Thursday, June 12, 2014

Pulang

10:03 PM


photo credit: here.

Oleh: Irham Thariq



Menyitir tulisan teman: ciri masyarakat industri adalah mereka merantau dan mempunyai kampung halaman. Hanya untuk pulang, seorang kadang menunggu cuti panjang atau saat momen lebaran tiba. Kata pulang pun menjadi barang langka diwujudkan.

Pulang bagi masyarakat industri ini sebenarnya tidaklah seberapa jika dibandingkan makna Pulang dalam novel Leila S Chudori. Dalam novel wartawan senior Majalah Tempo ini, hanya untuk pulang, seorang membutuhkan puluhan tahun cucuran darah dan derai air mata. Itu hanya untuk mewujudkan kata yang bisa diucapkan hanya dalam waktu dua detik ini.

Momen pulang yang berharga dalam novel itu tergambar dari perjuangan Dimas  Suryo, seorang eksil politik yang tinggal di Paris Prancis. Saat usianya sudah senja, Dimas yang dilarang masuk Indonesia oleh pemerintah Orde Baru mulai khawatir: takut tidak bisa mati di tanah kelahirannya.

Saat Orde Baru tumbang, dalam novel yang dibuat setelah selama enam tahun itu, dikisahkan, Dimas bisa masuk Indonesia dan dia berhasil mati serta dikubur di Jakarta. Dimas memang aneh, cita-citanya sangatlah sederhana, sesederhana mengucapkan kata pulang.

Soal pulang, seorang teman mempunyai cerita menarik. Teman saya itu mempunyai seorang teman yang berumah di Surabaya dan bekerja di Jakarta. Dia melakukan hal aneh saban akhir pekan. Bagaimana tidak, hanya untuk berkumpul dengan keluarga akhir pekan, orang tadi setiap akhir pekan selalu pulang dari Jakarta ke Surabaya.

Jangan salah, dia tidak menggunakan pesawat terbang melainkan hanya dengan kereta api yang membutuhkan perjalanan sekitar 13 jam. Jumat sore pulang, minggu sore sudah kembali lagi ke Jakarta dengan kereta ekonomi. Karena sudah terjadwal pulang saban pekan, orang tadi sudah berlangganan tiket selama enam bulan.

Ya itulah masyarakat modern, apa yang dilakukan selalu mengandung keanehan yang terkadang sudah tidak lagi dianggap aneh. Ini karena pola pikir masyarakat modern yang selalu mempunyai kampung halaman sudah sedemikian terpatri. Kampung halaman selalu dijadikan tempat kedua, dan kota jadi primadona untuk mengeruk rupiah. Ah, namanya saja masyarakat industri.

Hanya saja, keanehan masyarakat industri itu masih dapat ditolerir jika dibandingkan kisah yang dialami Dimas. Ketika rezim menghalanginya untuk pulang dan hanya untuk mati saja dia kebingungan. Bukankah pulang, bertemu keluarga, dan mati di kampung halaman tidak jauh berbeda dengan tertawa: hak paling asasi yang dimiliki manusia.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top