Garnasih
terperangah menemukan dirinya muncul dari balik gedung tertinggi di negeri ini.
Wajahnya pucat karena bingung. Dia pun bingung kenapa dirinya terengah-engah
dan merasa capek sekali. Kakinya teramat lemas. Dengan keras dia
mengingat-ngingat, apa hal terakhir yang yang dilakukannya. Namun sial! Dia tak
ingat. Sama sekali tak ingat!
Dari belakang, ruang
dengarnya menangkap suara orang-orang berteriak-teriak. Saat dirinya ingin
menolehkan kepalanya sendiri ke arah teriakan, tiba-tiba saja kakinya bergerak.
Seakan-akan mengajaknya untuk berlari. Berlari ke arah kaki menyeretnya.
Garnasih tak bisa mengendalikan kakinya sendiri. Tentu saja Garnasih bingung. Menambah
kebingungan keberadaan di sini yang begitu tiba-tiba. Bingung sekali.
Semakin keras dan dekat
teriakan-teriakan di belakangnya, semakin gesit pula kaki-kakinya berlari melompat-lompat
di atas mobil–mobil di tengah jalan raya. Saking cepatnya kedua kakinya
berlari, sesekali tubuhnya melayang-layang terbang melintasi satu pohon ke
pohon lainnya. Garnasih semakin bingung sekaligus takjub. Oh, apakah ini mimpi?
Garnasih mulai tertantang. Sedikit demi sedikit, kebingungannya mengecil. Jiwa
heroiknya timbul.
Garnasih menoleh ke
belakang, dan dilihatnya sepasukan berseragam mengejarnya. Garnasih tak tahu
mengapa. Tapi Garnasih sudah tak peduli. Sekarang, dia merasa tertantang,
senang, dan merasa sedang bermain film Hollywood.
Mulai saat ini, dirinya
telah bersatu dengan kekuatan-kekuatan—entah apa—yang membawanya
berlari-lari dahsyat. Ia langkahkan
kakinya panjan-panjang melewati jalan raya, taman-taman kota, sungai-sungai,
sawah-sawah, gedung-gedung tinggi, genting-genting rumah, hingga hutan-hutan.
Dan di belakangnya, sepasukan berseragam itu tetap mengejarnya, tak kalah
cepat.
Satu
hari, Garnasih menikmati pengalaman dahsyat dan di luar nalarnya ini. Memasuki
senja kedua, Garnasih sudah tak kuat, padahal, sepasukan berseragam itu masih
saja mengejarnya dengan semangat pertama. Ketakutan menyeruak begitu saja pada
dirinya. Kelelahan, mengingatkan kembali tentang keganjilan semua ini. Di dunia
apakah sebenarnya sekarang dirinya berada? Siapa sepasukan berseragam itu?
Kenapa mereka mengejarnya? Lalu, apa juga yang sedang terjadi padanya? Kekuatan
super apakah ini?
Baju piamanya basah.
Tubuhnya bermandikan keringat. Sambil terus berlari Garnasih mulai berfikir.
Apakah ini hanya mimpi? Kalau iya, Garnasih ingin segera bangun.
Sambil berlari,
dikerjap-kerjapkan matanya. Dihempas-hempaskan tubuhnya seperti biasa, kala ia
sedang bermimpi. Dan dia akan menemukan dirinya sedang di atas ranjang bermandikan
keringat atau sedang duduk menangis.
Aneh. Dia tetap berlari
tanpa bisa disuruhnya berhenti. Alih-alih menemukan dirinya di atas ranjang,
tubuhnya masih berlari-lari di awang-awang. Garnasih ingin menangis. Dia
menjerit-jerit meminta pertolongan. Tapi hanya hembusan angin yang menjawabnya.
Kakinya semakin cepat
berlari-lari. Dan kini menuju ke arah matahari. Garnasih tahu dirinya akan di
bawa ke matahari. Garnasih menjerit-jerit sambil menjejak-jejakkan kakinya,
agar berhenti. Tentu saja Garnasih tak mau terpanggang konyol di matahari. Tapi,
semakin dijejakkan, kaki itu semakin kencang berlari seakan mengendarai angin
beliung yang sedang murka.
Garnasih menoleh ke belakang
sambil menangis, bagai Garnasih kecil yang sedang minta dibelikan balon. Sepasukan
berseragam itu tanpa kasihan masih saja mengejarnya. Tanpa menghiraukan air
mata yang basah di pipi Garnasih sampai menetes-netes ke lehernya. Malah, sekarang mereka telah bersiap dengan
pistol di tangan.
Garnasih
telah benar-benar berada di puncak kelelahan. Bajunya semakin basah keringat.
Rambutnya juga mulai tak karuan. Otot-ototnya terasa lemas namun tetap saja
dipaksa berlari, entah oleh siapa.
Garnasih akhirnya sadar
bahwa dirinya sudah tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah. Di ujung kepasrahannya,
dia berdoa. Berdoa adalah jalan terakhir yang paling akhir yang masih bisa dan
juga musti dia tempuh.
Dalam kepasrahan itulah,
matanya terpejam. Dengan kekuatan dan kekhusyukan terakhir yang teramat dalam,
dia berdoa. Lalu semuanya abu-abu. Berubah ungu. Berujung petang. Gelap.
Garnasih
gelagapan. Dalam gelap tiba-tiba ada yang menarik tangannya. Tangan berotot dan
hangat. Garnasih menaksir ini adalah tangan lelaki. Garnsih ingin sekali
melihatnya. Melihat seseorang yang tidak ia kenal namun bisa sedikit meluruhkan
gunung ketakutannya. Tapi bagaimana caranya? Melihat dirinya saja tidak.
Semuanya gelap. semuanya petang.
“Tenanglah. Kau aman
bersamaku”, suara lelaki itu berhembus di telinga Garnasih. Bibirnya menyentuh
bibir telinga Garnasih. Hati Garnasih berdebar. Sungguh Garnasih ingin melihat
rupa pemilik nafas hangat ini. Tapi apa yang bisa dilakukan Garnasih selain
pasrah dalam kegelapan?
Tubuhnya masih di awang-awang.
Itu yang masih dirasakan Garnasih. Juga rasa aman dan nyaman karena kehangatan
dan kelembutan seseorang yang entah siapa. Garnasih memang tak perduli. Karena
begini saja, dia sudah sangat merasa terbebas dari ketakutan, dari himpitan
kekhawatiran. Garnasih tak ingin mengingat kesan panasnya matahari dan
sepasukan berseragam itu.
Setelah merasa dibawa
melesat-lesat dalam kegelapan, kini, setelah sekian lama, Garnasih merasa
kakinya menjejak tanah kembali. Kakinya yang telanjang, merasakan
butiran-butiran lembut tanah. Lalu, ia rasakan juga pegangan tangan lelaki itu akan
lepas. Garnasih tak tahu siapa lelaki itu. Namun, ia tidak mau dilepas.
Garnasih takut dilepas.
Seberapa
besar apa pun rasa takut yang tiba-tiba menyeruak kembali pada dirinya, lelaki
penolong itu lepas. Dan Garnasih mulai sadar. Garnasih paham. Garnasih juga
menginsyafi rasa ketergantungannya itu.
Di atas kedua kakinya yang
sudah kembali menjejak tanah lagi, Garnasih tegar berdiri sendiri. Kegelapan
yang semenjak tadi menyelimutinya mulai menghadirkan pendar-pendar cahaya. Garnasih
melihat cahaya berpendar-pendar mengelilingi tubuhnya. Tubuh Garnasih terasa
ringan. Segala kebingungan yang mengendap di batok kepalanya seakan sirna.
Menyusut karena cahaya. Lalu menguap dan hilang. Tak ada lagi keresahan yang
memburu Garnasih. Garnasih seolah baru bangun dari tidur panjang dengan mimpi
yang indah-indah. Hatinya telah ringan.
“Hahahaha!” Garnasih
terperanjat mendengar lengkingan suara nenek-nenek. Garnasih terkesiap. Tampak
di sekelilingnya batu-batu tinggi yang ditumbuhi bunga-bunga liar. Dan tepat di
hadapannya di sana, seorang nenek-nenek berambut putih panjang dengan tongkat
panjang di tangannya. Garnasih bergidik. Rasa cemas dan takut kembali hadir.
Garnasih merasa dirinya sedang berada di zaman dahulu.
“Hahahaha!” Nenek-nenek itu
tertawa. Garnasih kembali terkejut dalam diamnya.
“Kenapa kau berlari-lari
dari dunia! Hahaha!” Suara tua nenek itu menancap tepat di hati Garnasih yang
diliputi ketakutan.
Dengan terbata-bata dan
ragu-ragu, Garnasih mengeluarkan suara yang tercekat di tenggorokannya, “Be … ber
… lari dari du … nia? A ... pa maksud Anda?”
“Hihihihi.” Nenek itu
kembali tertawa melengking. Angin mengirimkan lengkingannya sampai ke liang
telinga Garnasih. Garnasih gemetar.
“Sudah dua tahun kau berlari-lari,
Perempuan!” Suara nenek itu menyentak. Saking kagetnya, Garnasih sedikit
terlonjak ke belakang. Baju piamanya sudah tidak basah keringat.
“Du … dua tahun saya
berlari?” Garnasih tak percaya.
Tawa nenek misterius itu
kembali membahana. Lalu memantul-mantul pada kening batu-batu hitam.
“Sa … saya dikejar. Ja … ja
... di saya berlari. Tolong saya.”
Garnasih kaget dengan
perkataannya sendiri. Kenapa dirinya meminta tolong pada nenek kotor, aneh, dan
asing itu?
Nenek itu tertawa lagi. “Aku
tahu, kau ingin bersembunyi. Bersembunyi dari dunia dan seisinya yang
mengejar-ngejarmu!”
Garnasih tak sepenuhnya
mengerti. Tapi dengan tanpa disadarinya, kepalanya mengangguk.
Nenek itu berjalan membelakanginya.
Di depan nenek itu, Garnasih melihat kain merah di antara batu-batu. Nenek itu
mengangguk ke arah Garnasih. Garnasih mendekat. Langkahnya pelan-pelan.
Garnasih nampak ragu.
“Masuklah!” Suara nenek itu
berat
“Tapi apa itu?” Kening
Garnasih mengkerut
“Pintu reinkarnasi!” Mulut
nenek itu bergerak-gerak jelas di mata Garnasih. Garnasih terperangah. Garnasih
terkejut. Dia mundur beberapa langkah.
“Tidak! Aku tidak mau
reinkarnasi!” Garnasih menjerit.
Nenek itu tertawa semakin
melengking. Garnasih menutup telinga dengan kedua tangannya. Lalu senyap.
“Kenapa? Kau takut menjadi
orang lain?! Kau takut tak beruntung, Perempuan?! Tak ada jalan lagi bagimu
selain pintu ini, sebab, di luar batu-batu tinggi ini, semuanya telah
mengepungmu! Siap membunuhmu!” Nenek itu tertawa lagi
Garnasih semakin dijejali
keterkejutan. Dengan ragu, ia katakan apa yang dirasakannya, “A … a … ku takut
menjadi hewan.” Kali ini, Garnasih tak berani menatap mata marah nenek bermuka
keriput itu. Kepalanya menekur ke bumi.
Pelan-pelan, dengan tongkat
di tangan kanannya, nenek itu mendekati Garnasih. Dan tepat di bawah muka
Garnasih, nenek itu berkata pelan bagai orang berbisik, “Lebih mulia menjadi
hewan, daripada menjadi manusia hewan!”
Suara nenek itu menyusupi
telinga Garnasih. Bermacam bunyi lalu berdenting-denting di telinga Garnasih.
Memantul-mantul di kepalanya. Kepala Garnasih pening. Seluruh tubuh Garnasih
terguncang. Dilihatnya bayangan ungu berputar-putar di matanya. Garnasih
pusing. Kepalanya berat. Lalu, tubuhnya ambruk.
Garnasih
terbangun, ditemukan dirinya masih dikelilingi batu-batu tinggi. Matanya
mencari-cari nenek gila dan pintu berkain merah. Tapi tak ada. Tempat itu
senyap. Padahal Garnasih ingin segera berlari kencang ke arah pintu
reinkarnasi. Garnasih ingin menjadi hewan saja! Ia ingin mejadi keledai, atau
kambing, atau cacing, atau kutu sekalian!
Tiba-tiba terdengar suara
merdu memenuhi tempat itu. Angin membawa alunan yang memesonakan itu ke telinga
Garnasih. Masuk, dan menyatukannya dengan aliran darah. Menyusup ke pintu
nurani. Garnasih terpekur. Ia mulai ingat nyanyian langit itu adalah simfoni
yang memenuhi langit saat senja merona, memega merah.
Saat ia memapah dirinya
untuk bangkit, matanya menemukan tulisan terangkai pada batu-batu tinggi yang
melingkari tempat ini. Dengan terbata-bata dan tanpa bersuara, nuraninya
membaca tiap garis huruf indah itu. Garnasih terperangkap pada garis-garisnya
saja. Garnasih tak tahu ruh apa yang berada di balik garis-garis yang
memesonakan itu:
وإن تطع
أكثرَ من فى الأرض يضلوك في سبيل الله
Malang-Jogja, pada Februari.
Halimah Sa'diyah
adalah Mahasiswi Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulis novel Akasia Berdarah.
0 komentar:
Post a Comment