Oleh: Muhammad Mahrus*
Seorang kakek, yang menumpang menginap di rumahku semalam, kutemukan dalam keadaan tak bernyawa, tergantung. Awalnya aku curiga, kenapa hari sudah siang, tapi ia belum juga keluar dari kamar tamu. Waktu kuketuk kamar itu dengan pelan, tak ada jawaban dari dalam. Berulang kali kuketuk, berulang kali pula hanya burung kutilangku dalam sangkar yang menjawab dengan uhu-uhunya. Dengan perasaan gelisah, kuberanikan diri untuk mengetuk daun pintu itu lebih keras. Namun tetap tak ada jawaban dari dalam kamar.
Karena tak ada jawaban, aku pun mulai mempertanyakan kejanggalan tersebut. “Pergi tanpa pamit, sangat tidak mungkin, KTP-nya masih ada padaku,” pikirku. Lagi pula, katanya semalam, ia hanya dalam perjalanan ke desa sebelah. Karena kemalaman, ia menghampiriku yang kebetulan sedang duduk di teras rumah. Masih sangat jelas dalam ingatanku, “hanya semalam saja,“ katanya meyakinkanku.
Aku pun mengiyakan permintaannya setelah berunding dengan isteriku. Awalnya isteriku menolak karena takut kakek tersebut bukan orang baik-baik. Emang sih, penampilannya terkesan semacam preman. Rambutnya gimbal dan terkesan kurang terawat. Di daun telinga kirinya tergantung anting-anting ganda. Dari kuningan sepertinya. Di lengan kirinya terlihat jelas tato gambar naga. “Namun, ia tetaplah seorang kakek-kakek.” Kataku saat menyakinkan isteriku. “Ingat, enggak, waktu kita mudik lebaran kemarin.” kataku lagi. “Waktu kita kemalaman untuk pulang ke rumah Bapak. Kita yang masih berdua, tanpa Fanin, anak kita. Kita minta izin untuk menumpang menginap di rumah seorang warga tapi kita dicurigai sebagai sepasang muda-mudi yang kabur tanpa ikatan yang sah. Berbagai macam alasan yang kulontarkan tetap ditolaknya. Tapi, saat tiba-tiba kau muntah di teras rumahnya, dan ia bertanya apakah kau sedang sakit lalu kujawab bahwa kau sedang hamil sembari kutunjukkan surat nikah kita, Bapak itu pun mengizinkan kita menginap di rumahnya.”
“Iya, tapi itu kan setelah Mas menunjukkan surat nikah kita. Tanpa itu, kita gak bakalan boleh.” Sanggah isteriku sebelumnya.
“Lha terus, kenapa dengan kakek itu tidak boleh ?” aku mengerutkan kening.
“Kita kan tidak tahu siapa dia, Mas !"
“Ini KTP-nya, apa lagi?” sanggahku, sing-song.
“Yah… lihat aja penampilannya…!” ia terus membujuk.
“Sayang…. Aku tahu, aku mengerti, dan aku masih ingat, malam ini adalah malam kita berdua, berdua saja. Malam yang kau pesan sejak siang tadi.” Lalu aku diam. Kubiarkan ia tersipu. Kubiarkan burung kutilangku beruhu-uhu menanti ucapku lagi. Aku cuma memandangi raut gembira wajah isteriku di bawah keremangan lampu dapur. Setelah kuyakin isteriku sepakat, kukecup bibirnya, lalu kutambahkan sedikit di kening dan pipi kanannya. “Yang kiri dan selebihnya setelah ini, Say!” Kataku sambil lalu menuju teras rumah.
Kudapati si kakek sudah menghabiskan teh hangat yang disuguhkan isteriku tadi. Belum lagi aku buka percakapan baru dengan kakek itu, isteriku datang dengan membawa nampan. Ada nasi dan kawan-kawannya di atas nampan bawaannya. Cukup, bahkan sebenarnya lebih untuk makan tiga orang. Aku dan isteriku makan bersama si kakek. Menjamunya. Fanin, anak kami, sudah tidur kira-kira sejak jam sembilan tadi. Dua jam lalu.
Setelah makan, kuantar kakek itu ke kamar tamu, dan kutunjukkan letak kamar mandi padanya. Siapa tahu saat tengah malam ia butuh mengunjunginya. Air mineral, minuman hangat, dan jajanan kusertakan saat itu juga. Dan selanjutnya, malam hanya milikku dan isteriku.
“Hai, aku datang, Say.” Isteriku hanya menjawab dengan senyuman dari atas ranjang. Senyuman khas. Senyuman khusus untukku. Ternyata ia sudah menutupi tubuhnya dengan selimut sampai setinggi dada. Tepatnya di bawah leher sedikit. Kira-kira sejajar dengan pundaknya. Kupastikan ia sudah telanjang seperti biasanya dengan menanggalkan semua pakaian-pakaiannya. Entah dilemparnya ke mana kali ini aku tak perduli. Namun aku tidak langsung menghampirinya di ranjang itu. Ranjangku dan ranjang kami. Ranjang yang selalu setia mengantarkan kami menuju surga. Surga kami sendiri. Aku masih menuju ranjang mini milik Fanin, anak kami yang masih belum genap tiga bulan.
Setelah kucium kening bayi mungil itu, buah hati dan belahan jantung kami, kutengok isteriku menggigit bibir bawahnya sembari tersenyum. Cepat-cepat aku ke kamar mandi untuk gosok gigi dan wudu, dan aku masuk kamar lagi setelah ganti baju tidur khusus yang praktis jika kuingin menanggalkannya.
Lampu kamar kumatikan setelah kunyalakan lampu tidur. Dan aku masuk dalam selimut. Gabung dengan isterku. Pipi kirinya yang kucium lebih dulu sebagaimana janjiku padanya tadi. Lalu lehernya, telinganya, keningnya lagi, pipi kanan-kirinya lagi secara tak beraturan, lalu telinganya lagi dan berhenti agak lama ketika bibir kami saling bertemu. Lidah bermain dengan lidah. Lidah lebih tajam dari pada belati, memang benar. Semua rasa disajikan olehnya. Tapi tidak seperti rasa permen NANO-NANO yang (katanya) rame rasanya. Puas di bagian kepala. Bibirku mulai meluncur ke tubuh bagian bawah. Dari dada, turun ke bawah, ke bawah, dan ke bawah yang lagi entah apa namanya aku tak perduli. Posisiku sendiri sudah di mana dan seperti apa aku juga tak ingat. Aku hanya sesekali mendengar suara isteriku yang mengaduh dan menggeliat saat bibirku menyentuh salah satu bagian tubuhnya. Mungkin pula saat itu baju tidurku sudah terlepas dan entah pula siapa yang melepasnya. Mungkin aku yang melepasnya atau bisa juga isteriku. Tapi kuanggap itu tak penting. Yang penting, yang kutahu, dan yang kurasakan saat itu hanya banyak rasa yang tak berbilang jumlahnya. Rasa yang tak sanggup kuhitung jumlahnya atau mungkin memang benar-benar tak berjumlah. Malam itu benar-benar mengingatkanku pada malam pertama kami, kurang lebih setahun lalu.
***
Saat kudobrak pintu kamar tamu itu, kudapati tubuh si kakek yang sudah tak bernyawa, menjadi mayat, tergantung dengan seprei yang terikat pada pelafon rumah. Tepat di atas ranjang tidur. Karena panik, isteriku kupanggil. Ia datang beberapa detik setelah mendengar panggilanku yang memang terkesan panik. Hingga membuatnya membawa serta panci yang sedang dicuci. Besar kemungkinan ia juga kaget melihat kakek yang sudah tak bernyawa itu, hingga panci yang dibawanya terjatuh ke lantai. Suara kelontengan di ruang tamu itu mengundang perhatian Bi Yati, tetangga sebelahku. Perempuan paruh abad yang sedang menyapu di pekarangan rumahnya. Tak lama kemudian, warga pun berdatangan ke rumahku atas undangan Bi Yati.
Melihat banyaknya warga yang antusias, aku berusaha menenangkan isteriku yang syok. Sejenak kemudian aku minta tolong pada Lek Antok, yang kebetulan duduk paling dekat denganku untuk menghubungi Polisi. Setengah jam kemudian, datang beberapa Polisi dengan mobil patrolinya. Karena mereka dipanggil atas informasi pembunuhan, mereka pun membawa serta diriku ke kantor Polisi dengan status tersangka.
“Bodoh!” Umpatku dalam hati pada orang yang melapor. Selayaknya penyelidikan, aku diinterogasi langsung sebagai tersangka, memang bukan sebagai terdakwa, tapi setidaknya, dan memang seharusnya aku diinterogasi tidak lebih sebagai seorang saksi.
Yang membuatku jengkel, mereka tidak percaya pada keteranganku. Dalam hati aku bertanya: “Yang bodoh itu yang melapor, yang dilapori, atau yang terlapor, yang berarti itu aku?” Untuk pertanyaan terakhir sangat tidak mungkin. Sedang, mereka tetap memutuskan untuk menahanku sampai kasus tersebut benar-benar terungkap kejelasannya. Aku berontak pada mereka. Aku berusaha lari namun salah seorang Polisi menjegalku, dan aku terjerembab. Aku tersungkur tak berdaya. Tanganku diborgol ke belakang.
“Tidak…..!!!” aku teriak sekuat urat leherku menahannya.
Tiba-tiba kurasakan tangan lembut megusap keningku. Membelai rambutku lalu menguasap keningku lagi. Kali ini dengan sapu tangan kecil. Setelah kubuka mataku, kudapati isteriku duduk disampingku masih mengenakan pakaian tidurnya semalam yang ia pakai lagi setelah kami bercinta. Tapi wajahnya sedikit pasi dan matanya yang sayu sedang memandangiku. Lalu ia bertanya.
“Mas kenapa ?”
“Tidak kenapa-napa, Say. Aku hanya mimpi !!!”
*Muhammad Mahrus adalah mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 komentar:
Post a Comment