Oleh: Taufik Umar*
Pembahasan mengenai hadis adalah salah satu kegiatan para Muhadditsin yang dilakukan sampai sekarang. Dedikasi yang dilakukan secara totalitas merupakan perjuangan yang sangat berharga dalam bidang ilmu hadis. Mengenai pembahasan antara hadis shahih, hasan dan dha’if merupakan fokus Ulama Muhadditsin yang dilakukan tiada henti.
Mengenai pembahasan hadis shahih, hasan dan dha’if tidak terlepas dari beberapa pembahasan yang komplementer dengan hadis tersebut. Istilah-istilah terminologis hadis yang begitu banyak tidak terlepas juga dari kualitas dan kuantitas hadis antara yang mardud dan maqbul.
Pembahasan yang melibatkan beberapa hadis yang komplementer dengan shahih, hasan dan dha’if telah dilakukan oleh seorang Fadhilah Asy-Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi yang terkumpul di dalam bukunya “Qawa’id at-Tahdits” yang dilanjutkan oleh Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dengan menyajikan sistem yang berbeda dari sebelumnya.
Tulisan ini akan menyajikan pembahasan yang diuraikan oleh Al-Khatib di dalam bukunya “Ulum al-Hadits” dengan disertai beberapa referensi lainnya yang relevan dengan pembahasan ini. Namun tiadalah hal yang sempurna terkecuali adanya kritik dan saran yang membangun.
Hadis Marfu’
Menurut bahasa, marfu’ berasal dari lafadz “rafa’a” yang berarti mengangkat. Dikatakan marfu’ karena kaitannya dengan seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan secara istilah marfu’ adalah sesuatu yang disanadkan kepada Rosulullah SAW secara khusus, baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan, ataupun sifat beliau, baik muttashil maupun munqathi’. Hadist ini terbagi menjadi empat macam, yaitu: marfu’ Qauli, fi’li, taqriri dan wahfi[1]. Namun ada juga yang membaginya menjadi enam macam[2]. Didapatnya hadist ini berdasarkan pembagian-pembagian hadist ditinjau dari siapa hadist itu disandarkan[3].
Hadist Muttashil
Secara bahasa muttashil berarti bersambung, lawan kata dari munqathi’, Yaitu terputus. Secara istilah muttashil adalah hadist yang bersambung sanadnya, baik marfu’ ataupun mauquf[4]. Hadist ini disebut juga dengan hadist maushul. Muttashilnya sanad suatu hadist menjadi syarat keshahihan hadist tersebut jika matannya marfu’, sedangkan apabila mauquf atau maqthu’ kemuttashilannya itu tidak menyebabkan keshahihan suatu hadist.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa muttashil ada yang marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Hadist Musnad
Dari segi bahasa musnad berarti ”yang disandarkan atau dinisbathkan. Dan dari segi istilah musnad adalah hadist yang muttashil sanadnya dari awal sampai akhirnya kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian jelas bahwa hadist musnad adalah hadist yang marfu’ lagi muttashil.
Hadist ini adalah sebagai salah satu syarat suatu hadist menjadi hadist shahih[5]
Mu’an’an dan Muannan
Mu’an’an secara bahasa berarti Berkata Dengan Menggunakan Lafadz ‘An. Secara istilah Mu’an’an adalah hadist yang diriwayatkan dengan sanad yang menggunakan lafadz ‘An. Sedangkan Muannan adalah hadist yang diriway'atkan dengan sanad yang menggunakan lafadz “Anna” (Bahwasanya) ada sanadnya. Kedua hadist ini ( Mu’an’an dan Muannan ) masih diperselisihkan antara masuk dalam katagori Muttashil atau Munqathi’.
Sebagian ‘ulama mencantumkannya kedalam kelompok hadist Mardud[6]. Namun pendapat yang shahih, yaitu pendapat jumhur ‘ulama dikalangan ahli hadist, fiqh dan ushul fiqh menyatakan bahwa kedua hadist tersebut adalah Muttashil, dengan syarat :Kedua hadist tidak Mudallas[7].Perawi harus berjumpa dengan guru yang pernah memberinya.
Sebagian ‘ulama mencantumkannya kedalam kelompok hadist Mardud[6]. Namun pendapat yang shahih, yaitu pendapat jumhur ‘ulama dikalangan ahli hadist, fiqh dan ushul fiqh menyatakan bahwa kedua hadist tersebut adalah Muttashil, dengan syarat :Kedua hadist tidak Mudallas[7].Perawi harus berjumpa dengan guru yang pernah memberinya.
Hadist Mu’allaq
Secara bahasa Mu’allaq berarti menghubungkan dan menjadikannya sesuatu yang bergantung. Secara istilah adalah hadist yang pada awal sanadnya terbuang satu perawi atau lebih secara berturut-turut. Hakikatnya hadist ini termasuk dalam kategori hadist Mardud, sebab tidak adanya salah satu syarat hadist Maqbul[8] atau terputusnya sanad. Namun apabila hadist itu terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim mempunyai nilai hukum sendiri, yaitu shahih, dengan syarat hadist tersebut diredaksikan secara tegas, lalu menyebut nama seorang perawi yang memenuhi syarat sebagai perawi yang Tsiqah[9].
Hadist al-Fard dan al-Gharib
Secara etimologi Fard dan Gharib berarti menyendiri. Dari segi terminologi Al-Fard terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) Fard Muthlaq: Hadist yang diriwayatkan oleh seorang secara menyendiri dari sekian perawi yang ada. Hadist ini disebut shahih apabila perawinya tsiqah, dan riwayatnya tidak menyimpang dari riwayat lain. Dan apabila yang melakukan penyendirian itu riwayatnya menyimpang, maka ada tiga kemungkinan: (1.a.) Berstatus Mudhtharib: Perawi yang menyendiri berkualitas sama (dalam hal kehafidzan dan kedhabitannya) yang memiliki riwayat yang berbeda, dan salah satunya tidak dapat ditarjihkan. (1.b.) Berstatus Syadz: Perawi yang bersifat tsiqat berbeda riwayat dengan perawi yang tingkatannya lebih tsiqat darinya. (1.c.) Berstatus Munkar: Perawi yang berstatus Dhaif dan menyimpang dari perawi-perawi tsiqat.
(2) Fard Nisbiy : Hadist yang sifat penyendiriannya terletak pada sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi, yang dibatasi dengan kriteria tertentu. Sifat penyendirian seorang perawi terletak pada beberapa hal, misalnya:
(2.a ) Tentang kota atau tempat tinggal tertentu, misalnya pernyataan ahli hadist: “Hadist ini diriwayatkan secara menyendiri oleh ‘ulama Makkah, atau ‘ulama Madinnah, ataupun ‘ulama Syam”
(2.b.) Tentang ke-tsiqah-an perawi, misalnya pernyataan ahli hadist “tak diriwayatkan suatu hadistpun seperti ini oleh seorang tsiqah kecuali si-Fulan”
(2.c.) Tentang meriwayatkan dari perawi tertentu (Imam, Hafidz, atau yang sejenis), misalnya pernyataan ahli hadist “Hadist ini diriwayatkan secara menyendiri oleh Fulan dari Fulan (lain)”, atau “tak diriwayatkan suatu hadist pun seperti ini dari Fulan kecuali oleh Fulan (lain)”.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadist Gharib adalah hadist yang diriwayatkan secaramenyendiri oleh seorang perawi, dimanapun posisi penyendirian itu terjadi dalam sanadnya. Sebagian ‘ulama sepakat bahwa yang disebut hadist fard nisbiy adalah sama dengan hadist gharib. Dan fard muthlaq dengan sebutan al-fard.
Adapun macam-macam hadist gharib ditinjau dari segi letak penyendiriannya, yaitu:
(1). Gharib Matan Dan Isnad : Suatu hadist yang hanya seorang perawi yang meriwayatkan matan tertentu (lain dengan matan yang diriwayatkan perawi-perawi lain).
(2). Gharib sanadnya saja : Hadist yang matannya sudah terkenal dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang perawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain.
(3). Gharib Ba’dh Al-Matan (gharib sebagian matannya)
Hadist al-Fard dan Gharib ini adalah termasuk salah satu hadist ahad ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya. Adapun jenis lain dari hadist ahad yaitu hadist masyhur dan hadist ‘aziz[10].
Hadist ‘Aziz
Dari segi bahasa ‘aziz berarti sedikit atau langka. Sedangkan menuru istilah hadist ‘aziz adalah hadist yang pada tiap thabaqat (generasi) sanadnya diriwayatkan secara menyendiri kurang dari dua perawi dari dua perawi lainnya. Disebut ‘aziz terkadang karena minimnya keberadaannya, dan terkadang karena statusnya yang kuat karena memiliki dukungan jalur lain. Seperti hadist yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang awalnya diterima oleh sahabat Anas Bin Malik dari Nabi SAW, dan diriwayatkan kepada dua orang, yaitu Qatadah dan Abd Aziz Bin Shuhaib. Dari Qatadah diterima oleh dua orang pula, yaitu Hasan al-Mu’allim dan syu’bah. Dari Abd Aziz diriwayatkan ke Abdul Warits dan Ismail bin Ulaiya, dan seterusnya. Dari masing-masing diriwayatkan oleh sekelompok perawi.
Hadist ini kadang-kadang bersifat shahih, hasan, atau dhaif tergantung kepada tingkatan ketsiqahan para perawinya.
Masyhur Mustafidh
Secara etimologi kata Masyhur berasal dari kata “Syaharats Al-Amru”, yang berarti sesuatu yang telah terkenal setelah disebarluaskan dan ditampakkan dipermukaan. Sedangkan secar istilah masyhur adalah hadist yang diriwayatkan bersama oleh tiga orang atau lebih perawi dari seorang Syekh (guru). Adapun pengertian lainnya dari hadist masyhur adalah suatu hadist yang dalam tiap thabaqat (generasi sanad)nya diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih dan belum mencapai derajat hadist mutawattir[11].
Hadist ini menurut pandangan para ‘ulama adalah sama dengan hadist Mustafidh, karena kepopulerannya. Dari segi bahasa sendiri mustafidh berarti sesuatu yang tersebar. Sedangkan menurut istilah definisi ini ada tiga pendapat : (a) Hadist Mustafidh searti dengan hadist Masyhur, dan (b) Hadist Mustafidh lebih khusus daripada Masyhur, karena bagi mustafidh disayaratkan jumlah peerawi pada awal dan akhir sanad terdiri dari tiga perawi, sedang masyhur tidak. Mustafidh lebih umum daripada masyhur, yakni kebalikan dari pendapat yang kedua.
Hukum hadist masyhur terkadang shahih, hasan, atau dha’if, bahkan ada yang bernilai maudhu’. Akan tetapi yang membedakan antara masyhur, ‘aziz dan gharib adalah jika masyhur yang berkualitas shahih memiliki kelebihan untuk ditarjih (diunggulkan) daripada yang lainnya.
Mutabi’ dan Syahid
Mutabi’ secara bahasa berarti yang sesuai. Menurut istilah adalah kesesuaian riwayat hadist para perawi dengan perawi hadist fard dan gharib, baik secara lafal dan maknanya, atau maknanya saja serta sumber sahabatnya sama.
Sedangkan yang dimaksud dengan syahid adalah kesesuaian riwayat hadist para perawi dengan para perawi hadist fard atau gharib, baik secara lafal dan maknanya atau maknanya saja serta sumber sahabatnya berbeda. Namun ada juga beberapa ‘ulama yang mendefinisikan secara lain istilah-istilah tersebut. Yaitu, pada Mutabi’ hanya pada kesesuaian lafal, baik sumber sahabatnya sama atau tidak. Sedangkan pada Syahid hanya pada maknanya saja.
Metode untuk melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap Mutabi’ dan syahid disebut I’tibar. Dengan demikian i’tibar adalah metode-metode yang digunakan untuk meneliti dan menghimpun jalur-jalur suatu hadist, dan mengetahui apakah hadist itu memiliki mutabi’ atau syahid ataukah merupakan hadist fard.
‘Ali dan Nazil
Dari segi bahasa al-‘ali berarti yang tinggi, lawan kata dari al-nazil yang berarti yang turun. Menurut istilah al-‘ali adalah isnad yang jumlah perawi yang sampai ke Rosulullah SAW sedikit bila dibandingkan dengan sanad lain dari suatu hadist yang perawinya lebih banyak. Sedangkan Al-Nazil adalah isnad yang jumlah perawi yang sampai ke Rasulullah SAW, lebih banyak dibandingkan dengan sanad lain dari suatu hadist yang perawinya lebih sedikit.
Hadist ‘Ali ini terbagi menjadi lima macam, yaitu:Kaitannnya dengan kedekatan dengan Rosul dan kualitas sanadnya shahih. Bagian pertama ini disebut ‘Ali Muthlaq, dan dipandang paling tinngi nilai sanadnya.Dekat dengan imam hadist, meskipun antara dia dan Rosul terdapat sejumlah perawi yang banyak dan kualitas sanadnya shahih.Dikaitkan dengan riwayat kitab mu’tamad. Bagian ini banyak dipakai oleh ‘ulama Mutaakhrin. Dan bentuknya ada empat macam, yaitu: Muwafaqah, Badal Atau Ibda, Musawwah, Dan Musahafah[12]. Dikaitkan dengan keterdahuluan wafatnya para perawi. Yang dimaksud dengan keterdahuluan wafatnya para perawi adalah jika hadist yang diriwayatkan oleh para perawi yang wafatnya lebih dahulu dibandingkan dengan riwayat lain, maka dianggap lebih tinggi kualitasnya. Dikaitkan dengan keterdahuluan mendengar suatu hadist. Yaitu, jika ada dua perawi yang meriwayatkan hadist yang didapat dari guurunya, dan salah satunya lebih dahulu mendengar hadist itu dari pada yang kedua, maka hadist dari perawi yang pertama yang dianggap lebih tinggi kualitasnya.
Jenis nazil juga ada lima macam seperti pembagian ‘ali. Adapun pengertiannya adalah kebalikan dari tiap-tiap bagian ‘ali dan al-‘nuzul ini menurut pendapat yang shahih, ‘ali lebih inggi kualitasnya, karena ‘ali jauh dari kemungkinan adanya cacat. Namun terkadang al-nuzul lebih tinggi kualitasnya dikarenakan perawi dalam sanadnya lebih tsiqah.
Hadist Mudraj
Dari segi bahasa Mudraj dapat diartikan sebagai penambahan. Sedangkan menurut istilah, Mudraj dibagi menjadi dua macam, yaitu :Mudraj Fi Al-Matan, adalah memasukkan pernyataan sebagian perawi kedalam matan hadist, sehingga disalahpahami secara keseluruhan yang disampaikan oleh perawi adalah dari Nabi Muhammad SAW. Penambahan itu bisa terbagi diawal, tengah ataupun akhir matan.b. Mudraj Fi Al-SanadSeorang perawi memiliki dua matan dengan dua sanad, lalu ia meriwayatkan keduanya dengan salah satu sanad.Seorang perawi yang mendengar hadist dari beragam sanad atau matannya, lalu ia meriwayatkannya dari mereka secara seragam dengan satu sanad tanpa menjelaskan adanya perbedaan antara mereka.Seorang perawi memiliki suatu hadist lengkap dengan sanadnya, kecuali sebagina darinya. Ia memiliki yang sebagian itu dengan sanad lain. Tetapi kemudian ada perawi yang meriwayatknnya secara lengkap darinya dengan salah satu sanadnya.
Para ulama telah sepakat mengenai keharaman melakukan idraj secara sengaja apapun bentuknya. Jika ada perawi yang sengaja melakukan idraj, berarti gugur sifat adilnya, termasuk dengan orang yang memutarbalikkan kalam, dan disejajar-kan dengan para pendusta[13]. Namun bila idraj itu bertujuan untuk menafsirkan makna hadist, maka masih ditolerir, dengan syarat perawi harus menegaskan idraj itu.
Al-Mushahhaf dan al-Muharraf
Mushahhaf adalah hadist yang didalamnya terdapat kekeliruan baik dalam lafadz atau maknanya. Kekeliruan dalam mushahhaf menurut para ulama terdapat pada perubahan titik-titiknya dengan masih utuh tulisannya. Sedangkan tashif sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu Tashif Sam’(kekeliruan
mendengar) dan Tashif Bashar (kekeliruan melihat).
Adapun pengertian Muharraf adalah perubahan syakral-huruf, yakni tanda hidup dan mati, atau harakat, sedang bentuk tulisannya tetap.
Adapun pengertian Muharraf adalah perubahan syakral-huruf, yakni tanda hidup dan mati, atau harakat, sedang bentuk tulisannya tetap.
Musalsal
Secara etimologi Musalsal berarti bersambungnya sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dikatakan demikian karena adanya persambungan sanad. Sedangkan secara terminologi, Musalsal adalah suatu hadis dimana para perawinya saling mengikuti sifat atau keadaan perawi atau riwayat satu sama lain. Maksudnya, secara berturut-turut masiing-masing perawi dalam sanad hadist tersebut terdapat kesamaan sifat, keadaan dan sifat periwayatannya. Musalsal terbagi menjadi tiga macam, yaitu:Musalsal Bi Ahwal al-Ruwat (musalsal dari segi keadaan perawinya), keadaan ini dapat mengenai ucapan, perbuatan, atau kedua-duanya secara bersamaan[14].Musalsal Bi Shifat al-Ruwat (musalsal dari segi sifat perawinya) bisa juga berupa ucapan dan perbuatan.Musalsal Bi Shifat al-Riwayah (dari segi sifat periwayatan)
Hadist-hadist musalsal ini ada yang shahih, hasan, dhaif, bahkan bathil tergantung pada keadaan para perawinya.
*Taufik Umar adalah mahasiswa Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
___________________________[1]. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist (UIN Malang Press, 2007), Hlm. 140.
[2]. Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung, CV Mimbar Pustaka, 2008), Hlm. 126
[3]. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist (UIN Malang Press, 2007), Bab IV, Hlm. 137
[4]. Ucapan, perbuatan, atau ketetapan yang disandarkan pada sahabat.
[5]. Endang Soetari, Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung, CV Mimbar Pustaka, 2008), Hlm. 134
[6]. Hadist yang tertolak (hadist yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima webagai hujjah)
[7]. Perawi yang merahasiakan cacat gurunya.
[8]. Hadist yang dapat diterima sebagai hujjah
[9]. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist (UIN Malang Press, 2007), Hlm. 58
[10]. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist (UIN Malang Press, 2007), Bab II
[11]. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist (UIN Malang Press, 2007), Hlm. 36
[12]. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist (UIN Malang Press, 2007), Hlm.200
[13]. M. Ajaj al-Khatib, ‘Ulumul Hadist (Libanon, Dar al-Fikr, 1998), Hlm. 337
[14] . Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist (UIN Malang Press, 2007), Hlm.204
0 komentar:
Post a Comment