7] Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm. 251-260.
[8] Syihâb ad-dîn Mahmûd Al-Alûsî, Rûh  al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’an al-‘Adzîm wa Sab‘ al-Matsânî, Bairut: Dâr al-Ilm al-Ilmiyyah, 2009, hal. 6-7; Lihat juga dalam Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm. 251-260.
[9] Syihâb ad-dîn Mahmûd Al-Alûsî, Rûh  al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’an, hlm. 6-7.
[10] Syihâb ad-dîn Mahmûd Al-Alûsî, Rûh  al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’an, hlm. 7-8; Lihat juga dalam, Syaikh Muhammad al-Fâdlil ibn ‘Asyûr, Al-Tafsîr wa Rijâlih,  hlm. 135-13 6.
[11] Lihat misalnya ketika al-Alusi menafsirkan ayat
الحمدلله الذى خلق السموات والارض وجعل الظلمات والنور
segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang”. (QS. Al-An’am: 1). Menurut al-Alusi, yang dimaksud dengan “langit” adalah ruh dan hati, sedangkan “bumi”  adalah alam tubuh atau jasad. Lebih jelasnya lihat Syihâb ad-dîn Mahmûd Al-Alûsî, Rûh  al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’an, hlm. 160.
[12] Beliau adalah salah satu Ulama kenamaan dalam transmisi silsilah Tarekat Naqsyabandiyah. Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad Bahâ’u ad-dîn al-Uwaisî al-Bukhârî an-Naqsyabandî. An-Naqsyabandî dilahirkan pada tahun 717H/1318 M. Lihat dalam Syaikh ‘Ala’ ad-dîn an-Naqsyabandî, Mâ Huw at-Tashawwuf Mâ Hiy ath-Tharîqah an-Naqsyabandiyah, (t.k,: t.p, 1988), hlm. 238.
[13] Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm. 260, Lihat Abdul Mustaqim, “Ruh al-Ma’ani Karya Al-Alusi dalam A. Rofiq (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, hlm. 159.
[14] Mahmûd Sa‘îd ath-Thanthâwî, Minhâj al-Alûsî: Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa Sab‘ al-Matsânî, Mesir: Al-Majlis ‘Alâ asy-Syu‘ûn al-Islâmiyah, 1989, hlm, 107; Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm.  271; Bandingkan pula dengan Abdul Mustaqim, dalam “Ruh al-Ma’anifi Tafsir Alquran al-Adzim, hlm. 157-156
[15] ‘Alî ash-Shâbûnî, At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm. 320.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top