oleh: Taufik Umar*
Sudah hampir menjadi dalil
aksiomatik bahwa tak ada teks, apapun bentuknya, yang hadir tanpa ada hal yang
mengonstruknya. Ia selalu terkait dengan ruang dan waktu yang
melatarbelakanginya, dalam konteks ini tak terkecuali Alquran yang diturunkan 13 abad silam. Alquran, yang
memiliki jargon sebagai teks shâlih li kull zamân wa makân, pada
akhirnya memunculkan banyak sekali perspektif sehingga dapat dibaca dari
berbagai perspektif yang berbeda-beda dan pada akhirnya melahirkan banyak
sekali produk penafsiran, termasuk di antaranya tafsir Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî
fî tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa Sab‘ al-Matsânî.
Al-Alûsî sebagai seorang mufasir yang menghasilkan produk penafsiran memiliki nilai urgensi dan signifikansi
tersendiri. Dewasa
ini tafsir Al-Alûsî disebut-sebut sebagai tafsir yang sarat akan nilai-nilai
sufisme. Tentu hal itu bukan merupakan hipotesis belaka, karena dalam beberapa
penelitian yang ada, cukup banyak ayat-ayat yang dikutip melalui perspektif
sufisme. Hal itu bisa saja diapresiasi mengingat bahwa Al-Alûsî pernah berguru
pada seorang ulama tasawuf kenamaan, Muhammad Bahâ’uddîn an-Naqsyabandî. Akan
tetapi, dalam sudut pandang yang lain, adz-Dzahabî memiliki silang pendapat
yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, di mana adz-Dzahabî memosisikan
Tafsir al-Alûsî sebagai produk penafsiran yang bersumber pada ra’y jâ’iz (ijtihad
tafsir yang diperbolehkan).
Biografi dan Latar
Belakang Kehidupan Al-Alûsî
Beliau bernama lengkap Abû
Tsanâ’ Syihâb ad-dîn as-Sayyid Mahmûd al-Afnadî al-Alûsî al-Baghdâdî. Beliau
dilahirkan pada 14 Sya’ban tahun 1217 H/1802 M., tepatnya di kota Kurkhi daerah
Baghdad. Beliau juga merupakan alim ulama yang menguasai banyak cabang ilmu yang
berdomisili di Irak.[1]
Beliau merupakan putra dari seorang Ayah, guru, pembimbing, yang juga merupakan
ulama besar pada zamannya yang bernama lengkap Syaikh ‘Abd Allah Salâh al-Dîn
yang dikenal sebagai sosok ulama yang arif dan bijaksana.
Nama “al-Alûsî”
dinisbatkan kepada suatu daerah di dekat sungai Eufrat antara Baghdad dan Syam (Syiria). Di situlah
keluarga dan kakeknya bertempat tinggal. Itu sebabnya beliau dikenal dengan
nama al-Alûsî. Pada masa mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya
sendiri, yaitu Syaikh as-Suwaidî. Selain
ayahnya, al-Alûsî juga pernah berguru pada Syaikh an-Naqsyabandî. Dari
Syaikh al-Naqsyabandî inilah beliau belajar tasawuf. Maka, menurut Hamim Ilyas,
wajar jika sebagian uraian tafsirnya beliau memasukkan perspektif sufistik
sebagai sebuah upaya menguatkan makna batin.[2]
Beliau sangat gigih dan
ulet dalam mengedepankan semangat ijtihad terhadap persoalan-persoalan yang ada
pada masa itu, di mana pada saat itu adalah keadaan masyarakat yang beku dan
stagnan terhadap pemikiran keilmuan Islam. Hal demikian terjadi karena
masyarakat pada waktu itu banyak terpesona dan terpengaruh akan filsafat Barat
yang telah mempengaruhi mereka. Pada umumnya masyarakat yang ada pada waktu itu
cenderung bosan terhadap persoalan-persoalan
agama sehingga mereka sangat dangkal terhadap permasalahan akidah.
Namun sebagai seorang ilmuwan beliau mulai bergerak untuk melakukan model-model
pembaharuan-pembaharuan terhadap ilmu pengetahuan agama, yang khususnya ilmu
agama yang stagnan. Menurutnya kemiskinan ilmu pengetahuan yang ilmiah serta
jauhnya mereka dari kajian-kajian ilmu pengetahuan harus diupayakan sedemikian
mungkin. Pertama yang beliau lakukan adalah hal-hal yang mendasar, yaitu
menanamkan nilai-nilai tauhid, kemudian dilanjutkan dengan kajian-kajian
masalah sosial yang terjadi pada zamannya serta mencoba memberikan bentuk
solusinya.
Oleh karenanya, beliau
sangan alim dan ahli dalam perbedaan-perbedaan hukum yang ada dalam
aliran-aliran ulama mazhab (Hanafî, Mâlikî, Syâfi‘î, dan Hambalî). Pada
dasarnya, mazhab yang beliau ikuti adalah madzhab Imam Syâfi‘î, akan tetapi
dalam banyak kasus dan problem yang dihadapinya beliau cenderung untuk mengikuti
apa yang menjadi pemikiran Abû Hanîfah an-Nu’mân. Namun, pada akhir hayatnya,
beliau cenderung untuk melakukan ijtihad secara individu yakni bisa dikatakan
jarang untuk bertaqlid pada ulama-ulama madzhab.[3]
Al-Alûsî
meninggalkan warisan ilmu yang besar untuk para penuntut ilmu yang menarik hati
para ulama dan mencengangkan para cendekiawan. Banyak orang bertanya bagaimana
beliau meluangkan waktu untuk menulis karya-karyanya, padahal usia beliau
relatif pendek. Di antara karya-karya besar beliau seperti: Hâsyiyah ‘alâ
al-Qatr, Syarh al-Salîm, al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah ‘an As’ilah al-Lahoriyah,
Durrah al-Ghawâs fî Awhâm al-Khawâshsh, Rûh al-Ma‘ânî fî tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm
wa as-Sab‘ al-Matsânî. Namun pada akhirnya, salah satu kepastian manusia, al-Alûsî
menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Ju’mat 25 Zulqa’dah 1270 H.[4]
Metodologi Tafsir Ruh
al-Ma’ani
Masalah metodologi produk penafsiran pasti tidak bisa dipisahkan dari beberapa
hal, antara lain seputar metode penafsiran, sumber penafsiran, dan corak kajian
tafsirnya. Sedangkan berbicara metodologi tafsir Al-Alûsî maka
bisa dijelaskan dalam beberapa hal, yaitu:
Metode
Tafsir Ruh al-Ma’ani
Secara universal metode
yang digunakan oleh Al-Alûsî dalam menuis tafsir Ruh al-Ma’ani adalah
metode tahlîlî (analisis). Metode tahlîlî adalah sebuah upaya
menjelaskan kandungan Alquran dengan meneliti segala aspeknya dan menyingkap
maksud-maksud ayat tertentu dengan menggunakan munâsabah (hubungan ayat
yang satu dengan ayat yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain), asbâb
an-nuzûl (latar belakang turunnya ayat), dan lain sebagainya. Hal ini dapat
dilihat pula dari berbagai kutipan kitab tafsir sebelumnya yang digunakan oleh Al-Alûsî,
Al-Kasysyâf dan Mafâtih al-Ghaib di mana dalam beberapa hal
tertentu Al-Alûsî menyesuaikan pola fikir dengan tafsir-tafsir yang ia kutip.
Secara metodologis, metode
tahlîlî ini juga
memiliki keunggulan, di satu
sisi, dan juga memiliki
kelemahan, di sisi yang lain. Di
antara keunggulan metode tahlîlî ini adalah ruang lingkupnya yang luas
sehingga seorang mufasir bebas memainkan ekspresi keilmuan dan wawasannya.
Namun pada sisi kelemahan, juga didapati beberapa hal. Pertama,
bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat Alquran,
karena penggunaan metode tafsir tahlîlî mengakibatkan pemahaman terhadap
suatu problem tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat
yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat,
sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini
tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan
yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
Kedua, adanya kesenjangan antara ajaran Alquran yang berupa
pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt.
Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada dalam Alquran kurang
memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena
penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa
terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana menghindari kesenjangan yang mengakibatkan
orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan
ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak singkron dengan
alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.
Sumber
Penafsiran
Sumber penafsiran yang
dijadikan dasar dalam tafsir ini adalah perpaduan antara sumber bi al-ma’tsûr (riwayat)
berupa hadis dari Nabi, qaul sahabat, tabiin, dan tâbi‘ at-tâbi‘în. Selain
menggunakan sumber riwayat, Al-Alûsî juga menggunakan sumber-sumber ar-ra’i, yaitu
model ijtihad terhadap ayat-ayat tertentu. Selain itu beliau juga terkadang
mencamtumkan syair-syair Arab klasik sebagai media pijakan sumber tafsir ar-ra’y-nya,
dan yang tak kalah pentingnya terkadang Al-Alûsî juga menggunakan intuisi.
Selain beberapa sumber di
atas, Al-Alûsî juga banyak mengutip pendapat-pendapat mufasir sebelumnya,
seperti Az-Zamakhsyarî dalam tafsir Al-Kasysyâf-nya, Al-Baidlâwî dalam
kitab Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl-nya, Fakhr ad-dîn ar-Râzî dalam
Mafâtih al-Ghaib-nya dan karya-karya ulama tafsir sebelumnya sehingga
kitab ini sering disebut dengan kitab tafsir ensiklopedis. Dalam kesempatan
yang berbeda, Ash-Shâbûnî menambahkan bahwa Tafsir Al-Alûsî adalah tafsir yang
mengompromikan ringkasan-ringkasan tafsir terdahulu.[5]
Namun demikian, Al-Alûsî tidak serta merta menukil semua apa yang menjadi
pendapat ulama tafsir sebelumnya kecuali cenderung bersifat eklektif dan
selektif, yaitu dengan cara memberikan penilaian, kritik, bahkan tidak
segan-segan untuk menolaknya.[6]
Corak
Penafsiran
Al-Alûsî mempunyai gaya
penafsiran yang mempunyai nilai lebih dibanding dengan penafsir yang lain.
Dalam penafsirannya beliau pertama kali akan memulainya dengan gaya penafsiran
rasional-logis,
kemudian diikuti dengan penjelasan riwayat yang sahih atau pendapat para
ulama. Namun, dalam mengupas makna suatu ayat, Al-Alûsî juga membuka batas ra’y
selebar-lebarnya, sehingga dalam menilai kitab ini Muhammad Husain adz-Dzahabî,
menggolongkan tafsir Al-Alûsî sebagai tafsir bi al-ra’y yang boleh digunakan.[7]
Dikatakan sebagai tafsir
yang bercorak ijtihad yang boleh, karena, sebagaimana yang disyaratkan oleh adz-Dzahabî
dan dijelaskan oleh Al-Alûsî dalam pengantar kitabnya, beliau membatasi
ijtihadnya agar tidak lepas dari ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh
ulama tafsir. Paling tidak, jika ingin menafsirkan Alquran, seorang mufasir
dituntut untuk memahami enam hal. Pertama, pengetahuan tentang bahasa (معرفة اللغة) karena dengan mengetahui bahasa seorang mufasir akan mampu
memahami lafaz-lafaz yang terkandung dalam Alquran.[8]
Kedua, mengetahui hukum-hukum struktur bahasa Arab, baik dari
bentuk mufrad (tunggal) maupun bentuk kalimat yang berupa susunan (tarkîb). Ketiga,
mengetahui kaidah-kaidah
sastra Arab yang meliputi bayân, badî‘, dan ma‘ânî.
Keempat, mengetahui kaidah-kaidah ijmâl,
‘umûm, khushûsh, ithlâq, dan taqyîd. Kelima, menentukan
kalimat-kalimat atau ayat-ayat yang masih samar (mubhâm), umum (mujmâl),
mencari asbâb an-nuzûl dari sebuah ayat, mengetahui ayat-ayat yang
mengalami naskh-mansûkh, semua hal itu bisa didapatkan dari hadis. Keenam,
mengetahui ilmu kalam, dan
yang ketujuh adalah mengetahui ilmu Qirâ’ât.[9]
Oleh karena itu, dengan
mengetahui beberapa hal di atas, maka menurut Al-Alûsî penafsiran dengan cara ar-ra’y pun
boleh untuk digunakan. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
من
تكلم فى القران برأيه فأصاب فقد أخطاء
maka yang dimaksud salah (khatâ’) dalam
hadis tersebut adalah metodenya (ath-tharîq) karena, menurut
Al-Alûsî, jika metode yang digunakan merujuk pada poin-poin di atas maka tentu
tidak mungkin terjadi kesalahan sekalipun menggunakan ijtihad pribadi.[10]
Namun selain pendapat di
atas, ada yang menyebut tafsir Al-Alûsî sebagai tafsir yang bercorak sufi isyârî. Tafsir isyârî adalah tafsir yang digunakan oleh
para sufi dengan menyandarkan makna pada keyakinan batinnya karena menganggap
dirinya telah sampai pada Tuhan.[11]
Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan mengingat bahwa Al-Alûsî juga pernah
berguru kepada An-Naqsyabandî sebagai guru tasawufnya.[12]
Namun, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Adz-Dzahabi, corak sufi isyârî
yang terkandung dalam tafsir Al-Alûsî sangatlah sedikit sehingga tafsir ini
tidak bisa diklaim sebagai tafsir yang bercorak sufi.[13]
Catatan Kritis terhadap
Tafsir Ruh al-Ma’ani
Diakui atau tidak, tafsir Al-Alûsî memang memberikan warna dalam dinamika
penafsiran Alquran. Sudah banyak sekali komentar-komentar positif dan pujian
yang dilontarkan kepada Al-Alûsî. Akan tetapi, menyikapi berbagai komentar dan
pujian yang disanjungkan pada Al-Alûsî, tentu harus disikapi dengan objektif
dan lebih cermat sebagai sebuah upaya meningkatkan nilai-nilai akademis yang
lebih positif dan juga merupakan bagian dari bentuk proporsional bahwa segala
apa yang dikembangkan oleh Al-Alûsî dalam tafsirnya tidak bisa dilepaskan dari
nilai-nilai relativifitas.
Sebagaimana yang dewasa
ini banyak dibincangkan mengenai tafsir Al-Alûsî, corak penafsiran yang
bersifat ra’y ja’îz atau bersifat tafsir sufi isyârî? Menyikapi
hal ini, hemat penulis, pada dasarnya secara keseluruhan tafsir Al-Alûsî memang
lebih mengarah pada penafsiran ra’yî yang disepakati oleh ulama tafsir.
Maka dalam aplikasi penafsirannya, Al-Alûsî menyantumkan beberapa poin yang
harus dikemukan terkait dengan tafsir ra’yî, misalnya, mengemukan
riwayat-riwayat sahih, asbâb an-nuzûl, munâsabah antara ayat yang satu
dengan ayat yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain.
Hanya saja, tentu harus
perlu kembali dicermati bahwa bias-bias sufisme dalam tafsir Al-Alûsî juga
tidak bisa dihilangkan begitu saja. Walaupun dalam penelitiannya, Adz-Dzahabî
menegaskan bahwa tafsir Al-Alûsî tidak bisa digolongkan dalam tafsir sufi isyârî
karena porsinya yang terlalu sedikit. Berbeda pandang dengan Adz-Dzahabî, Sa‘îd ath-Thanthâwî menilai
tafsir Al-Alûsî berbanding terbalik dengan pengamatan Adz-Dzahabî.
Menurutnya, tafsir Al-Alûsî tergolong tafsir sufi isyârî lantaran dalam beberapa ayat yang beliau tafsirkan masih
mengandung bias-bias sufi.[14]
Pendapat tersebut, juga
ditegaskan oleh ‘Alî ash-Shâbûnî dalam karyanya, At-Tibyân, bahwa
salah satu hal yang positif dari tafsir Al-Alûsî adalah bahwa ia memberikan
kritik pada riwayat-riwayat isra’îliyyât dengan memperhatikan tafsir isyârî dari segi balâghah dan bayân. Oleh
karenanya, tafsir Al-Alûsî tergolong dalam tafsir riwâyah, dirâyah, dan isyârî yang baik.[15]
Dengan ini, maka Ash-Shabûnî ingin menegaskan bahwa selain kandungan tafsir Al-Alûsî
juga memuat tafsir dari sisi dirâyah dan riwâyah-nya, juga
mengandung bias-bias sufisme yang mengedepankan makna batin.
Oleh karenanya, hemat
penulis, tafsir Al-Alûsî sekalipun digolongkan ke dalam tafsir yang bi ar-ra’y
jâ’iz, tafsir yang bersumber pada ijtihad yang telah disepakati oleh ulama
tafsir, akan tetapi para pembaca juga perlu cermat memperhatikan beberapa ayat
tertentu yang mengandung bias-bias sufi isyârî. Dengan demikian, citra
bahwa tafsir Al-Alûsî yang selama ini dinilai sebagai kitab tafsir ensiklopedis
yang memuat pemikiran-pemikiran sebelumnya, sajian balâghah yang
disisipi dengan bentuk syair yang indah, serta sajian yang menggugah para
pembaca kitab tafsir tidak menjadi citra negatif dengan hadirnya beberapa
bias-bias sufi yang mungkin hanya bisa difahami oleh para ahli tasawuf saja.[]
*Taufik Umar adalah alumnus PP. Raudlatul Ulum I. Sekarang sedang melanjutkan studinya di Tafsir Hadis, Fakulstas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[1] Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo:
Maktabah Wahhâbiyyah, tt., hlm. 250.
[2] Lihat Abdul Mustaqim, “Ruh al-Ma’ani Karya Al-Alusi dalam A. Rofiq (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta:
Teras, 2004, hlm. 154.
[5] ‘Alî ash-Shâbûnî, At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, terj.
Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm. 320.
[6] Lihat Abdul Mustaqim, “Ruh al-Ma’ani Karya Al-Alusi dalam A. Rofiq
(ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, hlm. 152-153; Lihat
juga dalam Muhammad Ibn Muhammad Abû Syuhbah, Al-Isrâ’îliyyât wa al-maudlû‘îyyât
fî Kutûb at-Tafsîr, Kairo: Maktabah as-Sunnah, tt., hlm. 145-146.
[8] Syihâb ad-dîn Mahmûd Al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’an al-‘Adzîm wa Sab‘
al-Matsânî, Bairut: Dâr al-Ilm al-Ilmiyyah, 2009, hal. 6-7; Lihat juga
dalam Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm.
251-260.
[9] Syihâb ad-dîn Mahmûd Al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’an, hlm. 6-7.
[10] Syihâb ad-dîn Mahmûd Al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’an, hlm. 7-8;
Lihat juga dalam, Syaikh Muhammad al-Fâdlil ibn ‘Asyûr, Al-Tafsîr wa Rijâlih,
hlm. 135-13 6.
الحمدلله الذى خلق السموات والارض وجعل الظلمات والنور
“segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi dan mengadakan
gelap dan terang”. (QS. Al-An’am: 1). Menurut al-Alusi, yang dimaksud
dengan “langit” adalah ruh dan hati, sedangkan “bumi” adalah alam tubuh atau jasad. Lebih jelasnya
lihat Syihâb ad-dîn Mahmûd Al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’an, hlm. 160.
[12] Beliau adalah salah satu Ulama kenamaan dalam transmisi silsilah Tarekat
Naqsyabandiyah. Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad Bahâ’u ad-dîn
al-Uwaisî al-Bukhârî an-Naqsyabandî. An-Naqsyabandî dilahirkan pada tahun 717H/1318 M. Lihat dalam Syaikh ‘Ala’
ad-dîn an-Naqsyabandî, Mâ Huw at-Tashawwuf Mâ Hiy ath-Tharîqah an-Naqsyabandiyah,
(t.k,: t.p, 1988), hlm. 238.
[13] Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm.
260, Lihat Abdul Mustaqim, “Ruh al-Ma’ani Karya Al-Alusi dalam A. Rofiq
(ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, hlm. 159.
[14] Mahmûd Sa‘îd ath-Thanthâwî, Minhâj al-Alûsî: Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Adzîm wa Sab‘ al-Matsânî, Mesir: Al-Majlis ‘Alâ asy-Syu‘ûn al-Islâmiyah,
1989, hlm, 107; Muhammad Husain adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm. 271; Bandingkan pula dengan Abdul Mustaqim, dalam “Ruh al-Ma’anifi Tafsir Alquran al-Adzim, hlm. 157-156
[15] ‘Alî ash-Shâbûnî, At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, terj.
Aminuddin,
Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm. 320.
0 komentar:
Post a Comment