Oleh: Muhammad Adib*
Cerita bermula, ketika Paus Benediktus XVI pada tanggal 12 September 2006
menyampaikan “Orasi Agung” (Lecture of the Holy Father) bertajuk “Faith,
Reason and the University: Memories and Reflections” di Aula Magna
University of Regensburg Jerman.[1]
Orasi tertulis tersebut ternyata menyulut kemarahan umat muslim di berbagai
negara. Beragam pernyataan yang bernada keberatan dan protes bermunculan dari
berbagai tokoh, komunitas, institusi dan negara. Di Jakarta, misalnya, sekitar
50 orang dari Forum Umat Islam (FUI) berunjuk rasa di Kedubes Vatikan, seraya menuntut
Paus Benedictus XVI mengundurkan dari jabatan pemimpin umat Katolik sedunia.[2]
Pemicunya adalah salah satu pernyataan dari orasi tersebut yang dinilai
menghina Rasulullah saw. dan Islam, yaitu:
Show me just what Muhammad brought that was new and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith he preached.[3]
Meskipun Paus Benediktus XVI telah menyampaikan permintaan maaf secara
resmi seraya menjelaskan bahwa dia hanya mengutip pernyataan Kaisar Manuel II
pada tahun 1391 sebagai gambaran historis tentang gereja dan agama, namun hal
itu tidak menyurutkan gelombang protes dari dunia Islam yang tetap menganggap
bahwa pernyataan tadi menggambarkan perspepsi Paus Benediktus XVI tentang
Islam.[4]
Salah satu reaksi yang nantinya berkembang menjadi wacana yang bersejarah adalah
surat terbuka (open letter) tertanggal 13 Oktober 2006 dari 38 pemuka
agama dan intelektual Muslim dari berbagai penjuru dunia[5]
yang ditujukan kepada Paus Benediktus XVI. Surat tersebut pada intinya berisi
dan bertujuan untuk mengklarifikasi sejumlah poin dari orasi Paus Benediktus
XVI. Di antaranya adalah (1) prinsip dakwah dan jihad Islam, dan (2) konsep
teologi Islam tentang Tuhan. Meski bersifat korektif, surat yang tidak
diketahui penggagas dan proses penyusunannya ini menegaskan muatannya yang mengusung
“semangat dialog intelektual terbuka dan kesepahaman timbal-balik” (the
spirit of open intellectual exchange and mutual understanding) antara umat
Islam dan Kristen.[6]
Setahun berikutnya, tepatnya tanggal 13 Oktober 2007, surat tersebut
ditindaklanjuti dengan diterbitkannya surat terbuka (open letter) yang
ditandatangani oleh 138 pemuka agama dan intelektual Muslim dari berbagai
penjuru dunia[7]
dan ditujukan kepada 28 pemuka agama Kristen di seluruh dunia, terutama di
Vatikan. Surat yang konon dibidani oleh lembaga The Royal Aal al-Bayt Institute
for Islamic Thought binaan penguasa tertinggi Yordania, yaitu Raja Abdullah II.
Surat yang bertajuk “A Common Word Between Us and You”—meminjam sebuah
frase dari al-Qur’an “kalimah sawā’ baynanā wa baynakum” (Q.S. Āl Imrān
(3):64)—tersebut mendeklarasikan kesamaan prinsip ajaran (common ground)
antara Islam dan Kristen, utamanya dalam tema (1) kecintaan terhadap Tuhan (the love
of God) dan (2) kecintaan terhadap tetangga (the love of the neighbour),
dengan mengacu kepada teks kitab suci kedua agama, yakni al-Qur’an dan Bibel.
Melalui deklarasi tersebut,[8]
138 orang pemuka agama dan intelektual Muslim di atas mengajak seluruh umat
Kristiani untuk berpijak di atas kesamaan ajaran tadi dalam rangka membina dan mewujudkan
perdamaian dunia secara bersama-sama, karena perdamaian dunia sangat bergantung
kepada harmonitas hubungan antara umat Islam dan umat Kristen. Hal ini nampak
dari pernyataan pembukanya, yaitu:
Muslims and Christians together make up well over half of the world’s population. Without peace and justice between these two religious communities, there can be no meaningful peace in the world. The future of the world depends on peace between Muslims and Christians.[9]
dan pernyataan penutupnya, yaitu:
So let our differences not cause hatred and strife between us. Let us vie with each other only in righteousness and good works. Let us respect each other, be fair, just and kind to one another and live in sincere peace, harmony and mutual goodwill.[10]
Tak pelak lagi, dokumen tersebut mengundang berbagai respon, baik positif
maupun negatif, dari berbagai kalangan di berbagai belahan dunia. Sepanjang
tahun 2007-2010, tercatat tidak kurang dari 70 repon balik dari berbagai
kalangan elit agama Kristen dan Yahudi yang masuk serta terakses dalam situs
resmi acommonword.com.[11]
Salah satu yang positif di antaranya disampaikan oleh David Ford dari The
Cambridge University yang tegas menyatakan bahwa itu adalah “pernyataan
bersejarah yang menjadi titik-balik kunci bagi perekatan hubungan antara umat
Islam dan umat Kristen, terutama pascatragedi 11 September 2001”.[12]
Apresiasi lebih tegas juga dikemukakan oleh Nicholas Adams, ahli teologi
dan etika Kristen di Edinburgh University. Menurutnya, dokumen “A Common
Word” bisa bisa diumpamakan sebagai “alat pembangkit kekuatan
elektromagnetik” (generator of electromagnetic force). Artinya, teks
al-Qur’an dan Bibel, sebagai dua sumber kekuatan magnetik, didekatkan satu sama
lain untuk menghasilkan energi yang mendorong dialog tulus antar umat beragama bisa berfungsi dengan baik.
Tentu saja, dokumen tersebut tidak bekerja secara otomatis, melainkan
bergantung kepada “niat baik” dan “komitmen” pembaca (reader) untuk
menjalin interaksi yang tulus (deeper interaction) tadi. Dengan begitu,
“kata akhir” (last word) dari dokumen “A Common Word” bukanlah
“kesatuan” (unity) ataupun “persetujuan” (agreement), melainkan
“damai dan harmonis dalam perbedaan” (peace and harmony in the face of
differences). Artinya, ragam perbedaan yang ada tidak untuk diperingkat
ataupun dikompetisikan, melainkan untuk dipahami secara simpatik antara satu
dengan yang lain dalam semangat saling berlomba untuk berbuat kebaikan secara
timbal-balik bagi sesama.[13]
Menurut Adams, “A Common Word” merangkum dua kecenderungan
sekaligus. Pertama adalah “unity in diversity” yang tercermin
dari redaksi tajuknya sendiri, yakni “A Common Word between Us and You”.
Kata “common” atau “sawā’” dalam redaksi tersebut berkonotasi
kuat bahwa semua hal bersifat setara, seimbang dan selevel. Sejumlah pernyataan
dalam “A Common Word” secara eksplisit menegaskan hal itu. Namun, tentu
tujuannya bukan untuk membentuk “agama baru”, “agama sinkretis” atau apapun
istilahnya, melainkan untuk mengakui adanya perbedaan dan mencari titik temu. Kedua
adalah partnership of differences yang tergambar dari penggunaan kitab
suci kedua agama, yakni al-Qur’an dan Bibel, sebagai bahan acu. Dalam konteks
ini, “A Common Word” menerapkan metode yang unik, di mana kedua kitab
suci tidak diperbandingkan dalam posisi saling berhadapan (comparison),
melainkan disandingkan secara sejajar dalam posisi menghadap ke arah yang sama
(juxtaposition). Artinya, teks kedua kitab suci pada tema yang sama
dibaca dan dipahami secara bersama-sama dari perspektif masing-masing, tanpa
perlu berpretensi untuk mencari kebenaran teologis dari makna yang dimuatnya.
Pembacaan teks al-Qur’an dan Bibel pada tema kecintaan kepada Tuhan (love of
God) dan kecintaan kepada tetangga (love of neighbour), seperti yang
ditunjukkan oleh “A Common Word”, dengan jelas menggambarkan hal itu.[14]
Apresiasi bernada harapan juga disampaikan oleh Joseph M. Isanga—profesor
tamu bidang hukum dan HAM di Ave Maria School of Law Florida Amerika Serikat.
Menurutnya, “A Common Word” (2007) telah membuka momentum yang bagus
untuk membangun sikap mental salingmemahami dan salingmenghargai di kalangan
berbagai komunitas umat beragama di kawasan Af rika, khususnya umat Islam dan umat
Kristen. Menurutnya, momentum tersebut harus betul-betul dimanfaatkan oleh
berbagai pihak untuk secara bersama-sama membangun sikap mental tersebut.
Kuncinya adalah pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Presiden Obama pada saat
berpidato di hadapan komunitas Muslim di Kairo Mesir pada tanggal 4 Juni 2009,
“all of us must recognize that education and innovation will be the currency
of the twenty-first century”. Hanya melalui pendidikan semata, tegas
Isanga, sikap mental salingmemahami dan salingmenghargai tadi, khususnya di
kalangan generasi muda, bisa dibangun. Afrika harus melakukan investasi
besar-besaran untuk kepentingan ini, supaya pendidikan bisa melahirkan sikap
mental atau paradigma baru yang menjamin relasi damai antara berbagai komunitas
agama di Afrika.[15]
Wallāhu a‘lam.[]
Yogyakarta, 31 Januari 2013.
Muhammad Adib
adalah Dosen STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang.
[1] Naskah lengkap orasi
tersebut bisa dilihat pada: http://www.vatican.va
(akses tanggal 12 Januari 2013.
[2] “50 Orang Demo Kedubes
Vatikan (Rabu, 20/09/2006 14:22 WIB)”, http://news.detik.com
(akses tanggal 12 Januari 2013).
[3] “Regensburg lecture”, http://en.wikipedia.org (akses tanggal 12
Januari 2013).
[4] John L. Esposito, guru besar
studi Islam dan konteks global serta direktur The Prince Alwaleed Bin Talal
Center for Muslim-Christian Understanding pada Georgetown University,
menyatakan bahwa pernyataan Paus Benediktus XVI terkait dengan prinsip dakwah
Islam dalam al-Qur’an terhitung tidak akurat dan ahistoris. Lihat: John L.
Esposito, The Fiture of Islam, cetakan I (Oxford: Oxford University
Press, 2010), halaman 188.
[5] Mereka berasal dari
berbagai negara, semisal Mesir, Mauritania, Suriah, Iran, Yordania, Oman,
Rusia, Bosnia, Kroasia, Slovenia, Turki, Uzbekistan dan Amerika Serikat.
Beberapa nama yang terkenal, di antaranya, adalah Muhammad Sa‘īd
Ramadlān al-Būthī (Suriah) dan Seyyed
Hossein Nasr (Amerika Serikat).
[6] “Open Letter to Pope
Benedict XVI”, dalam http://islamicamagazine.com
(akses tanggal 12 Januari 2013).
[7] Mereka berasal dari sejumlah
negara, seserti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Inggris, Italia, Swiss, Jerman,
Belgia, Kroasia, Rusia, Bosnia Herzegovina, Ukraina, Yordania, Mesir, Maroko,
Nigeria, Irak, Iran, Arab Saudi, Suriah, Aljazair, India, Sudan, Tunisia,
Pakistan, Malaysia, Indonesia dan Brunai Darussalam. Beberapa nama baru yang
populer, di antaranya, adalah Nasaruddin Umar dari Indonesia, Mahatir Muhammad
dari Malaysia dan Tariq Ramadan dari Swiss.
[8] Deklarasi tersebut juga
dikukuhkan melalui website http://acommonword.com
yang diresmikan pada tanggal 10 Okotber 2007.
[9] A Common Word Between Us
and You,
edisi V (Yordania: The Royal Aal Al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2012),
halaman 53.
[10] Ibid., halaman 73.
[11] “Christian Responses” dan
“Jewish Responses”, http://www.acommonword.com
(akses tanggal 12 Januari 2013).
[12] David Ford, “Professor
David Ford’s Response to A Common Word”, dalam http://www.interfaith.cam.ac.uk
(akses tanggal 12 Januari 2013).
[13] Nicholas Adams, “In Pursuit
of a ‘New Secular’: Human Rights and ‘A Common Word’”, dalam Waleed El-Ansary &
David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian understanding: Theory and
Application of “A Common Word”, cetakan I (New York: Palgrave Macmillan,
2010), halaman 177.
[14] Ibid., halaman 176-177. Model
pembacaan yang mulai populer di kalangan sejumlah komunitas Kristen, Yahudi dan
Muslim di Eropa ini dikenal dengan “scriptural reasioning”.
[15] Joseph M. Isanga, “The
‘Common Word’, Development and Human Rights: African and Catholic
Perspectives”, dalam El-Ansary & Linnan (ed.), Muslim., halaman 207
dan 213.
0 komentar:
Post a Comment