Wednesday, January 13, 2016

Bagaimana Sampeyan Ini

11:41 PM


Oleh: Muhammad Madarik

Ketika penulis menyaksikan mulai banyak para penuntut ilmu terbuai dengan pengaruh-pengaruh yang terjadi di luar konteks belajar, maka muncul dalam benak penulis untuk menggores tinta, lalu menyusun kata-kata yang, setidaknya, menggambarkan kondisi itu. Puisi ini secara khusus membidik kaum pesantren yang tengah bergelut dengan ilmu pengetahuan di penjara suci. Kenapa para santri yang menjadi sasaran puisi ini ? Minimal ada dua alasan yang bisa dikemukakan oleh penulis. Pertama, selama ini, dalam pandangan Nurcholish Madjid, pesantren masih dianggap sebuah lembaga pendidikan yang lebih indigenous, asli Indonesia dan berakar kuat di masyarakat. Kedua, di tengah keberadaan pesantren yang dikenal sebagai benteng terakhir pembinaan akhlak bangsa karena tetap survive dengan pendidikan moralitasnya, ternyata perilaku sebagian anak-anak santri sudah mulai kehilangan konsistensinya. Akumulasi dua hal ini dan ditambah dengan berbagai fakta yang seringkali ditemukan penulis tentang gaya hidup kaum "sarungan" itu yang cenderung mereduksi status kesantrian, melatarbelakangi puisi ini.

Tidak penting, terciptanya puisi yang bejudul "Bagaimana Sampeyan Ini" merupakan ekspresi keprihatinan pribadi penulis yang notabene terlahir dari rahim dunia pesantren merespon fenomena-fenomena yang menguap di kalangan santri, atau secara spontanitas hanya sekadar upaya eksplorasi ketajaman intuisi dalam diri penulis. Tetapi hal terpokok, dengan bermaksud santun penulis mengajak para santri untuk melakukan upaya evaluasi diri terhadap tingkah laku yang selama ini dilakukan.

Sesuai pengalaman penulis, jika puisi ini dipublis dengan menggunakan langgam Jawa disertai irama musik yang senada, mungkin pembacaan puisi ini akan mudah mengena dan lebih mengurai makna dibaliknya.

Bagaimana sampeyan ini.

Penulis memulai puisi ini dengan pertanyaan sebagaimana judulnya. Tentu tidak sembarangan penulis mengajukan tanya itu, terdapat tujuan tertentu. Bagi penulis, pertanyaan tersebut bukan hanya sekedar bermakna penekanan dalam pelafalan dan intonasi ketika dibacakan, tetapi lebih dari itu dimaksudkan sebagai ransangan agar objek dalam puisi ini (baca: santri) benar-benar menaruh perhatian lebih terhadap kontennya. Sehingga dengan konsentrasi yang diharapkan penulis, muatan-muatan dibalik kalimat-kalimat secara substansial mampu diserap, dipikirkan dan semaksimal mungkin dihayati.

Katanya sampeyan santri.
Tetapi kata-kata sampeyan sering tidak hati-hati.
Batas norma acapkali dilewati.

Dalam bait ini kembali penulis menoreh sebuah kata bernada tanya yang berbeda dengan sebelumnya. Seakan penulis ingin meminta penegasan dari santri tentang identitasnya. Betulkah dia bagian dari sekelompok orang dalam komunitas kaum pesantren ? Tentu kata-kata penulis ini tanpa jawaban. Tetapi tanpa sebuah respon sekalipun, jika dia telah benar-benar memproklamirkan diri sebagai santri, maka kalimat berikutnya akan mampu membuat dirinya terperangah. Betapa tidak, ucapan yang tidak terkontrol, baik dari sisi dampak maupun dari segi isi, pasti kontra produktif dengan status kesantriannya.

Selama ini kaum santri dikenal sebagai golongan masyarakat yang sangat santun, ramah dan toleran dalam setiap aspek kehidupan. Ujaran-ujaran yang diungkapkan para santri selalu saja sarat makna dan hikmah, sebagaimana perilaku dan tindakannya yang selaras dengan kata-katanya. Inilah salah satu faktor animo sebagian besar masyarakat terhadap lembaga tertua di Indonesia ini.

Memang diakui oleh para ahli bahwa arah pendidikan pesantren dibangun atas kesadaran tauhid yang kemudian mengejawantah dalam praktik-praktik moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Sejak awal pertumbuhan dan perkembangan dalam sejarah pesantren di tanah nusantara, akhlak agung kaum santri menjadi rujukan dan barometer moralitas bangsa ini.

Namun keberhasilan arah pendidikan lembaga pesantren belakangan mulai dikotori oleh perilaku sebagian personal (baca: oknum) santri yang menyimpang. Indikasi yang mencolok ialah seringkali perkataan-perkataannya sudah tidak mencerminkan profil santri. Banyak isi ucapannya hanya menggambarkan pemuda jalanan yang tidak pernah mengenal pendidikan agama. Ditambah cara penyampaian yang tidak lagi mengindahkan tatakrama orang-orang pesantren. Begitu pula keberanian dalam hal gerak-geriknya menabrak garis normatif yang pernah diserap pada pengajian-pengajian di pesantren sudah berada diambang batas mengkhawatirkan. Ucapan-ucapan segelintir santri yang diasumsikan kontras dengan hakikat profil pesantren inilah inti pertanyaan yang diajukan penulis.

Seakan menyembah, saat sang Guru mendatangi.
Namun perintahnya tak ditaati.

Tradisi menghormati pendidik; kiai atau ustadz memang bagian dari doktrin yang diajarkan di dunia pesantren berdasarkan referensi kitab-kitab klasik. Nilai-nilai tatakrama yang meliputi aspek metode belajar, ikhtiar dan relasi guru-murid, serta interaksi sesama sahabat senantiasa didengungkan oleh pengasuh dan dewan asatidz dalam setiap kesempatan tatap muka. Tentu ajaran dan doktrin ini bukan hanya pola pergaulan secara lahir belaka, apalagi cuma sekadar menjadi ilmu pengetahuan bagi para santri, tetapi lebih jauh dimaksudkan agar mereka betul-betul mengaplikasikannya dalam praktik-praktik sehari-hari yang sedapat mungkin bisa berdampak pada gerak batin mereka. Walhasil, eksistensi pesantren diancang sebagai pusat pengembangan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development). Oleh karenanya, pengajaran tentang etika dilakukan begitu komprehensip dan simultan, sehingga akhlak terkait dengan pergaulan ini benar-benar menjadi tabiat yang muncul dari nurani.

Tetapi belakangan disinyalir mulai ada fenomena kepura-puraan pada setiap tingkah laku atas nama penghormatan yang dilakukan oleh sebagian santri terhadap gurunya. Hal ini dapat dicermati dari sikap menundukkan kepala saat dihadapan sang guru misalnya, hanya sebatas "unggah-ungguh" lahir belaka. Tetapi ketika dibelakang kiai, sebagian santri tersebut dengan sengaja menelikung dan telah berani membangkang peraturan-peraturan pesantren. Padahal kiai mengajarkan norma-norma dan tatakrama pada setiap santri dengan metode pembiasaan dicitakan menjadi tabiat sehingga dikemudian hari saat mereka kembali ke pangkuan masyarakatnya mampu tampil sebagai jangkar-jangkar pesantren bagi penyemaian generasi muslim bermoral mulia dan berkepribadian luhur.

Sekarang sampeyan jarang mengaji.
WA, FB, BB dan Twiter jadi makanan sehari-hari.

Sebagai lembaga Islam yang menerapkan sistem pendidikan yang bersifat kontinyu dan integreted, pesantren mempunyai rutinitas pengajaran dan ritual yang cukup padat. Salah satu ciri khas pendidikan ala pesantren ialah pendalaman agama lewat pembelajaran materi kitab-kitab klasik (kutub al-turats) dengan segala metode belajar yang sudah dipraktikkan secara turun-temurun. Pembelajaran itu dikenal dengan istilah "mengaji kitab kuning".

Namun gegap gempita arus modernisasi yang ditandai dengan kian membanjirnya kecanggihan teknologi, menjadikan tradisi santri mengaji mulai tergerus dan secara perlahan tergantikan oleh IT terbarukan. Perkenalan sebagian kalangan santri dengan dunia teknologi membentuk mereka "melek" kemajuan zaman, sehingga pagar doktrinasi pesantren tidak mampu lagi mengisolir mereka dari dampak negatif globalisasi.

Kesenangannya berdebat dan diskusi.
Diarahkan malah menasehati.
Kesalahan orang lain dikuliti.
Dosa sendiri tak sempat ditobati.

Sebetulnya keterlibatan santri di dalam kegiatan-kegiatan berupa kajian dan diskusi ilmiah merupakan bagian dari aktifitas yang diprogramkan dan dikembangkan di dunia pesantren. Banyak pesantren yang tetap teguh mempertahankan kegiatan musyawarah kitab, baik dalam skala perkelas, pertingkat komunitas maupun antar pesantren, sebagaimana kegiatan bahtsul masail yang terus dilestarilan eksistensinya hingga sekarang. Kedua program ini ditujukan sebagai wahana agar para santri mempunyai keterampilan menyampaikan dan melontarkan wacana-wacana secara argumentatif, disamping memiliki kepiawaian menjawab persoalan-persoalan masyarakat kekinian dengan dasar-dasar hukum dan referensi yang tingkat validitasnya bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Tetapi tatkala kepandaian yang tampak pada diri seorang santri dalam hal bersilat lidah itu hanya dimotivasi oleh dominasi niatan mengalahkan lawan apalagi cuma untuk membusungkan dada, maka keunggulan tersebut menjadi perkara yang sama sekali tidak terpuji. Lebih-lebih apabila bakat berargumentasi itu dijadikan tameng dari setiap nasihat dan petuah, maka tentu status kesantriannya perlu dipertanyakan.

Predikat santri yang disandang kaum pesantren juga wajib diragukan, jika sikap yang menonjol dalam dirinya selalu memposisikan sebagai dewa suci tanpa cacat, sementara orang lain senantiasa dinilai lalai penuh kedurhakaan.

Pada bagian ini, seorang santri diharapkan bisa menjaga nurani dari segala macam penyakit batin, sehingga ia mampu tampil sebagai sosok yang rendah hati dan santun (al-tawadlu' wa al-khudlu') tanpa senoktah kesombongan yang melekat dalam sanubarinya, sekalipun kealimannya telah melangit. Di dalam rumus kesufian kalangan pesantren, santri ideal ialah seorang pribadi yang rela mengevaluasi diri sendiri sembari merasa enggan mengorek borok pihak lain. Di sinilah kenapa mayoritas pesantren pasti menyisipkan materi akhlak dan tasawuf sebagai bahan ajar dalam struktur kurikulum pendidikannya.

Lawan jenis terlarang, malah didekati.
Bukan mahram, justru diembati.

Tata tertib yang sudah kaprah diundangkan di lingkungan pesantren memuat, salah satunya, soal hubungan santri putra-putri. Batasan hubungan antar lawan jenis yang dimaksud meretas dari garis-garis hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam. Hanya implementasi pelaksanaan teknis saja yang kadang-kadang berbeda antar pesantren sesuai kebijakan pengasuh atau kesepakatan semua elemen di dalam sebuah pesantren. Ada pesantren yang menerapkan sanksi dari pelanggaran tatib tersebut dengan berupa ta'zir, sanksi bertahap, skorsing, dan ada pula yang dengan keras melaksanakan pengusiran. Meskipun cara pelaksanaan hukuman atas pelanggaran etika pergaulan putra-putri bervariasi di masing-masing pesantren, tetapi secara substansial tujuan yang didamba sama, yakni ingin mentasbihkan nama baik santri, baik dari segi hukum syariat maupun dalam pandangan masyarakat, dengan sekuat mungkin melakukan upaya meminimalisir dekadensi moral.

Menjadi fakta yang sangat ironis bagi dunia pesantren, apabila seorang santri telah lama berjibaku dengan materi-materi agama beserta setumpuk problemnya, lalu dilunturkan dengan sekadar mengumbar hawa nafsunya. Padahal kalau hanya untuk "mengangkangi" lawan jenis, jelas tidak perlu jauh-jauh dan bersusah-payah bersemedi di bilik-bilik pesantren dengan ongkos yang tidak murah.

Mengaku berada di penjara suci.
Tapi ikrar santri tak ditepati.

Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan yang menyelenggarakan sistemnya dengan segala macam mekanisme dan prosedur, para santri di dalam pesantren juga dikelilingi dengan aturan yang mengikat gerak mereka. Secara garis besar pesantren mengurung seluruh peserta didik dengan seperangkat program dan tatanan yang bersumbu dari nilai pembentukan karakter (character building value). Oleh karenanya, pesantren bagi kebanyakan santri, terutama yang pernah menghirup udara kebebasan, terkesan seperti bui yang memasung kemerdekaan segenap pemuasan. Padahal, hakikat keberadaan pesantren di Nusantara ini merupakan sebentuk kawah bagi penanaman benih-benih kebaikan dan keteguhan, terbukti dalam orientasi pendidikan pesantren, di samping terdapat metode musyawarah, mudzakarah, muhafadzah dan lain-lain, juga diterapkan riyadlah, ubudiyah dan semacamnya.

Tetapi tatkala seorang santri mulai enggan pada seluruh aspek kewajiban, larangan, dan program kegiatan pesantren, maka sesungguhnya ia telah mendustakan janji-janji yang dipersaksikan, baik secara personal maupun kolektif pada saat awal-awal menginjakkan kaki di lingkungan pesantren.

Titah sang Kiai tidak dituruti.
Pulang nanti mengemis diberkahi.

Pada umumnya kiai merupakan tokoh sentral yang menjadi kiblat di lingkungan pesantrennya. Meskipun dunia pesantren sudah mulai bersentuhan dengan manajemen modern dalam segala hal, tetapi senyampang itu masih berkaitan dengan penanganan secara internal dan bahkan eksternal sekalipun, maka eksistensi dan dominasi keikutsertaan kiai masih sangat diperlukan.

Di luar tipologi leadership yang sering diperbincangkan para ahli manajemen, gaya kepemimpinan kiai dapat dikategorikan sebagai model kharismatik; sebuah kepemimpinan hasil karunia diinspirasi Ilahi (devinely inspired gift). Kharisma yang melekat pada sosok kiai muncul akibat kedalaman ilmu pengetahuan tentang agama yang dibarengi tingkat kesempurnaan pengamalannya, sehingga bertitik dari sini, seorang kiai mempunyai hak otoritas yang tak terbatas terhadap pengelolaan, dan kebijakan pada keberlangsungan pesantrennya. Bahkan segenap kalangan dalam pesantren dan semua lapisan masyarakat mempercayai bahwa sang kiai memiliki derajat yang tinggi di sisi Tuhannya yang mampu dijadikan rujukan atas segala keluh kesah.

Oleh karena itu, menjadi sangat janggal pengakuan dari anak pesantren bahwa dirinya seorang santri, apabila peraturan, tata tertib, dan pengurus pesantren yang merepresentasikan keterwakilan kiai, atau sosok kiai sendiri, seringkali dilanggar dan justeru dilawan. Lebih miris lagi, jika ia hendak berpamitan pulang (boyong) dengan entengnya mencium tangan kiai sembari memohon doa restu tanpa beban sama sekali. Seakan-akan mengiba, seribu maaf atas segala salah betul-betul dipinta, bahkan tak jarang tangis tanda penyesalan benar-benar ditumpahkan. Padahal kepergiannya dari pesantren masih menyisakan setumpuk kesalahan dan tanggungan tak tertebus.

Bagaimana sampeyan ini.
Biaya hidup masih minta dikirimi.
Tapi pada orang tua kurang berbakti.
Pengorbanan mereka tidak diimbangi.
Malah perasaannya selalu disakiti.

Dalam bait ini, penulis mulai mengarahkan pembaca sasaran (santri) untuk membincang kedua orang tuanya setelah sebelumnya mengkaji persoalan-persoalan kepesantrenan. Di awal bait, kembali penulis melontarkan pertanyaan yang diulang. Tentu tujuan kata tanya tersebut memuat semangat agar pembaca sasaran lebih menaruh perhatian terhadap isi berikutnya.

Sebagaimana lazimnya anak-anak sekolah yang masih dibawah tanggungan kedua orang tua, mayoritas keberadaan para santri di komplek pesantren juga tak lepas dari cucuran keringat ayah-ibunya. Seluruh kebutuhan sehari-hari, baik sandang maupun pangan, secara penuh digelontorkan oleh orang tua tanpa pamrih sedikitpun. Kebanyakan fakta yang terjadi menggambarkan betapa anak muda, termasuk kalangan santri, benar-benar menggantungkan diri dari usaha keduanya sekalipun para santri itu telah melewati masa kanak-kanak.

Tentu kedua orang tua tidak akan mengemis balasan apapun dari putranya, tetapi tatkala mereka seringkali memperlihatkan sikap keengganan saat melayani keduanya, apalagi menampakkan perilaku perlawanan dalam mensikapi titah-titah keduanya, maka pasti status kesantrian mereka kurang elok disematkan di pundaknya.

Belum lagi jika secara psikologis, kebaikan yang telah dijulurkan kedua orang tua hanya dibalas dengan respon melukai kalbu keduanya. Menjadikan keduanya bersedih tidak harus disimbolkan dengan sikap melawan keduanya secara fisik saja, tetapi gaya hidup tirani yang menunjukkan keangkuhan di hadapan pengurus, peraturan pesantren atau malah kiai sudah lebih dari cukup untuk menjadikan air mata keduanya menetes. Sebab bagi kedua orang tua, putra yang digadang-gadang bakal menjadi generasi yang pantas dibanggakan, ternyata hanya mewujud menjadi makhluk yang patut dilecehkan.

Tidak ingat sampeyan sering ditangisi.
Justru tertawa, merokok sambil ngopi.
Jarang berdoa dan memfatihai.
Ternyata kepercayaannya dikhianati.

Tak akan ada seorangpun dari setiap anak bakal terputus hubungan batin dengan kedua orang tuanya sekecil apa saja, tidak pula ruang dan waktu mampu memisahkan ikatan keduanya. Se-lama apapun masa yang mengucilkan diantara keduanya, atau se-jauh apapun jarak yang mengasingkan diantara keduanya, tak kan pernah mampu memenggal tali ruh keduanya. Oleh karena itu, tidak heran banyak kasus yang mencontohkan betapa seorang ibu tersedu-sedu meskipun sang suami tetap setia disampingnya, gara-gara ia tengah teringat putra yang berada di rantau non jauh di sana.

Bayangan raut wajah sang putra kian menghiyang di pelupuk mata ibu, tatkala ia telah benar-benar meringkuh dengan nasibnya di teras-teras pesantren. Tentu pada saat-saat demikian ini, tangan kedua orang tua seringkali tengadah di malam yang makin kelam, sementara bibir-bibir keduanya bergetar menyebut nama putranya diantara nama Tuhannya, dan butiran air mata di pipi keduanya tak lagi terhitung. Disertai rasa sangat percaya terhadap keberadaan anaknya di pesantren yang sedang tekun belajar, patuh kepada guru dan peraturannya, serta selalu bergumul dengan kegiatan keilmua, setiap orang tua menaruh harapan besar kelak buah hatinya dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang bisa ditebarkan buat sekelilingnya.

Tetapi di tempat jauh di sana, seorang anak yang berstatus santri tenggelam dalam gemerlap fatamorgana kabahagiaan bersama komunitasnya. Ia telah terjebak ke dalam gaya hidup hedonisme. Ia lupa bahwa di kejauhan sana terdapat sosok yang sedang tertindih oleh keprihatinan mendalam akibat membayangkan kondisi putranya di rantau. Seperti ia sedang alpa merangkai doa-doa untuk keduanya, ia juga telah lalai menghadiahkan seuntai um al-kitab untuk dipersembahkan kepada keduanya. Sang anak santri, kini, sudah benar-benar menjadi anak durhaka dengan berlaku khilaf dan berkhianat atas amanah yang dipercayakan oleh  bapak-emaknya.

Mereka keramat yang harus dihormati.
Ee, dihadapannya sampeyan malah berani.

Padahal sebetulnya, kedudukan orang tua bagi seorang anak seperti kunci pembuka pintu kebahagiaan di dunia sekaligus jendela keselamatan di alam akhirat. Bukankah Rasulallah SAW telah memberikan gambaran kongkrit: "Surga berada dibawah telapak kaki ibu." ?

Banyak orang, termasuk kalangan santri, yang acapkali mencari berbagai macam kebaikan, kemuliaan, kemudahan, atau keberkahan dengan melalui perantara orang-orang shalih dan para wali. Tidak jarang dana rela dikeluarkan, dan tenaga dikuras habis demi untuk bisa bertawasul di atas batu nisan makam-makam mereka. Namun mereka lupa bahwa sejatinya terdapat sosok pribadi agung di sisi Tuhan yang sepantasnya didahulukan sebelum menziarahi orang-orang shalih dan para wali tersebut, yaitu kedua orang tua.

Ghalib terjadi bagi kebanyakan santri, keberadaan kedua orang tua dirasa begitu diperlukan hanya untuk menopang hajat hidup sehari-harinya belaka. Dan yang lebih mencengangkan, bahkan demi untuk memenuhi kepuasan nafsu-syahwat dan keinginan-keinginan pribadi, tak jarang sebagian mereka memeras kedua orang tua sembari tampil bak raja tega. Seakan ujaran "menari di atas penderitaan orang lain" menjadi corak dari gaya hidup kebanyakan santri belakangan ini.

Di tengah moralitas yang kian luntur di kalangan santri, disinyalir etika berinteraksi dengan orang tua sebagaimana ajaran Al-Quran dan hadits, serta tuntunan kiai pesantren juga mulai tidak dinomor-wahidkan.

Apa mungkin selamat akan didapati.
Jika di kakinya tak pernah menciumi.

Padahal sejatinya, wujud kedua orang tua bagi pencari ilmu justeru sangat diperlukan pada aspek terwujudnya pengetahuan yang bermanfaat, dan tergapainya sebuah cita-cita.

Tetapi sayangnya, keagungan orang tua tak urung tercecer oleh kelalaiannya sendiri,

sehingga kaprah terjadi lulusan pesantren cuma menjadi "sampah masyarakat" di tengah-tengah warga kampungnya kendati kealiman yang dimilikinya mengundang decak kagum setiap orang.

Tanpa menafikan banyak faktor, tetapi keramat kedua orang tua termasuk bagian dari penyebab utama yang menentukan peruntungan seseorang dalam segala aspek kehidupan.

Jargon yang seringkali diungkapkan kiai dalam untaian nasihat-nasihatnya kepada para santri, "andai ilmu yang kalian peroleh telah menyentuh ujung langit sekalipun, tidak akan terasa manfaatnya apabila kalian tidak mampu membuat kedua orang tua tersenyum," memang sahih sekali.

Bagaimana sampeyan ini.
Duh, bagaimana sampeyan ini.

Dua bait ini merupakan bagian terakhir dari puisi penulis. Di sini, penulis menutup dengan dua pertanyaan yang sama dengan judulnya. Tetapi tidak sebagaimana maksud penulis di awal yang menginginkan agar terdapat penekanan dan perhatian, pertanyaan-pertanyaan ini lebih cenderung sebagai ungkapan ketercengangan penulis (bahkan mungkin juga mewakili setiap orang tua) atas fenomena-fenomena seperti diungkapkan penulis yang hampir-hampir sudah terlihat menggejala di lingkungan pesantren. Lewat dua pertanyaan ini, penulis seakan nyaris tidak mempercayai fakta sebagian santri yang kontradiktif dengan eksistensi pesantren itu sendiri. Pesantren yang diakui oleh semua pihak sebagai lembaga pendidikan Islam yang sarat dengan pengajaran nilai-nilai akhlak, ternyata tercemari oleh perilaku sebagian santri yang bermodel seperti tersebut.

Absah saja penulis (dan para orang tua) terbelalak menyaksikan kenyataan yang meletup. Tentu saja kondisi semacam ini menyebabkan semua pihak mengelus dada dan merasa prihatin yang mendalam, bahkan tidak menutup kemungkinan para orang tua akan meneteskan air mata. Alhasil, pertanyaan-pertanyaan bait terakhir ini dapat dimaknai sebagai simbol kegelisahan akibat tersentak oleh fenomena yang mecuat.[]

sumber gambar: resplashed.com

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top