Oleh: Muhammad Hilal*
[Judul: Tafsir Fenomenologis Kritis; Interrelasi Fungsional antara Teks dan Realitas | Penulis: M. Fauzan Zenrif | Penerbit: UIN-Maliki Press | Tahun: 2011 | ISBN: 978-602-958-406-6]
Terdapat sebuah anekdot yang punya kaitan dengan tafsir. Alkisah, ada tiga orang melihat sebuah kursi di sebuah ruangan. Penglihatan mereka ini bukanlah sekedar cerapan indera sepintas kilas, melainkan sudah diteguhkan melalui langkah-langkah dan prosedur ketat sehingga secara ilmiah layak disebut “nyata”. Pada saat yang sama, terdapat sebuah teks suci yang mengatakan bahwa benda dalam ruangan itu bukanlah sebuah kursi, melainkan sebuah lemari. Terhadap benturan teks suci dengan hasil pengamatan mereka, tiga orang itu mengambil sikap berbeda-beda.
(1) Mencampakkan semua hasil pengamatannya dan menerima firman kitab suci secara mutlak. Ini bukan urusan remeh-temeh. Kalau sudah kitab suci yang bicara, sikap yang paling pantas diambil adalah patuh tanpa protes.
(2) Membiarkan infromasi dari indera dan informasi yang diperoleh melalui teks suci sebagai sama-sama benar. Artinya, pengamatan ilmiah dan informasi teks suci memiliki wilayah garapan yang beda-beda. Yang satu tidak boleh mengintervensi kinerja yang lain.
(3) Mempertahankan pengalaman inderanya dan sekaligus menerima informasi teks suci tadi secara lain, yakni tidak secara harfiah. Dengan demikian, perhatiannya kemudian mengarah pada teori-teori tafsir.
Hubungan anekdot ini dengan resensi lebih lanjut akan dijelaskan nanti.
Sekilas Tentang Buku.
Buku ini adalah hasil dari tugas akhir penulisnya di jenjang doktoral IAIN Sunan Ampel Surabaya yang kemudian dibukukan. Berhubung ini adalah tugas akhir, bisa ditebak bagaimana karakter dan model tulisannya. Penulisnya mencoba membenturkan teks suci mengenai kepemimpinan dengan realitas sosial berupa pola kepemimpinan perempuan dalam keluarga Bani Ismail di sebuah desa di Malang dan Madura, Jawa Timur.
Dalam pandangan penulis buku ini, seorang perempuan bernama (akronim) Nyai Mm kerap kali memainkan peran utama dalam kepemimpinan keluarga itu. Peran itu terutama berupa (1) hak mengambil keputusan dalam meredakan konflik keluarga dan (2) hak menentukan jodoh bagi anggota keluarga.
Memang cuma dua peran ini saja yang direkam oleh penulis buku ini sebagai data penelitiannya, namun kenyataan sosial ini menimbulkan problem dalam kaitannya dengan tafsir teks agama sebab dalam Alquran dan hadis terdapat indikasi yang melarang keberlangsungan fenomena seperti itu. Ini adalah bidang tafsir, tentu saja, dan penulisnya memulai bukunya untuk menawarkan penyelesaian problem itu.
Teks keagamaan yang dimaksud adalah Qs. An-Nisa’: 34:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….
Dan sebuah hadis:
Tak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan…. [Bukhari, Nasa’I dan Turmudzi]
Dua teks agama ini telah menjadi pedoman para ulama tafsir dan fikih terdahulu untuk mendukung pandangan bahwa kepemimpinan keluarga berada di tangan kaum lelaki, entah secara mutlak maupun secara general saja, entah secara wahbî (didapat begitu saja) ataupun secara muktasab (didapat melalui usaha). Keduanya, demikian penulis buku ini lebih lanjut, telah didekati dengan pendekatan yang kurang tepat—sekali lagi, penulisnya berkata kurang tepat dan bukan berarti salah—sehingga telah melanggengkan struktur sosial yang patrialkhal dan cenderung abai dengan kenyataan sosial yang berlangsung di lapangan.
Kenyataan di lapangan sebagaimana terlihat dalam pengamatan penulis buku ini justru berkata sebaliknya. Perempuan bernama Nyai Mm ini mampu menjadi pemimpin dan, bahkan, kepemimpinannya lebih jitu ketimbang yang pernah dilakukan oleh kaum lelaki.
Dengan demikian, langkah selanjutnya yang penulis buku ini ambil adalah menawarkan pendekatan baru yang lebih ramah realitas, dan dia menamakannya Fenomenologi Kritis. Dengan pendekatan baru ini diharapkan bahwa teks tidak kehilangan kharismanya di hadapan pembaca dan, pada saat yang sama, konteks yang sedang dihadapi pembaca juga terakomodasi dengan memadai.
Penulis melacak pengertian ayat ke-34 surat An-Nisa’ itu kata per kata, seperti ‘lelaki-perempuan’ (rijâl-nisâ’), ‘pemimpin’ (qawwâmûn), ‘menafkahkan’ (bimâ anfaqû), ‘unggul’ (fadldlala), dll. Dia lakukan analisis, relasi antara ayat ini dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya, pemaparkan pandangan para pakar serta membandingkannya satu sama lain. Ini adalah adalah pekerjaan melelahkan. Penulis telah melakukannya dengan seksama.
Penulisnya menemukan bahwa kata rijâl-nisâ’ mau tidak mau harus dipertahankan makna haqîqî-nya, menentang tawaran Muhammad Imarah, seorang pemikir Muslim Mesir kontemporer, untuk memaknai dua kata tersebut dengan makna majâzî. Kemudian, kita bisa membaca mplikasi lebih lanjut dari pandangan di atas bahwa potongan ayat “Ar-rijâl qawwâmûn alâ an-nisâ’….” memang mengarah pada pengertian kepemimpinan laki-laki di atas perempuan dalam keluar, namun cuma berlaku dalam keluarga batih (nuclear family), yakni lingkup keluarga kecil yang hanya terdiri dari orang tua dan anak. Sedangkan dalam lingkup keluarga yang lebih besar (extended family), ayat ini tidak bisa serta-merta diberlakukan secara mutlak sebab kerap ditemukan kenyataan bahwa perempuanlah yang memegang kendali kepemimpinan, sebagaimana yang diperankan oleh Nyai Mm ini dalam keluarga besar Bani Ismail.
Sedangkan dalam hadis riwayat Bukhari di atas, penulis menemukan bahwa pemaknaan yang selama ini dilakukan selalu terputus dari keterkaitannya dari dengan hadis lain, yakni:
Setiap kalian adalah pemimpin, makan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Perempuan adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya, dia akan diminta pertanggujawaban atas mereka. Budak adalah pemimpin atas harga tuannya, dia akan diminta pertanggungjawaban atasnya. Ingatlah, sesungguhnya setiap kalian adalah adalah pemimpin, oleh karenanya setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya [Bukhari].
Jika keterputusan itu yang terjadi, maka yang diperoleh akan seirama dengan pengertian potongan ayat An-Nisa’:34 di atas. Padahal, agar lebih akomodatif dengan realitas sosial yang berlangsung di lapangan, kedua hadis itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Beberapa Pertanyaan Kritis.
Penulis mengatakan bahwa potongan ayat “qawwâmûn alâ an-nisâ’” tidak bisa serta-merta diterapkan dalam lingkup extended family sebab terkadang di situ perempuanlah yang memimpin. Alur pikiran ini menyatakan bahwa konteks extended family memiliki kemungkinan yang tidak dimiliki oleh nuclear family, yaitu kepemimpinan perempuan. Konteks realitas sosial inilah yang menjadikan potongan ayat di atas “layak” mendapat tafsir baru yang berbeda dengan tafsir yang selama ini berlaku. Padahal, kenyataan di lapangan terkadang berbicara lain. Bukan tidak mungkin dalam nuclear family perempuan yang akan memegang kendali pimpinan, bahkan dengan kriteria yang buku ini sebutkan. Pertanyaan menjadi apakah kenyataan ini juga akan mempengaruhi tafsir atas potongan ayat tersebut sehingga ia juga berlaku dalam nuclear family?
Fenomenologi-Kritis adalah sebutan untuk pendekatan tafsir yang penulis buku ini tawarkan. Dengan Fenomenologi-Kritis ini, penulisnya berusaha menemukan cara tafsir baru yang berbeda dengan cara tafsir hasil tawaran para pemikir Islam kontemporer, sebagaimana dia ungkapkan:
“Beberapa pendekatan studi al-Qur’an kontemporer, seperti Arkoun dengan pendekatan historis-antropologis, Nasr Hamid Abu Zayd dengan pendekatan dan analisis hermeneutik, Syahrur dengan pendekatan linguistic dan analisis semantic-sintagmatis, Fazlur Rachman dengan pendekatan sosio-historis, Hassan Hanafi dengna pendekatan faktual-empirik, dan Riffat Hassan dengan pendekatan historis-kontekstual, telah melahirkan pemikiran tafsir yang inovatif, namun demikian, corak pemikiran yang hanya dilandaskan pada pendekatan keilmuan modern telah melahirkan kontroversi, hujatan, dikeluarkan dari universitas tempat mengajar, bahkan telah mengancam jiwa dan keluarganya.” (hlm. 9-10).
Namun, di mana letak perbedaannya tampaknya tidak disebutkan oleh penulisnya. Perbedaan yang sempat penulis munculkan cuma dengan model Muhamed Arkoun saja (hlm. 266-267).
Kemudian, mengenai pendekatan tafsir yang ditawarkan buku ini, saya merasa adalah sangat penting untuk menyebutkan perbedaan Tafsir Fenomenologi-Kritis ini dengan model Hassan Hanafi. Kita tahu bersama, model pembacaan Hassan Hanafi adalah juga pembacaan fenomenologi. Semua itu tertuang dalam trilogi disertasinya yang berjudul Les méthodes d'exégèse: essai sur la science des fondements de la compréhension "Ilm Ushûl al-fiqh" (1965), L'exégèse de la phénoménologie: l'état actuelle de la méthode phénoménologique et son application au phénomène religieux (1980), dan La phénoménologie de l'exégèse: essai d'une herméneutique existentielle à partir du Nouveau Testament (1988).
Sayang sekali, buku ini sama sekali tidak menyinggung trilogi fenomenologi Islam dari Hassan Hanafi tersebut. padahal, masih menurut saya, dengan membandingkan tafsirnya dengan tafsir Hanafi akan memperkuat otoritas dan orisinalitas dari pemikiran yang dia tawarkan.
Penutup.
Lebih dari itu semua, buku ini layak diapresiasi sebagai sebuah sumbangan berharga dalam khazanah studi tafsir dan hadis di dalam negeri. Apa yang buku ini utarakan mempertegas posisi penulisnya dalam anekdot yang disebutkan di atas, yakni posisi orang ketiga. Dengan demikian, penulisnya telah menempatkan dirinya dalam barisan yang sama dengan para pemikir kontemporer seperti Mohamed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhamed Abed Al-Jabiri, dll.
Yang tidak boleh dilupakan, penulisnya adalah seseorang yang dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Desa Ganjaran berikut segala kompleksitasnya. Buku ini, tentu saja, telah menambah satu koleksi literatur yang memperkaya gambaran tentang tradisi menulis di lingkungan Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran; sesuatu yang tampaknya belum mendapat perhatian memadai, namun menampakkan gejala-gejala kebangkitan.[]
*Muhammad Hilal
adalah Kandidat Magister Filsafat UGM
0 komentar:
Post a Comment