Friday, July 27, 2012

Melacak Term Korupsi Dalam Alquran

1:42 PM

(Upaya Merumuskan Fikih Anti Korupsi)

Oleh: Taufik Umar*


Abstrak
Problematika korupsi merupakan wacana yang tiada henti, terus mengalami dinamika. Hal itu pun lantas memicu pembacaan korupsi yang lebih komperhensif, tak terkecuali dalam hal ini Alquran. Secara konkret Alquran memang tidak menyebutkan term korupsi sebagai kesatuan hukum yang eksplisit, melainkan term-term tertentu seperti ghulûl, al-suht, al-dawl, hirâbah yang mengarah pada subtansi korupsi tersebut. Berangkat dari term-term tersebut pula, sebuah kerangka rumusan fikih anti korupsi mulai diperbincangkan sebagai bentuk epistemologi pencegahan dan juga pemberantasannya.
Keyword: Korupsi, Alquran, Fikih Anti Korupsi.

Latar Belakang Masalah
Problem sosial yang terus diperbincangkan tiada henti saat ini adalah kasus korupsi yang kian memprihatikan. Perbincangan problematika korupsi hampir menemui jalan buntu karena apa yang dijadikan langkah pemberantasan korupsi di negeri ini berbanding terbalik dengan terus meningkatnya indeks peringkat korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang lebih bersifat pesimis terhadap langkah pemberantasan korupsi di Indonesia, bahkan di antaranya sudah ada yang bersifat permisif. Selain itu, Korupsi juga merupakan kejahatan yang tergolong extra-ordinary crimes (kejahatan sangat berat), karena apa yang dihasilkan dari korupsi telah membawa akibat langsung, yaitu memperparah kemelaratan rakyat.

Berangkat dari problematika di atas, sebagian cendekiawan mulai melacak penegasan Alquran mengenai korupsi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menemukan epistemologi pemberantasan kasus korupsi mengingat bahwa Alquran adalah kitab suci yang memberikan petunjuk. Sementara itu, Alquran, yang masih bersifat global dan universal, menyisakan permasalahan yang harus dicermati dan dikaji secara komperhensif. Wacana korupsi, misalnya, masih berupa konsep yang implisit yang tidak diuraikan oleh Alquran secara tegas (baca: eksplisit). Term-term semisal  ghulûl, al-suht, hirabah, dan al-sarq merupakan term yang selama ini digunakan sebagai sebuah landasan perbincangan Alquran mengenai korupsi.


Akan tetapi, dalam tindak lanjutnya, langkah solutif yang diterapkan dalam memberantas perilaku korupsi banyak diaplikasikan melalui langkah supremasi hukum yang tidak mengecualikan perumusan fikih anti korupsi yang berangkat dari term korupsi dalam Alquran yang mengisyaratkan adanya bentuk hadd yang diterapkan bagi pelaku korupsi. Toh, walaupun apa yang penulis amati selama ini, dalam rangka pemberantasan perilaku korupsi melalui langkah supremasi hukum, dalam ranah praktis banyak sekali terjadi distorsi hukum yang menyebabkan kasus korupsi semakin mengakar kuat di masyarakat luas, namun hal itu lantas tidak meniscayakan bahwa hukum harus “dipincangkan”.

Sebagai upaya melangkah pada tatanan supremasi hukum yang mampu menjawab dinamika problematika korupsi, langkah merumuskan fikih anti korupsi terus diupayakan sebagai salah satu langkah solutif menuju penjegahan serta pemberantasan perilaku korupsi. Tentu yang harus diketengahkan, melalui tulisan ini, bukan maksud penulis menjustifikasi bahwa rumusan fikih anti korupsi ini sebagai bentuk supremasi hukum yang harus diterapkan, karena hemat penulis tentu hal itu akan memicu problematika lain di negeri yang multi agama ini. Harapan penulis melalui tulisan ini hanya sebagai sebuah nilai tawar terhadap dinamika wacana pemberantasan korupsi.

Definisi dan Sejarah Korupsi
Berbicara masalah korupsi, tentu tidak akan terlepas dari definisi dan sejarah korupsi sendiri. Kata korupsi berakar pada bahasa latin corruption atau dari kata asal corrumpere. Secara etimologi, dalam bahasa Latin kata corruption bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok.[1] Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata corrupt bermakna orang-orang yang memiliki korupsi berkeinginan melakukan kecurangan secara tidak sah untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. [2]

Secara terminologis banyak ahli memiliki definisi masing-masing. Robert Klitgaard mendefinisikan “corruption is the abuse of public power for private benefit”, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi juga berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah.[3]

Berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, Sayyid Husain al-Alatas menyimpulkan bahwa korupsi tidak akan lepas dari beberapa ciri khususnya, yaitu: (a) suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintahan, lembaga swasta atau masyarakat umum, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, (e) melibatkan lebih dari satu orang atau pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama, (g) terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (g) adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum, (i) menunjukkan fungsi ganda pada setiap individu yang melakukan korupsi.[4]

Sejarah mengenai korupsi sendiri memang cukup panjang. Menurut petunjuk Hans G. Guterbock, catatan kuno mengenai masalah ini menunjuk pada penyuapan terhadap hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi seringkali muncul ke permukaan sebagai masalah. Dalam sejarah Islam sendiri, pada era kekuasaan Khulafâ al-Râsyidîn tepatnya pada masa Umar bin al-Khattab juga telah ditemui upaya praktek korupsi. Hal ini dikuatkan dengan usaha Umar memerintah seorang sahabat yang bernama Maslamah untuk mengawasi harta kekayaan para pejabat pemerintah.[5]

Dengan melihat beberapa fakta sejarah tersebut, maka sebetulnya pada masa Arab ‘Era Alquran’ kasus korupsi sudah ditemukan. Namun, seperti penulis tuturkan di muka, Alqur’an tidak mengemukakan ayat korupsi secara eksplisit. Bahkan secara tegas Ahmad Baidlawi menyebut bahwa dalam Islam, dalam konteks ini Alquran, kasus korupsi tidak diuraikan secara jelas.[6] Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya penulis akan mencoba menguraikan interpretasi ayat-ayat yang mengandung term korupsi dengan memandang korupsi secara definitif pada konteks kekinian.

Term-term Korupsi dalam Alquran
Pada dasarnya, term korupsi dalam Alquran merupakan bentuk-bentuk tindakan pidana yang ada dalam Islam, namun penyebutan yang secara eksplisit tidak ditemukan di dalam Alquran, misalnya, term perampokan (al-harb), pencurian (al-sarq), term penghianatan (al-ghulul), dan lain sebagainya. Namun, melihat perkembangan definisi korupsi yang semakin bervariatif, maka term-term tersebut juga mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan, yaitu ketika term-term tersebut masuk dalam ranah kajian korupsi. Alquran menjelaskan term-term tersebut sebagai berikut:

1. Term Ghulûl (Penghianatan)

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Al-Maraghi dalam tafsirnya, Tafsir al-Maraghi, menjelaskan bahwa kata ghulûl dalam ayat itu bermakna ‘al-akhdz al-khafiyyah’, yaitu mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, semisal mencuri sesuatu. Kemudian makna ini sering digunakan dalam istilah mencuri harta rampasan perang sebelum didistribusikan.[7]
Rasulullah sendiri memperluas makna ghulûl menjadi dua bentuk: (a) Komisi, yaitu tindakan mengambil sesuatu penghasilan di luar gaji yang telah diberikan. Tentang hal ini Nabi menyatakan “Siapa saja yang aku angkat dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi (ghulûl).HR. Abu Daud. (b) Hadiah, yaitu pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang melekat pada dirinya. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda “Hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulûl)”. HR. Ahmad.[8]

2. Term ad-Dalw (Pengaruh Korup)

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Ayat tersebut, jika dibaca dalam konteks korupsi, mengandung makna yang sangat tegas melarang memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh agama (al-bâthil). Makna yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menyuap hakim, kadi, dan lain sebagainya yang memiliki kekuasaan untuk membebaskan sang penyuap dari tuntutan sesuatu.[9]

Asbab al-nuzul ayat tersebut dijelaskan Ibn Katsir dalam tafsirnya melalui khabar dari jalur Ibn Abbas, dia berkata: “Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang menanggung hutang, sedangkan orang yang memberi hutang tidak mempunyai bukti yang kuat (ketika ingin menagih hutang tersebut). Maka laki-laki yang mempunyai hutang tersebut mengingkari hutangnya dan mengadukan perkaranya pada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya berada dalam pihak yang salah.” Setting historis inilah yang kemudian direspons oleh Alquran dengan turunnya ayat tersebut yang secara tegas melarang seseorang untuk memakan harta orang lain dan memperjuangkan sesuatu yang batil.[10] Karena itu, Islam melarang keras membawa urusan harta benda kepada hakim bila hal yang melatarbelakangi adalah kebatilan.

3. Term al-Suht (Penyuapan)  

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Term al-suht dalam ayat tersebut secara leksikal berasal dari kata sahata yang memiliki makna memperoleh harta yang haram.[11] Hal senada juga dijelaskan oleh Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah harta haram.[12] Ibn Khuzaimandad, seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah bila seseorang makan karena kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya. Jika kembali dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi seperti yang terjadi pada konteks kekinian. Di mana praktek suap menyuap orang yang memiliki kekuasaan merupakan bagian dari bentuk praktek korupsi yang telah menjamur di masyarakat. Banyak yang belum menyadari bahwa suap (al-suht), baik yang menerima maupun yang memberi, termasuk dalam tindakan korupsi.

4. Term al-Hirâbah (Perampokan)

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Term berikutnya yang terindikasi sebagai term korupsi dalam Alquran adalah hirâbah. Menjelaskan hal tersebut, Hakim Muda Harahap  menguraikan bahwa arti lain dari kata yuhâribûna apabila dirunut ke asal bentukan awalnya dari tsulâtsi mujarrad maka ia bermakna seseorang yang merampas harta dan meninggalkannya tanpa bekal apa pun.[13] Hal yang sama juga datang dari pandangan sebagian ahli fikih mengenai kata hirâbah. Menurut mereka orang yang melakukan tindakan hirabah sebagai qâthi’u al-tharîq atau penyamun dan al-sâriq al-kubrâ atau pencurian besar. Dengan kata lain, makna hirâbah di sini adalah seseorang yang merampok harta orang lain. Pengertian seperti inilah yang kemudian sering digunakan oleh ulama untuk memaknai kata yuhâribûna dalam QS. Al-Maidah [5]: 33 tersebut.[14]

5. Term al-Sariqah (Pencurian)

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang mencuri, maka datanglah orang yang kecurian itu dan berkata pada Nabi saw. Wahai Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami”. Maka wanita itu berkata “Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “Potonglah tangannya!” Kaumnya berkata, “Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar.” Maka Nabi Saw. pun bersabda, “Potonglah tangannya!” Maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertobat?” Jawab Nabi saw,, “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian turunlah QS. Al-Maidah [5]: 38 tersebut.[15]

Kata saraqa sendiri secara etimologi bermakan “akhdzu ma li al-ghairi khufyatan” (mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi).[16] Sedangkan secara terminologis kata ‘mencuri’ (al-sarq) terlebih dahulu dibagi menjadi dua bagian, yaitu pencurian besar dan kecil. Pencurian besar merupakan arti lain dari term hirabah sebagaimana penulis jelaskan pada term sebelumnya. Sedangkan definisi tentang pencurian kecil, beberapa ulama memiliki makna yang bervariasi, yaitu (a) mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang cukup terpelihara menurut kebiasaannya, (b) mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dengan jalan menganiaya, (c) mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang bukan diamanatkan padanya.[17] Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-sarq adalah mengambil harta orang lain yang bukan miliknya dengan jalan sembunyi-sembunyi tanpa kerelaan pemiliknya.

Fakta Empiris Tindakan Korupsi di Indonesia
Sejarah korupsi di Indonesia bukanlah wacana yang baru. Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa perilaku korup di negeri ini sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan yang tersebar di Nusantara. Pada waktu itu, perilaku korupsi diimplementasikan dalam bentuk upeti yang diberikan kepada pejabat atau pamong daerah setempat. Sehingga tidak heran hasil survei yang dilakukan oleh Transparancy Internasional (TI), di mana  menurut TI fakta perkembangan korupsi di Indonesia per 2010 dapat dilihat dari angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2010 yang tetap pada angka 2,8 atau di peringkat 110 dari 178 negara yang disurvei. Posisi IPK sama dengan 2009. Maka dengan ini, bisa dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia tanpa progres.[18]

Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mencatat, selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak kurang dari Rp. 103 Triliun dana pembangunan dirampok. Karena data itu merupakan hasil audit, jumlah itu baru sampling. Oleh karenanya, jumlah itu masih terus bisa bertambah.[19] Selain BPK, statistik lain yang dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyatakan, pada 2010 Indonesia adalah Negara paling korup di Asia Pasifik. Hasil survei PERC menyatakan, skor Indonesia adalah 9,27 (dari skala0-10) —Semakin besar skornya, semakin koruplah sebuah negara. Dengan demikian, korupsi Indonesia bahkan lebih buruk dibanding beberapa negara di Asia Tenggara semisal Kamboja (9,10), Filipina (9,0), dan Thailand (8.0).[20]

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang semakin meningkat[21] dan kemudian cenderung stagnan dalam pemberantasannya diasumsikan karena supremasi hukum yang tumpul terhadap penguasa. Boleh jadi hukum memiliki taring akan tetapi korupsi terus mengalami perkembangan dan lebih dilakukan secara sistematis. Oleh karenanya wacana pemberantasan korupsi harus terus diperbincangkan secara intensif, dalam hal ini, salah satu tawarannya apa yang akan segera penulis kemukakan.

Merumuskan Fikih Anti Korupsi
Perumusan yang dimaksud di sini adalah suatu proses atau cara merumuskan fikih anti korupsi. Melalui perumusan ini diharapkan terbentuk atau paling tidak tergambar suatu rumusan fikih yang menentang semua tindakan yang masuk dalam kategori korupsi. Usaha ini perlu dilakukan, mengingat semenjak periode awal Islam hingga dewasa ini di dalam kitab-kitab fikih klasik belum ditemukan suatu rumusan yang jelas tentang korupsi.[22] Akan tetapi substansi-substansi yang tercakup dalam pengertian korupsi telah banyak dibicarakan oleh para ulama bahkan sebagaiman Alquran secara implisit telah menyinggungnya secara umum atau garis besarnya yaitu dengan menggunakan beberapa term di atas.

Oleh karena itu, selain mendasarkan kepada nash-nash alquran dan sunah, maka perumusan fiqh anti korupsi ini haruslah mengacu kepada paling tidak dua kerangka kaidah fikih, yaitu, pertama:

الأمرالأعظم من المصلحة والمفسد
(perkara dominan dari pertimbangan kemaslahatan dan kemafsadatan)

Kaidah ini senada dengan
 درأ المفاسد أولى من جلب المصالح
(mencegah bahaya lebih utama dari pada menarik datangnya kebaikan). Terlihat bahwa tindakan korupsi memiliki sisi maslahah dan mafsadatnya. Sisi maslahahnya misalnya ialah perbuatan itu dapat menguntungkan si pelaku, keluarga, atau kelompok-kelompok tertentu yang menikmati fasilitas atau hasil-hasilnya. Ini jelas merupakan suatu maslahah duniawiyah. Akan tetapi sisi kemafsadatannya justru lebih besar karena dengan korupsi maka berarti mengorbankan kepentingan orang banyak. Ini merupakan suatu kezaliman, pengkhianatan yang berarti menyia-nyiakan kepercayaan orang banyak.[23]

Kaidah kedua adalah:
ما تقم به الحياة الدنيا للحياة الأخرة
(apapun yang dilakukan di dunia ini haruslah dikaitkan dengan konskuensinya di akhirat). Sejauh ini tindakan korupsi telah mengorbankan kemaslahatan ukhrawiyah, suatu nilai yang tidak dapat dilepaskan ketika melakukan setiap perbuatan menurut ajaran Islam.[24] Tentu hal itu tidak bisa dipisahakan antara kehidupan materialistis dengan sikap hidup yang hedonis dan glamor, sehingga pada dimensi-dimensi tertentu nilai-nilai ukhrawi mulai terlupakan.

Selama ini, apa yang diupayakan oleh ahli fikih (fuqaha) merupakan langkah dalam melegitimasi setiap gerak-gerik dimensi kehidupan agar selaras dengan tujuan maqâshid al-syarî’ah. Sebagaimana telah masyhur, tujuan utama syari’at Islam (maqâsid al-Syarî’ah) ialah upaya untuk menjaga dan melindungi dimensi penting dari manusia.[25] Perlindungan ini dijelaskan oleh Asy-Syatibi  dalam Al-Muwâfaqât memiliki lima tujuan yakni perlindungan terhadap agama (hifdz ad-dîn), perlindungan terhadap jiwa (hifdz an-nafs), perlindungan terhadap akal (hifdz al-‘aql), perlindungan terhadap keturunan (hifdz an-nasab), dan perlindungan terhadap harta (hifdz al-mâl).[26]

Tindakan korupsi jelas merupakan penyelewengan terhadap tujuan kelima, yakni perlindungan terhadap harta (hifdz al-mâl). Apabila contoh yang pepular perbuatan melawan tujuan perlindungan terhadap harta (hifdz al-mâl) adalah mencuri milik perorangan, maka korupsi sebagai kejahatan mencuri harta milik bangsa dan negara lebih layak lagi untuk dicatat sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap prinsip perlindungan terhadap harta (hifdz al-mâl). Korupsi bukanlah pencurian biasa dengan dampaknya yang bersifat individu akan tetapi korupsi merupakan bentuk pencurian besar dengan dampaknya yang bersifat sosial. Bahkan ketika korupsi sudah merajalela dalam suatu negara sehingga negara itu nyaris bangkrut dan tak berdaya dalam menyejahterakan kehidupan rakyatnya, tidak mampu menyelamatkan mereka dari ancaman gizi buruk dan busung lapar yang mendera, maka korupsi lebih jauh dapat dianggap sebagai ancaman bagi tujuan syari’at dalam melindungi jiwa manusia (hifdz an-nafs).

Konsep Pidana Islam
Hukum Islam/fikih menawarkan berbagai solusi dalam mengatasi tindakan korupsi ini, di antaranya pencegahan, pemberian sanksi hukum dan sanksi moral. Dalam hukum pidana Islam yang tertuang dalam kitab suci Alquran dikenal tiga sistem pemberian sanksi (jarîmah), yaitu:

Jarîmah Hudûd
Hudûd berasal dari kata hadd yang menurut bahasa berarti batas-batas yang dilarang untuk dilanggar, dalam hal ini ialah perbuatan-perbuatan kejahatan yang menjangkau hak Allah atau kepentingan umum, misalnya mencuri, murtad.

Jarîmah Qishâsh
Qishâsh menurut bahasa berarti memotong, sedangkan menurut istilah berarti hukuman bagi orang-orang yang melakukan kejahatan, dalam hal ini perbuatan-perbuatan kejahatan yang menyangkut hak manusia, misalnya membunuh. Yang membedakannya dengan hudûd ialah kalau hudûd menyangkut hak Allah, sedangkan Qishâsh menyangkut hak manusia.

Jarîmah Ta’dzîr
Ta’dzîr berasal dari kata ‘azzara yang menurut bahasa berarti mencela. Sedangkan menurut istilah, ta’dzîr ialah peraturan larangan yang perbuatan-perbuatan pidananya dan ancaman hukumannya tidak secara tegas disebutkan dalam alquran. Akan tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim/penguasa.[27]

Lalu pertanyaanya Sanksi hukum apa yang dapat diterapkan bagi para koruptor? Suatu hukuman diancamkan kepada seorang pelaku tindak pidana (jarîmah) agar orang banyak tidak turut melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu pada dasarnya pelarangan suatu perbuatan pidana dan penetapan hukum-hukumnya adalah untuk memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat, atau dengan kata lain  untuk kemaslahatan umum (maslahatul ummah).

Sanksi hukum qishâsh tentu saja tidak dapat diberlakukan, sebab korupsi berbeda dengan tindak pidana pencurian yang telah jelas hukumnya dalam nash (Alquran) meskipun sama-sama merupakan pelanggaran terhadap Hifdzul mâl akan tetapi korupsi tidak ditemukan hukumnya dalam nash. Oleh karena itu, terhadap tindak pidana korupsi ini tidak dapat dikenakan hukuman Qishâsh/hadd. Namun demikian, bukan berarti tindak pidana korupsi bisa lepas dari hukuman, karena perbuatan tersebut jelas-jelas telah mengganggu kemaslahatan umum, sehingga dapat dikategorikan sebagai jarîmah ta’dzîr, yang dalam pelaksanaanya mungkin menyamai atau bahkan melebihi sanksi hukuman Qishâsh atau hadd.[28]

Syara’ tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap jarîmah ta’dzîr tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman dari yang seringan-ringannya kepada yang sampai seberat-beratnya. Dalam hal ini penguasa diberi kekuasaan untuk menentukan hukuman-hukuman sesuai kepentingan masyarakat, dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syari’at dan prinsip-prinsip yang umum.

Dengan demikian, semua undang-undang dan peraturan atau hukuman-hukuman yang telah diberlakukan pemerintah Indonesia terhadap semua tindak pidana di antaranya korupsi sebagimana yang tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan yang telah disempurnakan oleh UU Nomor 20 Tahun 2001 yang hal ini tergolong ke dalam jarîmah ta’dzîr, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at dan dapat mewujudkan maslahatul ummah, bisa dikatakan telah sesuai dengan prinsip ta’dzîr dalam hukum pidana Islam, yang pada prinsipnya memang merupakan hak pemerintah dalam rangka menjaga kemaslahatan masyarakat yang dipimpinnya.

Salah satu hal terpenting yang harus ditegakkan dalam penegakan hukum Islam adalah memutuskan perkara berdasarkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Apabila seorang penegak hukum tidak memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, maka ia akan memutuskan perkara sesuai dengan pertimbangan hawa nafsu, pribadi maupun kelompok, sehingga keputusan yang diambil merugikan salah satu pihak yang berperkara. Oleh karena itu moralitas utama seorang penegak hukum pidana Islam harus dibangun diatas prinsip-prinsip keadilan sebagaimana firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Oleh karena itu, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, apakah dilakukan oleh pejabat (pelaku tindak pidana korupsi) yang “separtai” atau rakyat kecil. Setiap individu mempunyai nilai yang sama dihadapan hukum. Disisi lain, rakyat wajib menaati pemerintah, karena agama telah memerintahkan hal tersebut selama dalam hal yang ma’ruf. (Lihat QS An-Nisa’ ayat 59).

Selain hukum pidana, juga terdapat sanksi moral dilakukan dengan terus menerus menanamkan unsur moralitas kepada koruptor, melalui pendidikan atau memberi pertimbangan khusus menyangkut suatu kedudukan dalam masyarakat dan jabatan dalam pemerintahan. Sebab, orang yang layak dijadikan pemimpin adalah orang yang dalam setiap tindakanya selalu memperhatikan kepentingan orang banyak, sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
 تصرّف الاما م منوط با لمصلحة
(Kebijakan pemimpin sesuai dengan kemaslahatan rakyat yang di pimpinnya).

Kesimpulan
Korupsi sebagai sebuah tindak kejahatan extra-ordinary crimes memang tidak disebut secara eksplisit oleh Alquran. Akan tetapi beberpa term seperti ghulûl, suht, sarq, hirâbah, dan lain sebagainya ditinjau dari konteks dan sudut pandang interpretasi yang ditelusuri maka beberapa term tersebut dirasa cukup mewakili gagasan Alquran mengenai tindakan korupsi. Oleh karenanya, apa yang dihasilkan dari pengamatan korupsi dalam Alquran diharapkan bisa memberikan kontribusi dalam merumuskan langkah solutif untuk mencegah dan memberantas tindakan korupsi tersebut.

Dengan demikian, harapan penulis melalui tulisan ini, supremasi hukum yang telah dilaksanakan selama ini perlu untuk kembali diperbaiki dengan melihat sosial justice. Oleh karenanya supremasi hukum yang terkesan “bobrok” selama ini perlu udara segar adanya sebuah rekontruksi, yang besar harapan penulis, rumusan fikih anti korupsi ini juga dapat dijadikan sebagai tawaran langkah-langkah solutif pemberantasan korupsi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai pluralitas.

*Taufik Umar adalah alumnus PP. Raudtalut Ulum I. Sekarang melanjutkan studinya di Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

[1] Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, (Jakarta: Ufuk Press, 2011), hlm. 24.
[2] Jonathan Crowther (ed), Oxford: Advanced Learners Dictionary (1995).
[3] Robert Klitgaard dkk., Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah terj. Hermoyo(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 3.
[4] S.H. Al-Alatas, Korupsi; Sifat, Sebab dan Fungsi terj. Nirwono, (Jakarta; LP3ES, 1987), hlm. 2.
[5] Muhammad Husain Haikal, Sayyidina Umar bin khattab, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2003), 665.
[6] Ahmad Baidlawi, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli, 2009, hlm. 8.
[7] Al-Maghari, Tafsir Al-Maghari, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 98.
[8] Ahmad Baidlawi, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli, 2009, hlm.  4.
[9] Al-Maghari, Tafsir Al-Maghari, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 255.
[10] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Karim,  Terj. Salim Bahraesi dan Said Bahraesi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), Jilid II, hlm. 226.
[11] Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm.  614.
[12] Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, Juz III, (Bairut: Dar al-Ilmiyyah, 1968),  hlm. 57.
[13] Hakim Muda Harahap, Ayat-ayat Korupsi, (Yogyakarta: Gama Media, 2009), hlm. 80-82.
[14] Lihat misalnya dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 384.
[15] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Karim,  Terj. Salim Bahraesi dan Said Bahraesi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), Jilid II, hlm. 94.
[16] Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm.  628.
[17] Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 375.
[18] Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, (Jakarta: Ufuk Press, 2011), hlm. xiii.
[19] Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melansir bahwa semenjak 2004 hingga 2008 tercatat ada lebih dari 31 laporan tindak pidana korupsi yang masuk selama 2008 saja, tercatat dalam satu hari ada 37 laporan yang masuk, dengan kerugian negara sekitar 1 miliar untuk setiap laporan. Jika dikalikan, maka dalam sehari 37 miliar uang negara melayang.
[20] Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, (Jakarta: Ufuk Press, 2011), hlm. xiii-xiv.
[21] Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melansir bahwa semenjak 2004 hingga 2008 tercatat ada lebih dari 31 laporan tindak pidana korupsi yang masuk selama 2008 saja, tercatat dalam satu hari ada 37 laporan yang masuk, dengan kerugian negara sekitar 1 miliar untuk setiap laporan. Jika dikalikan, maka dalam sehari 37 miliar uang negara melayang.
[22] Duski Ibrahim, “Perumusan Fikih Anti Korupsi” dalam Suyatno,ed, Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama, (Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm. 128.
[23] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh, I, (Surabaya: Kalista, 2006), hlm. 237.
[24] Duski Ibrahim, “Perumusan Fikih Anti Korupsi” dalam Suyatno,ed, Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama, (Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm. 137-138.
[25] Lengkapnya, tujuan tersebut menurut Al-Syatibi ada tiga. Pertama. Tujuan yang sifatnya paling utama (dlaruriyyah), yaitu sesuatu yang harus ada demi tegaknya kehidupan manusia. Kedua. Tujuan yang sifatnya kebutuhan (hajjiyyah), yaitu segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan diri dari kesulitan. Ketiga. Tujuan yang sifatnya kesempurnaan/kebaikan (tahsiniyyah), yaitu mempergunakan segala yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang semua ini dicakup oleh bagian makarim al-akhlak. Lihat Al-Syatibi, Al-Muwaffaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz II, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 7-9.
[26] Al-Syatibi, Al-Muwaffaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz II, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 9.
[27] Anwar Harjono,. Hukum Islam; Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 158.
[28] Duski Ibrahim, “Perumusan Fikih Anti Korupsi” dalam Suyatno,ed, Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama, (Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm. 139.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top