Oleh: Ahmad Atho' Lukman Hakim*
Sebelumnya kita jernihkan dulu istilah pembangunan sebelum melihat peran Islam. Kata pembangunan bukanlah kata yang steril dari nilai (value free). Kata pembangunan adalah kata yang sarat akan nilai (value loaded) dan juga sarat akan kepentingan. Diskursus tentang pembangunan sering kita dengar sebagai jargon dari pemerintahan rezim Orde Baru. Menurut Mansour Fakih (1996) pembangunan telah menjadi ideologi baru bagi Dunia Ketiga paska perang Dunia Kedua. Pembangunan dalam prakteknya dianggap sebagai satu-satunya tujuan bagi kebanyakan masyarakat Dunia Ketiga dan dijadikan alternatif yang harus dilakukan demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera secara ekonomis. Dengan mitos-mitos yang demikian pembangunan akhirnya diterima secara massif oleh Dunia Ketiga tanpa reserve.
Pembangunan adalah anak kandung dari modernisme yang berbasis pada revolusi ekonomi, politik dan filosofis. Revolusi filosofis didasarkan pada dua landasan ideologi; (i) sekularisasi atau pembebasan agama dari Negara, (ii) fisika sebagai paradigma humaniora (Abdul Munir Mulkhan :1997).
Modernisme yang mendasari pembangunan juga berakar pada paham individualisme, sebuah pandangan yang menekankan eksistensi dari manusia (agensi manusia). Berangkat dari paham inilah kemudian muncul teori ekonomi Adam Smith yang kemudian menjadi dasar pembangunan disektor ekonomi.
Pembangunan di sektor ekonomi ini kemudian menciptakan struktur timpang di mana Negara Pusat (core) mengeksploitasi habis-habisan Negara Pinggiraan (pheripery). Dalam teori dependensia, Negara Pusat akan terus mempertahankan dominasinya terhadap Negara Pinggiran, apapun caranya. Dari prespektif inilah kita bisa melihat pembangunan sebagai ideologi yang tidak netral, tetapi merupakan kepanjangan tangan dari kapitalisme yang nota bene merupakan proyek modernisme yang telah dibahas di atas.
Banyak kalangan tidak menyadari bahwa ada kepentingan terselebung di balik penciptaan konsep pembangunan, yaitu upaya untuk tetap mendominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial di Dunia Ketiga.
Formasi sosial penjajah dan terjajah akhirnnya kembali sejak naiknya Orba. Dengan kata lain naiknya Orba pada dasarnya mengembalikan kembali struktur kolonial secara tuntas dengan kebijakan liberalisasi ekonomi. Dimulailah fase neoimperialisme modern. Praktis watak struktural Indonesia dibangun atas dominasi kelas borjuasi asing dan elite nasional terhadap struktur politik, ekonomi, dan pengetahuan. Orba dengan depolitisasi, deideologisasi, dan developmentalisme, menghancurkan kembali untuk kesekian kalinya Indonesia. Krisis ekonomi tahun 1997 menuntaskan dan menyempurnakan penguasaan tersebut melalui pelembagaan neoliberalisme di Indonesia.
Lalu di mana Islam dalam merespons modernisme? Paling tidak ada beberapa tipologi; (i) menerima peradaban material Islam dan menolak pada sisi kulturalnya, (ii) menolak total terhadap modernisme baik material (peradaban material) maupun kulturalnya, (iii) menerima modernisme sebagai semangat, dan mengidentikkan dengan semangat Islam, (iv) melakukan kritik epistemologis terhadap bangunan pemikiran modernisme.
Pada tipologi pertama dapat kita jumpai pada fenomena keberagamaan fundamentalisme Islam. Mereka menolak segala aspek-aspek kulutral modernisme mulai dari cara berpikir yang materialistik, gaya hidup hedonis, sampai hal-hal kecil keseharian, seperti perayaan ulang tahun dan sebagainya. Mereka mengidealkan dan mempraktekkan gaya hidup Rasul masa lalu yang tercermin dari pakaian jubah (bercadar untuk wanita), membiarkan bulu jenggot yang panjang serta mencukur kumis dan simbol-simbol “keislaman” masa lalu yang lain. Namun mereka masih menerima aspek material dari modernisme seperti televisi, komputer, dll. Ekspresi panolakan terhadap modernisme ini terkadang mengambil bentuk yang radikal yang lebih sering disebut sebagai tindakan terorisme.
Tipologi kedua dapat mengambil contoh kelompok jama’ah Hijrah wa Tafkir di Mesir. Mereka menolak seluruh peradaban modernisme. Mereka mengungsi di daerah terpencil dan hidup sesuai dengan apa yang dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabat pada awal-awal Islam. Meski mereka fundamentalis tetapi mereka cenderung tidak konfrontatif terhadap nilai-nilai yang ada di luar diri mereka. Mereka lebih memilih menghindar dan menciptakan kehidupan sendiri sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.
Tipologi ketika dapat diajukan contoh adalah intelektual yang mengusung neo-modernisme Islam, seperti fazlurrahman, Nurcholish Madjid, syafi’i Maarif, dll. Menurut mereka semangat modernisme dan Islam mempunyai titik temu yakni pencerahan dan pembebasan manusia. Bahkan Nurcholish Madjid dalam suatu kesempataan pernah menulis Islam, Keindonesiaan dan Kemodernan yang intinya mengatakan bahwa agama Islam adalah yang sesuai dengan nilai-nilai modernitas. Kegagalan modernitas bagi mereka hanya terjadi pada tingkat agensi dan kurang melihat struktur yang tidak adil yang ditimbulkannnya. Berbeda dengan tipologi berikutnya.
Tipologi terakhir diwakili oleh Hassan Hanafi, Asghar Ali-Engeener, Abdurrahman Wahid dan lain-lain. Hassan Hanafi, misalnya, melakukan kritik epitemologis terhadap bangunan modernisme yang terbukti melakukan dehumanisasi dengan penindasan kultural politik dan ekonomi. Dia menawarkan cara berislam yang revolusioner dengan cara merombak cara berpikir sekaligus struktur yang tidak adil.
Dari tipologi ini dapat dilihat relasi Islam dan pembangunan. Tipologi pertama dan kedua cenderung menolak dan mengajukan tawaran alternatif dari model perubahan sosial yang diinginkan, meski terkadang naïf dan pada titik tertentu mereka tanpa sadar justru diperalat untuk mengokohkan dominasi kuasa Negara Pertama.
Sedang tipologi ketiga cenderung afirmatif sehingga kita tidak heran jika kelompok Islam yang mengaku modernis lebih maju dalam hal “menejemen” maupun keuangan sebab mereka dapat diterima oleh penguasa yang mengintrodusir ideologi pembangunan.
Tipologi keempat adalah mereka yang kritis terhadap berlangsungnya dominasi dan eksploitasi struktur yang timpang buah dari modernisme dan pembangunan. Abdurrahman Wahid, misalnya, ketika Orde Baru berkuasa sangat menentang Islamisasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu pada negara karena dianggap membela status quo. Bagi dia, islamisasi negara itu hanya akan melakukan pembenaran pembangunan yang tengah berlangsung oleh Islam. Akhirnya tidak ada kritisisme dari agama Islam itu sendiri sebab mereka sudah sibuk melakukan justifikasi teologis terhadap apapun yang menjadi kebijakan negara. Islam hanya sibuk mengkampanyekan KB, transmigrasi maupun program-program pemerintah yang lain. Ia hanya ditempatkan pada ruang-ruang formalitas yang tidak membahayakan –bahkan justru memperkuat—kekuasaan yang ada. Élan tarnsformatif dari Islam akhirnya lenyap. Maka tidak heran NU pada waktu kepemimpinan Gus Dur menjadi kekuatan transformator garda depan bagi perubahan sosial di Indonesia.
Demikianlah sekelumit gambaran tentang keterkaitan agama dan pembangunan. Dapat disimpulkan, Islam tidak menampakkan wajah yang tunggal ketika berhadapan dengan ideologi pembangunan. Jika tidak hati-hati Islam justru memperkuat kekuatan yang melakukan dehumanisasi yang dilakukan oleh kekuatan pasar dengan kedok pembangunan yang sekarang justru dilestarikan dengan formasi sosial berikutnya. Namun sebaliknya Islam juga mempunyai kekuatan yang revolusioner dalam menjawab tantangan sosial kontemporer jika kita tidak salah membaca tanda-tanda zaman (waskito) sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Gus Dur.
*Ahmad Atho' Lukman Hakim adalah salah satu khadim Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I
0 komentar:
Post a Comment