Wednesday, February 25, 2015

Puisi dan Propaganda

9:16 AM

[sumber]

Oleh: Irham Thoriq
 
“Jika Kau Menghamba Kepada Ketakutan,
Kita Memperpanjang Barisan Perbudakan”

Kita bertemu pertama kali di penghujung 2013 silam. Pada siang yang teduh di Perpustakaan Kota Malang, kita mengobrol ngalor ngidul tentang puisi, dan juga korupsi. Rambutnya gondrong, berkumis, dan pakaiannya tidak terlalu necis untuk ukuran gentleman. 

Pada 7 Februari lalu, Sosiawan Leak kembali ke Malang. Kali ini dia menyempatkan mampir ke Kantor Radar Malang untuk berdiskusi tentang sastra dengan awak redaksi dan para budayawan di Malang. Karena sedang liputan, saya absen dari diskusi yang menggairahkan itu.

Dalam sekali perjumpaan serta sekali gagal berjumpa itu, saya kagum dengan kegetolannya: membuat perubahan dengan Puisi. Saya kira ini “jalan pedang” bagi orang yang menginginkan perubahan hanya dengan kata-kata.

Ketika pertama kali bertemu, Leak sedang melakukan sosialisasi tentang programnya bernama Puisi Menolak Korupsi (PMK). Dia terlihat antusias menjawab pertanyaan saya yang baru tahu program ini. Diakhir obrolan, dia meminta alamat email saya.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, ketika saya sudah tidak mengingat-ingat lagi pertemuan singkat itu. Leak berkirim email, isinya tentang jadwal sosialisasi PMK, berapa buku yang sudah diterbitkan, sejarah gerakan PMK dan lain-lain. Sampai beberapa bulan, email terus masuk dari Leak.

Saya menganggap Leak adalah sastrawan yang tidak hanya mengandalkan keindahan kata-kata. Puisi menurutnya harus mempunyai dampak perubahan, saya kira konsepnya sama dengan filsuf Karl Marx yang mengatakan kalau filsafat harus mempunyai dampak terciptanya masyarakat tanpa kelas.  

Tapi, yang menjadi pertanyaan saya waktu itu, apakah bisa puisi mengurangi korupsi di negeri ini? Jujur saya pesimis. Kita tahu, korupsi di Negeri antah berantah ini sudah sangatlah akut. Tidak mungkin seorang pejabat bisa insaf hanya setelah membaca satu atau dua bait puisi dan sajak.

Jika diibaratkan sakit kepala, sakitnya para pejabat yang korup ini sudah tidak lagi bisa diobati dengan obat apotek atau yang dijual di jalanan. Perlu obat dengan campuran sedikit racun untuk menyembuhkan sakit kepala mereka, karena dengan begitu mereka akan mati tanpa lagi merasakan sakit kepala. Atau kalau tidak demikian, butuh banyak hidayah yang diturunkan tuhan dari langit paling atas.

Saya menganalogikan korupsi dengan hal-hal tidak masuk akal ini karena memang korupsi seolah sudah menjadi budaya. Tengoklah televisi, mereka mengumbar senyum tanpa rasa malu meski sudah terbukti memakan uang rakyat, mencuci uang dengan menghamburkannya kepada para artis, dan lain-lain. Saraf kemaluan mereka seolah sudah habis.

Tapi rupanya Leak tidak berpandangan sesempit saya, dia beranggapan kalau Puisi meski bukan kalam Tuhan bisa menginsafkan orang. Setidaknya bagi mereka orang baik atau orang jahat yang masih bisa diselamatkan oleh bait-bait puisi.

Mungkin karena alasan inilah, yang disasar Leak bukanlah pejabat. Tapi para pelajar, mahasiswa, aktivis sosial, guru dan orang-orang muda yang mempunya peluang menjadi pemimpin kelak. Mereka tidak hanya jadi sasaran sosialisasi, tapi mereka jugalah yang menuliskan puisi dan dijadikan buku ontologi puisi.

Dengan gerakannya itu, Leak seolah meyakini kalau puisi bisa menjadi alat propaganda. Meski tindakan korup para politisi tidak bisa dirubah dengan puisi, Leak sadar kalau menanamkan alam bawah sadar kepada anak-anak butuh jejalan kata-kata, jika yang diinginkan mereka anti korupsi, maka kata-kata anti korupsi perlu dikumandangkan terus menerus.

Tentang puisi dan propaganda, kita layak bercermin pada Widji Tukul. Dia diculik sejak 1998 dan tidak pernah kembali sampai saat ini karena puisi-puisinya. Sebelum dinyatakan hilang, dia berpindah-pindah tempat tinggal, lari dari kejaran aparat Orde Baru.

Dalam pelariannya, Tukul masih menulis puisi tentang perlawanan. Melalui kata-kata, dia berhasil “mempropaganda” para aktivis untuk tak surut melawan kesewenang-wenangan. Hanya karena kata-kata pula dia dihilangkan.

Membaca puisi dan tulisannya yang tidak terlalu puitis karena lebih banyak tentang perlawanan, saya sering kali merasa sedih sekaligus haru. Suatu ketika dalam pelarian, Tukul berkirim puisi pada anak perempuannya, Fitri Nganthi Wani: Kalau Teman-temanmu tanya/ kenapa bapakmu dicari-cari polisi/jawab saja:/ karena bapakmu orang berani,”.

Saya kembali tertegun, ketika membaca tulisan Fitri Nganthi Wani di Majalah Tempo edisi mengenang sepuluh tahun Munir yang terbit akhir tahun lalu. Tulisan ini seolah menjadi curahan hati dari seorang anak yang ayahnya diculik. ”Dia membeli sepaket kebenaran dengan nyawanya,” Begitulah salah satu penggalan tulisan Nganthi Wani yang menurut saya begitu menohok. 

Saya kira Nganthi Wani layak berbangga, mempunyai ayah yang tidak menghamba pada ketakutan. Dari puisi-puisi, kita bisa memutus garis perbudakan sebagaimana bunyi Puisi Tukul pada pengantar tulisan ini.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

2 komentar:

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top