Oleh: Halimah Garnasih*
Perempuan
itu tak pernah berdialog dengan siapapun. Apalagi bersepakat dengan siapapun.
Atau menyetujui apapun. Namun, dia tetap terlahir di dunia. Begitu saja, dia
temukan dirinya sebagai seorang anak. Anak gadis.
Banyak
hal-hal yang begitu saj terjadi di luar keinginan dirinya, itu yang ia pikirkan
saat duduk di kelas empat SD. Sambil maenyangga pipi kanan dengan telapak
tangan kanannya yang kecil, ia, diam-diam menggugat. Entah pada siapa. Ia pun
tak benar-benar tahu.
Matanya
yang bundar memayar bunga mawar putih di depan kelas. Namun, sebenarnya, ia pun
tak melihat putihnya kelopak mawar yang menyangga sisa-sisa embun tadi pagi.
Kenapa
aku di sini? Hatinya gelisah. Pikirnya menggulung-gulung. Bercengkrama sendiri.
Lalu, apa sebenarnya semua ini? Ia memandang langit, menatap tanah, menghirup
udara dalam-dalam, dan merasakan angin yang melewati belakang telinganya.
Belum juga
ia menemukan jawaban kegelisahannya itu, tas punggungnya jatuh dari
pangkuannya. Ia terkejut. Sesuatu dalam dirinya kembali menggugat melihat tas
punggungnya yang sebenarnya tidak layak pakai. Tas punggung yang selalu
membuatnya tersisih dari teman-temannya. Yang selalu menjadi olok-olokan di
kelas. Banyak bagian-bagian telah dijahit dan ditembel dengan kain putih kusam.
Sangat kontras dengan kain aslinya, biru cerah.
Lalu,
siapa yang memilihkanku lahir dari rahim emak? Sesuatu bagian dalam dirinya
kembali bertanya-tanya. Perempuan miskin, beranak banyak dengan suami yang
hanya penjual cilok.
Perempuan
itu bergeming. Menatap dirinya di depan cermin. Ia perhatikan saja pena yang
berdiri tegak di antara jari jempol dan telunjuknya. Ia mulai ragu. Nafasnya
berat. Ada sesuatu di dadanya yang terasa menonjok-nonjok ingin keluar. Namun
tak bisa. Akhirnya, dua tetes air jatuh dari matanya.
Lalu,
penanya kembali menyatu. Membuat anak gadis di depan kelas tadi tumbuh menjadi
gadis perawan. Ia belumlah lupa kegelisahannya dulu atau mungkin yang
berujung pada gugatan-gugatannya. Entah
pada siapa. Sekarang, ia semakin benci. Entah pula pada siapa.
Semua
berjalan begitu saja. Ia habiskan masa perawannya tanpa warna. Hanya terkurung
di dalam rumah, dengan sapu, lap mengepel, dan seember air kotor.
Saat
ayam berkokok, ia teburu-buru ke dapur. Bergelut dengan panci-panci dan tungku-tungku hitam. Memasak nasi, sayur,
lengkap dengan ikannya. Itu pun kalau ada. Jika tidak, maka disiasatinya dengan
menyiramkan air lebih banyak pada beras
di dalam panci. Maka, beras yang sedikit itu menggelembung-gelembung menjadi
tajin dan cukup untuk memberi makan kedelapan adiknya.
Saat
matahari mengintip para perawan mandi, ia berlari dari dapur karena
teriakan-teriakan adiknya. Dengan sarung dan kaos panjang yang sudah disentuh
angus pada bagian sana-sini, ia habiskan harinya dengan mengurus kedelapan adiknya.
Meski keletihan telah menggelayut pada jasmani, batin, dan pikirnya, rona
perempuan perawan tetap membias segar dan cantik pada wajahnya. Bahkan lebih
matang dari perawan-perawan sebayanya. Hingga tak jarang jejaka-jejaka yang
lewat di depan rumahnya merasa gemas.
Semua
itu ia lakukan sambil membersihkan rumah, menanam cabai, dan sayur-sayuran di
depan rumah.
Bila
senja sudah menyapa, ia berlari lagi ke dapur. Menyeduh kopi untuk bapak dan
emak yang sebentar lagi akan datang dari pasar. Semenjak ia lulus SD, emak bekerja di luar bersama bapak. Mengumpulkan
dan menjual-belikan barang-barang bekas.
Perempuan
itu menatap lagi pada permukaan cermin. Mengusap bagian depan rambut shaggy-nya. Jemari panjangnya yang merah kutek meraih satu batang rokok
lagi. Satu batang terakhir. Disulutnya. Lalu, bibirnya yang dilapisi lipstik
merah hati dengan begitu saja menempel pada batang terakhir itu. Dihisapnya
sambil mendongak menatap langit-langit kamar yang putih dan memejamkan mata
sampai terasa asap yang penuh nikotin itu memenuhi paru-paru.
Dihembuskan
asap itu ke luar sampai asapnya yang tipis menari-nari di antara meja riasnya.
Ia tersenyum tipis saat gumpalan asap pertama yang keluar dari mulutnya
menyembul pada cermin. Tapi
sial! asap itu terburai sehingga ia temukan lagi wajahnya di sana.
Di kedalaman
cermin. Matanya melihat bibirnya yang merah. Matanya melihat hidungnya yang
kecil bangir. Matanya melihat alisnya yang bagai sabit. Lalu, matanya melihat
matanya. Matanya yang dalam bagai cermin. Hingga dia bisa melihat lagi gambar
perempuan di sana.
Perempuan
itu berjalan dengan menunduk. Di atas sandal jepitnya, kakinya yang tak terawat
ikhlas saja dipakai berjalan meski lelah. Sangat lelah setelah seharian
mengurusi delapan adiknya dan membersihkan rumah.
Seperti
dulu saat akan pergi sekolah, malam ini ia lewati gang-gang kecil menuju rumah
mak Salma. Bukan lagi tas buluk yang ada di punggungnya, melainkan sekarung
botol air mineral kosong.
Sebenarnya
bisa saja emak atau bapak besok pagi yang akan mengantarkan, tapi Kang
Karno--supir mak Salma--bertandang ke rumahnya. Menyampaikan pesan kalau mak Salma
meminta botol-botol mineral itu diantarkan sekarang juga. Malam ini juga.
Karena bapak dan emak masih kelelahan, anak perempuannyalah yang disuruh. Anak
perempuannya yang segar perawan. Anak perawannya yang juga sangat lelah.
Perempuan
itu berbelok lagi ke gang kecil yang bau pesing dan gelap. Mukanya tetap
menunduk menyangga berat. Bukan berat di punggungnya, tapi berat di dalam
dirinya yang telah ia pikul semenjak kecil. Yaitu kegelisahan.
Sudah
sekian lama kegelisahan itu mengendap di kepala dan hatinya sambil menjalani
kepahitan hidup yang ia lalui dengan ikhlas.
Tapi,
malam ini kegelisahan itu kembali menguap sampai ke dada dan terus ke kepala.
Memenuhi otak sehingga sempat membuatnya pusing sekejab dan ingin menangis.
Beruntung, perempuan itu cepat mengingat Tuhannya.
Ia
berjalan lagi. Kegelisahan itu membuntutinya. Kali ini lebih terasa berat dari
kegelisahan di masa-masa kecilnya, “Siapa yang mengirim botol-botol ini ke
punggungku?” Batinnya dirasuki kegelisahan.
“Siapa
pula yang mengirim keringat dan keletihan kepada emak?”
“Kenapa
aku musti mengenakan jilbab dan rok panjang? Bukankah rambutku yang panjang
akan bahagia tergerai dan berteman dengan angin?”
Saat
berbelok lagi dan menemukan jalan raya yang sepi, perempuan itu melihat dirinya
melepas jilbab dengan kasar. Menggunting rok panjangnya sampai ke atas lutut.
Dan membebaskan dirinya dari botol-botol mineral dan sandal jepit bututnya.
Di
tengah jalan raya yang sepi, ia bediri kaku. Jari telunjuknya menuding ke
langit hitam yang dipenuhi bintang. Mereka yang berkerlap-kerlip mengirimkan
nyanyian langit.
Jiwanya
melayang. Bibirnya kembali ingat cara tersenyum sampai belahan di bibir
bawahnya terlihat jelas. Senyum yang memesonakan sukma. Ada rasa bebas yang
tiba-tiba menyelinap dan menindihi kegelisahan.
Tumitnya
yang jenjang berbahagia. Rambutnya yang hitam, kedua tangannya yang panjang,
dadanya, perutnya, dan seluruh kedalaman dirinya berbahagia. Ia menari-nari di
tengah jalan raya yang sepi. Di bawah langit hitam bertabur bintang. Bersama
melodi nyanyian langit. Bunga-bunga, dedaunan, dan ranting-ranting ikut menari.
Dan angin, menghembuskan simfoni lembut.
Tapi
ada kekuatan lain yang menginginkan hal itu tidak pernah terjadi. Sehingga perempuan
itu masih berdiri di atas sandal jepitnya dengan sekarung botol air mineral di
punggungnya. Perempuan itu sudah tak bisa melakukan apapun selain berjalan
menunduk dengan menahan kegelisahan sampai rumah Mak Salma.
Puntung
rokok itu terkulai di dalam asbak merah di atas meja rias. Perempuan itu
menggigit bibir. Tiba-tiba ada perih di perutnya sampai ke bawah. Digigitnya
bibirnya sendiri. Lagi-lagi cermin memandangnya hingga ia melihat dirinya
sendiri.
Rumah Mak Salma
telah gelap. Dan memang, Mak Salma sedang tidak menunggu siapapun, selain
ranjang yang bisa menyapukan keletihannya. Seharian ini, Mak Salma merasa nyaman
dan tak ada beban. Mak salma merasa bebas dan damai karena telah dua hari
suaminya ke luar kota.
Mak
salma juga tidak tahu kenapa ia lebih senang jika suaminya tidak di rumah.
Entahlah, Mak Salma hanya ingin menikmati surga dua hari ini tanpa suami.
Yah,
tak ada Mak Salma. Justru, sepasang matalah yang telah lama mengintainya.
Membuntuti wadag yang jiwanya selalu diliputi kegelisahan.
Perempuan
itu terseret ke salah satu gang sempit. Botol-botol air mineralnya berhamburan.
Lagi,
ia harus atau begitu saja semestinya menerima keadaan saat Kang Karno berhasil
menindihinya, menyumpal mulutnya dengan jilbabnya sendiri.
Lagi,
ia harus menerima kenyataan bahwa otot-ototnya tidak lebih kuat dari otot-otot
Kang Karno, sampai ijtihadnya melindungi sesuatu titipan Tuhannya luruh. Kenapa
Tuhan tidak menjaga miliknya?! Hatiny berteriak panjang memanggil Tuhan yang
amat diagungkannya saat dirasakan sesuatu yang keras merusak ‘milik’ Tuhan.
Perempuan
itu bergetar. Kakinya bergetar, bibirnya bergetar. Dan tangannya bergetar saat
mengambil salah-satu wadah kaca krim kecantikannya di depan cermin.
Dipandanginya
lembaran kertas terakhir tulisannya. Ditemukannya kata terakhir sebelum titik
yang telah dia buat:”Tuhan”
Pandangannya
beralih pada cermin yang semenjak tadi memandangnya. Mengejeknya. Seolah-olah
cermin itu berkata bahwa dirinya tak ubahnya perempuan dalam kertas di
depannya. “Permainan dan mainan”. Hahaha!
Cermin
itu tertawa terbahak-bahak dan mengolok-ngolok. Perempuan berlipstik itu
pusing. Ia menjerit pada cermin dan menyuruhnya diam. Tapi cermin itu tetap
mengolok-ngolok dan semakin tertawa keras.
Perempuan
itu marah. Tubuhnya semakin bergetar hebat. Dilemparkannya wadah kaca krimnya
pada cermin dengan keras. “Pyarr!”
Retaklah kaca itu dan akhirnya jatuhlah pecahan-pecahannya di atas meja rias.
Menimbuni lembaran-lembaran kertas dan sebatang pena yang masih tergeletak.
Menimbun cerita-cerita perempuan.
Perempuan
itu tergugu. Menangis di bawah kolong meja rias.
Kupandangi
cermin di depanku. Di atas meja rias ini pula aku melukis kisah-kisah.
Menghidupkan atau mematikan perempuan-perempuan. Melecehkan atau mengagungkan
perempuan-perempuan.
Tiba-tiba
kudengar suara perempuan memanggilku dengan lembut:”Perempuan”. Tapi, di kamar
ini tak ada siapa-siapa selain aku, ranjang, lemari baju, dan meja rias lengkap
dengan cerminnya.
Kuteruskan
saja mengangkat pena. Tapi, sekali lagi aku mendengar suara perempuan
memanggilku. Tiba-tiba aku teringat cermin yang mengolok-ngolok dan
menertawakan itu.
Tak
kuteruskan bagian cerita ini. Biarlah sampai pada bagian tangis perempuan di
kolong meja rias. Tanpa memandang cermin, hati-hati dan pelan-pelan sekali
kutinggalkan kertas, pena, dan kegelisahanku di atas meja rias. Di depan
cermin.[]
Malang, 10 Februari 2013
Halimah Garnasih
adalah Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sedang bergiat di Rumah Kreatif Matapena Yogyakarta & sanggar Salemba Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment