Oleh: Muhammad Adib*
Buku setebal 309 halaman ini
merupakan symposium proceedings dari sebuah simposium bertajuk “Gender
and Convertion to Islam” yang diselenggarakan oleh International Institute
for Studi of Islam in the Modern World (ISIM) Leiden University Belanda pada
tanggal 16-17 Mei 2003. Simposium tersebut diselenggarakan sebagai respon
akademik terhadap meningkatnya jumlah warga pribumi Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa yang memeluk agama Islam, terutama pascatragedi serangan
WTC 11 September 2001. Sejumlah media di Barat melaporkan bahwa jumlah warga
pribumi yang memeluk agama Islam sepanjang satu tahun pascatragedi itu mencapai
angka ratusan ribu. Uniknya, sebagian besar di antaranya adalah kaum perempuan
dari kalangan terdidik (educated women)—dengan rasio mencapai 4:1.
Beberapa di antaranya bahkan adalah nama-nama yang terkenal, seperti Lauren
Booth (adik ipar Tony Blair), Kristane Backer (mantan presenter MTV di London),
Sara Bokker (mantan artis, model dan instruktur fitness terkenal), dan Camilla Leyland
(guru yoga terkenal di Inggris). Sisi unik inilah yang dijadikan sebagai fokus
kajian dalam simposium tersebut berikut alasan penetapan “gender and
convertion to Islam” sebagai tajuknya.[1]
Secara umum, buku yang
memuat 12 makalah—10 di antaranya ditulis oleh penulis perempuan—ini
memperbincangkan fenomena gelombang konversi agama kalangan perempuan sebagai
sebuah fakta yang mengejutkan sekaligus menarik, karena kontradiktif dengan
dominannya label negatif terhadap Islam di dunia Barat. Di satu sisi,
masyarakat Barat cenderung melihat Islam sebagai agama teroris, kejam,
anti-Barat, anti-demokrasi dan diskriminatif terhadap perempuan. Namun, di sisi
lain, sejumlah besar kaum perempuan di Barat justru tertarik dengan ajaran
Islam dan menjadi Muslim.
Ragam pertanyaan filosofis
yang perlu dijawab—seperti dinyatakan oleh Karin van Nieuwkerk—adalah: (1) “motivasi
dan latar belakang apa yang mendorong kaum perempuan di Barat untuk memeluk
Islam?”, (2) “Islam seperti apa yang mereka peluk?”, (3) “bagaimana proses yang
mereka lalui dalam memeluk Islam?”, (4) “bagaimana mereka beraktualisasikan
diri dengan identitas baru mereka?”, (5) “apa reaksi dan respon masyarakat
sekitar mereka?”, (6) “apa peran mereka di masyarakat secara umum setelah
memeluk Islam?”, dan (7) “apa kontribusi mereka bagi wacana gender dan Islam?”.
Menurut van Nieuwkerk, pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab,
mengingat konversi agama bukan hanya sebuah pengalaman sesaat semata, melainkan
sebuah proses panjang transformasi budaya, sosial dan keagamaan sekaligus. Buku
ini adalah salah satu upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi melalui kajian
empiris dengan memperbandingkan fenomena yang terjadi di Eropa, Amerika Serikat
dan Afrika Selatan serta kajian filosofis dalam kaitannya dengan wacana gender
dan feminisme.[2]
Beberapa ulasan yang menarik
dari buku ini terkait dengan fenomena konversi ke Islam sejumlah besar
perempuan terdidik di Barat adalah sebagai berikut:
1.
Kehidupan
sosial, politik dan budaya di Barat yang sekuler serta menjunjung tinggi
kebebasan individu dan HAM telah berperan cukup penting bagi privatisasi agama.
Bagi mereka, beragama ataupun tidak beragama, termasuk di dalamnya beralih
agama, telah menjadi pilihan perorangan (individual choice) yang dijamin
keberadaannya. Itulah sebabnya, bisa dipahami mengapa jumlah mu’allaf
dari kalangan warga pribumi di Barat semakin meningkat dari tahun ke tahun.[3]
2.
Konversi agama
para mu’allaf dari warga pribumi di Barat bisa dipilah menjadi dua tipe,
yaitu (a) tipe konversi relasional (relational convertion), yakni
konversi yang bertumpu kepada adanya relasi antara sang mu’allaf dan
seorang atau komunitas Muslim tertentu, semisal melalui hubungan pernikahan,
perkawanan, dan sebagainya, dan (b) tipe konversi rasional (rational
convertion), yakni konversi melalui proses kontemplasi intelektual, baik
dengan cara berdiskusi dengan orang tertentu ataupun dengan membaca buku-buku
yang memuat ajaran Islam, terutama Kitab Suci al-Qur’an dan buku-buku mistisisme
Islam. Hasil berbagai survey mengindikasikan bahwa kaum perempuan mu’allaf
di Barat rata-rata melakukan konversi tipe kedua ini. Hal ini sekaligus menepis
tuduhan kalangan anti-Islam bahwa kaum perempuan di Barat yang memeluk agama
Islam tidak lain dan tidak bukan semata-mata dipengaruhi oleh hubungan
relasional mereka dengan seorang atau sekelompok Muslim tertentu.[4]
3.
Mistisisme, atau
biasanya disebut sebagai “intelektualitas spiritual” (spiritual
intellectuality), terbukti berperan sangat penting sebagai salah satu
ajaran Islam yang mengundang ketertarikan para perempuan mu’allaf di
Barat untuk beralih agama menjadi Muslim. Buku-buku mistisisme, yang
akhir-akhir ini menjadi bahan bacaan populer di Barat, telah berhasil
menampilkan dimensi yang berbeda dari ajaran Islam di tengah-tengah labelisasi
negatif yang selama ini disematkan kepadanya. Ajaran Islam tentang cinta kasih,
kejujuran, kedisiplinan, keteguhan menepati janji, etos kerja dan sebagainya
ternyata telah memberi mereka semacam wawasan baru tentang bagaimana seorang
manusia beragama dan mengaktualisasikan ajaran agamanya ke dalam realitas kehidupan.[5]
4.
Terdapat tiga
isu penting yang mengemuka terkait dengan kehidupan sosial para perempuan mu’allaf
di Barat pascakonversi agama mereka. Tiga isu tersebut adalah sebagai berikut:
(a) perubahan identitas agama juga berimplikasi kepada perubahan identitas
sosial, gender dan rasionalitas, (b) ragam identitas baru ini berdampak pula
kepada perubahan penampilan, sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan
keseharian mereka, dan (c) perubahan tersebut pada gilirannya berdampak pula
kepada pola relasi mereka dengan komunitas Muslim lainnya pada khusunya dan
masyarakat Barat yang mayoritas non-Muslim pada umumnya. Di satu sisi,
identitas baru mereka memunculkan risiko seperti perubahan perlakuan balik
terutama dari komunitas non-Muslim. Namun, di sisi lain, kehidupan sekuler di
Barat yang sangat mengedepankan kebebasan individu memberikan ruang yang
relatif besar bagi mereka untuk “how to be a Muslim in religion and to be a
Western in culture”.[6]
Pada akhirnya, keseluruhan
tulisan dalam buku ini sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa meski
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang beragam dan kompleks, keputusan
mereka memeluk Islam rata-rata
berdasarkan motivasi yang sama, yaitu (1) ketertarikan kepada dimensi
spiritual-sufistik (moral dan etika) dan rasionalitas ajaran Islam, dan (2)
rasa “muak” terhadap budaya Barat yang sekuler dan serba-bebas.[7]
Yang jelas, trend konversi ke Islam yang semakin meluas di Barat dewasa ini
telah menjadi titik balik yang mementahkan labelisasi negatif terhadap Islam di
dunia Barat selama ini. Selain itu, trend tersebut memaksa sejumlah pemuka
agama Kristen dan Katolik di Barat untuk melakukan evaluasi diri secara radikal
dan komprehensif terkait dengan sejauh mana agama Kristen dan Katolik mampu
memenuhu kebutuhan spiritual para penganutnya. Piero Gheddo—juru bicara
Vatikan, misalnya, bahkan menegaskan sebuah “kekhawatiran” bahwa jika Katolik
tidak berbenah diri, sementara trend konversi ke Islam semakin tidak
terbendung, maka pada beberapa abad mendatang, Islam akan menjadi agama mayoritas
di Eropa.[8]
Wa allāh
a‘lam bi al-shawāb.
Yogyakarta, 13
Februari 2013.
Muhammad Adib
adalah Dosen Tetap STAI
Al-Qolam Gondanglegi Malang, peserta Program Beasiswa Studi (BS) Program Doktor
(S3) Kementerian Agama RI Angkatan Tahun 2012 di Program Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1] Https://www.openaccess.leidenuniv.nl,
artikel “Gender and Conversion to Islam Symposium” akses tanggal 11
Februari 2013).
[2] Karin van Nieuwkerk, “Gender
and Conversion to Islam in the West”, dalam van Nieuwkerk (Ed.), Women.,
halaman 2.
[3] Ibid., halaman 2-3.
[4] Stefano Allievi, “The
Shifting Significance of the Halal/Haram Frontier: Narratives on
the Hijab and Other Issues”, dalam van Nieuwkerk (Ed.), Women., halaman
123-124.
[5] Haifaa Jawad, “Female
Conversion to Islam: The Sufi Paradigm”, dalam van Nieuwkerk (Ed.), Women.,
halaman 58.
[6] Nicole Bourque, “How
Deborah Became Aisha: The Conversion Process and the Creation of Female Muslim
Identity”, dalam van Nieuwkerk (Ed.), Women., halaman 233.
[7] Karin van Nieuwkerk, “Gender
and Conversion to Islam in the West”, dalam van Nieuwkerk (Ed.), Women.,
halaman 8.
[8] Http://www.telegraph.co.uk,
artikel “Muslims will become majority in Europe, senior Vatican official warns”
(akses tanggal 11 Februari 2013).
0 komentar:
Post a Comment