Oleh: HM Madarik Yahya*
Selama ini agama hanya dijalani dalam tataran semangat ritualitas
belaka. Keberagamaan orang Islam Indonesia seakan-akan sudah cukup terwakili
oleh praktik-praktik dan ritus-ritus Islam, seperti salat, zakat atau haji
yang marak dilaksanakan masyarakat setiap tahun, meskipun terkadang harus
dengan menjual sawah ladang mereka. Anehnya, masyarakat muslim Indonesia
agaknya merasa “tenang dan nyaman” manakala kondisi yang dianggap kondusif
sudah tercipta untuk melakukan berbagai macam peribadatan semacam itu. Walaupun
tidak semua unsur-unsur dalam syariah Islam dapat diterapkan secara
keseluruhan, seperti penarikan jizyah (semacam pajak) bagi non muslim, potong
tangan bagi pencurian dalam batas-batas tertentu, atau sistem khilafah dalam
pemerintahan.
Tentu saja, pijakan dasar yang digunakan oleh umat Islam terhadap
sikap menomorduakan pelaksanaan syariah Islam ialah munculnya keinginan untul
melahirkan dan membangun Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang utuh
dalam wawasan masyarakat plural.
Sebagaimana kita mafhum, bahwa memang Indonesia ini sebuah negara
yang majemuk. Di dalamnya terdapat berbagai agama yang diakui secara hukum
keberadaannya, etnis, dan suku. Pluralisme agama, etnis dan suku inilah yang
dipandang sebagai faktor utama untuk tidak menerapkan syariah Islam di
Indonesia. Karena, hanya dengan upaya tidak memberlakukan syariah Islam di
alam majemuk, berarti bangsa Indonesia tidak terjebak ke dalam sikap
memperlakukam lebih terhadap salah satu agama di antara agama-agama lain.
Padahal dalam Islam, syariah merupakan sebentuk aturan-aturan
kehidupan yang harus dilaksanakan secara sempurna dan simultan (QS 1:207).
Tarik ulur antara keinginan menjaga keutuhan bangsa Indonesia dalam
pluralisme agama, etnis serta suku di satu pihak dan tuntutan penegakan
syari’ah Islam dalam semua dimensi kehidupan di pihak lain adalah persoalan
pelik yang sering kali mencuat kepermukaan tanpa ada jawaban tuntas. Permasalahan
semacam ini yang perlu segara direspon dalam berbagai diskusi, meskipun masih
dalam batas wacana.
Syariah Islam yang Kaffah
Dalih yang acapkali dilontarkan oleh kalangan yang menampik
syariah Islam untuk diterapkan di Indonesia ialah demi menjaga kelestarian dan
keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa. Sebab, penerapan syriah Islam atau
doktrin-doktrin dari salah satu agama, akan dengan mudah dicap sebagai sebuah
langkah diskriminatif, karena telah memberikan hak lebih kepada salah satu
agama, padahal agama-agama lain juga dijamin keberadaannya di negeri ini dan
bahkan semua agama diposisikan sejajar dalam pandangan hukum Indoneia.
Diskriminasi inilah yang dikhawatirkan banyak kalangan umat Islam akan dapat
memicu munculnya kecemburuan sosial dari pemeluk agama lain. Dan pada akhirnya,
desintegrasi bangsa yang sangat potensial memporak-porandakan persatuan bangsa
akan menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari.
Sesungguhnya, dalih dan kekhawatiran seperti tersebut terlalu
berlebih-lebihan dan terasa ganjil, jika
ditakar dengan apa yang sebenarnya ada dan termuat dalam materi syariah Islam itu
sendiri karena syariah Islam sebetulnya bukan hanya merupakan sebuah
institusi aturan kehidupan yang serta-merta berpihak kepada kepentingan umat
Islam belaka, tetapi lebih jauh kesempurnaan syariah Islam sedemikian
akomodatif terhadap eksistensi agama-agama lain. Sifat dari syariah Islam
tidak saja mewadahi keberadaan umat Islam, namun juga mampu menyerap semua
kepentingan agama-agama lain.
Hal ini digambarkan dengan sangat jelas dalam sejarah kehidupan
Nabi Muhammad saw. pada saat beliau membangun Madinah sebagai sebuah institusi
nagara yang majemuk dan plural. Seperti diketahui bahwa masyarakat Madinah yang
dibangun oleh Nabi Muhammad saw. terdiri dari berbagai kelompok dan agama. Ada
golongan Muhajirin (non-pribumi) dan kaum Ansar (kalangan pribumi). Di antara
kaum Anshor sendiri terdapat kelompok muslim dan non muslim, seperti Yahudi dan
Nasrani.
Menyadari kenyataan warga masyarakat yang mejemuk dan beragam
ketika itu, Nabi Muhammad saw. mengeluarkan sebuah ketentuan-ketentuan yang
bersifat mengikat (semacam perjanjian antar kelompok), yang bisa dianggap
sebagai konstitusi bagi sebuah negara. Konstitusi yang kemudian pada akhirnya
dalam sejarah Islam lebih dikenal dengan sebutan Piagam Madinah itu pada
intinya berisikan pokok-pokok perdamaian, perlindungan kepada non muslim dan
kewajiban-kewajibanwarga negara secara menyeluruh dan merata, baik Islam maupun
non Islam.
Keharusan Menerapkan Syariah Islam.
Oleh karena kesempurnaan yang terdapat dalam syariah Islam sudah
sedemikian mencakup semua dimensi hidup, maka doktrin syariah Islam tersebut
harus diterapkan dalam bentuk kehidupan nyata. Keharusan menjalankan syariah
Islam itu sebetulnya sudah banyak ditunjukkan dalam Alquran (QS Ahzab 21). Keteladanan
yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. melalui perilaku, sikap dan cara
berpikir merupakan implementasi konkret dari apa yang dikatakan syariah
Islam.
Maka sesungguhnya, kompleksitas persoalan kemasyarakatan yang
terkini sekalipun sudah terjawab dengan sendirinya oleh sejarah kehidupan yang
dijalani oleh Nabi Muhammad saw. Perilaku, sikap dan cara berpikir menyejarah yang
kemudian menjadi bagian dari butir-butir syariah Islam itu tidak saja bernilai
sebuah perjalanan hidup seorang junjungan umat Islam, tetapi lebih daripada itu
merupakan rujukan bagi upaya mengkonstruksi kehidupan yang lebih memihak pada
nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan dalam ayat lain, Allah swt. lebih tegas lagi dalam hal
keharusan menjalankan syriah Islam (Qs al-Ma’idah 44). Ayat ini dengan keras
mengancam orang-orang yang dengan serta-merta membangun institusi hukum tanpa
didasari dengan syriah Islam.
Inilah persoalan berat yang tengah melilit umat Islam Indonesia di mana masalah penerapan syariah Islam itu muncul bagai buah simalakama. Pada
satu waktu umat Islam harus memepertahankan keutuhan bangsa, tapi pada saat
sama pelaksanaan syariah Islam menjadi sebuah keharusan yang wajib dilakukan.
*Dosen STAI Al-Qolam Putat Lor
Gondanglegi Malang.
0 komentar:
Post a Comment