Oleh: Muhammad Ilyas
“Definisi
Islam yang totalistik adalah definisi modern. Lahir dari sisi gelap modernitas
yang telah membesarkan ideologi-ideologi totalistik. Walaupun pemahaman
totalistik itu menyerukan semangat, gemuruh dan spirit perjuangan tetapi ia
tidak mempunyai akar dalam sejarah Islam. Secara historis keseluruhan rentan
tradisi intelektual, filsafat, fiqh,
kalam, tasawuf, thariqat, seni dan budaya Islam adalah fenomena majemuk hasil
dari berbagai pengaruh kebudayaan. Seperti sungai besar yang dialiri oleh
banyak anak sungai. Bagaimana kemajemukan tradisi-tradisi itu raib sejengkal
demi sejengkal, mengarus menjadi seragam dan tunggal?” (Farhad Daftary, ed. 2001).
Pada
abad pertengahan dunia Eropa mengalami zaman kegelapan (Dark Age). Masyarakat Eropa
mengalami kemunduran dalam peradaban. Masyarakat yang dipenuhi oleh tahayul,
tidak rasional dalam bertindak, serta pengekangan dalam berpikir.
Mitos-mitos berkembang, tanpa adanya filter untuk membendungnya. Masyarakat
berada dalam ketidaktahuan dan berada dalam lingkaran kebodohan. Hal inidikarenakan dominasi gereja dalam
bidang ilmu pengetahuan terlalu mengikat. Segala hal yang bertentangan dengan
doktrin gereja maka tidak akan diterima. Ketertutupan gereja dari aspek-aspek
yang ada membuat peradaban Eropa berada
dalam titik nadzir.
Pada
masa yang sama peradaban Islam menjadi rujukan ilmuwan
dunia. Peradaban Islam begitu pesatnya sehingga bisa menyebar ke santero dunia.
Bahkan menjadi kiblat ilmu pengetahuan pada zamannya. Banyak para filsuf dan
ilmuwan yang lahir pada masa ini, diantaranya
adalah Ibnu Rusyd (Averous), Al-Kindi, Al-Khawarizmi,
Al-Ghazali dan lainnya.
Sosok
filsuf dan ilmuwan seperti Ibnu Rusyd dan al-Ghazali
memberikan sumbangsih yang besar terhadap khasanah keilmuan dan peradaban.
Beliau adalah ilmuwan yang luar biasa, mereka hidup dalam bingkai kultur
keintelektualan tinggi, yang bisa menguak keilmuan sebegitu dalamnya. Kultur
akademik dan kultur keintelektualan tingkat tinggi itulah yang membawa
peradaban dunia kepuncak kejayaan.
Beliau
sangat produktif dalam membuat karya intelektual yang hebat. Al Ghazali
mengarang kitab kurang lebih 28, diantaranya kitab yang terkenal adalah Ihya’ Ullumuddin, Tahafut al-Falasifah,
al-Risalah al-Ladunniah, Mi’yar al-Ilmi, Fadhaih al-Bathiniah, Minhaj al-Abidin,
dan lain-lain. Sedangkan Ibnu Rusyd menghasilkan
karya Bidayah al-Mujtahid (kitab ilmu
fiqih), Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at min
al-Ittisal, serta kitab yang fenomenal yaitu Tahafut at-Tahafut.
Tradisi
intelektual ini terjadi berabad-abad yang lalu, dengan keterbatasan teknologi
kepenulisan, transportasi yang masih tradisional, alat komunikasi yang
terbatas, akses informasi yang serba susah, media untuk menulis masih terbatas,
dan keadaan yang masih serba kekurangan. Tetapi tidak ada alasan untuk tidak
membuat karya bagi filsuf ini. Beliau dengan semangatnya menjaga tradisi
keilmuan ini dengan menghasilkan karya-karya besar.
Bahkan al-Ghazali
juga menulis kata mutiara yang patut ditiru oleh generasi Islam sekarang,
yaitu “ jika engkau bukan anak raja, atau anak seorang ulama besar maka
menulislah.” Hal ini menunjukan bahwa pentingnya menjaga
tradisi Islam dengan menulis. Menuangkan ide-ide besar dalam tulisan, menjaga
tradisi yang memang harus dilindungi. Jika tradisi ini lebih diintenskan lagi
maka khasanah pengetahuan Islam juga akan bertambah, tidak mandek, dan terus
berdialektika.
Perbedaan
pendapat antara filsuf satu dan filsuf yang lain merupakan hal yang biasa.
Perbedaan-perbedaan tersebut cukup mencolok, tetapi yang perlu diteladani dari
para filsuf ini adalah membuat berdialektikanya ilmu pengetahuan, dan saling
melengkapi teori satu dengan teori yang lain. Hal ini bisa diketahui dari dua
filsuf besar yaitu al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Keduanya merupakan pemikir ulung,
dan beberapa teori-teori telah mereka buat, baik dibidang keagamaan maupun
filsafat. Keduanya mempunyai pemikiran yang berbeda, Al-Ghazali mengarang kitab
Tahafut al Falasifah (incorehable of
philosopher), kemudian Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan al Ghazali dan
pada akhirnya ia menulis kitab yang berjudul Tahafut at Tahafut.
Ada
nilai-nilai yang patut kita ambil dari tradisi tersebut, di antaranya
yang pertama adalah tradisi menulis. Al
Ghazali dan Ibnu Rusyd sudah melakukannya, walaupun keduanya berbeda pendapat tetapi
disikapi secara bijak yang berlandaskan keintelektualan. Mereka berdua
menyadari bahwa menulis merupakan senjata utama untuk memperbaiki peradaban
yang ada. Dengan menulis mereka menuangkan ide-ide yang ada dalam
pemikirannyadan bisa terdokumentasi dengan baik, sehingga bisa dipelajari oleh
generasi selanjutnya.
Yag kedua adalah peningkatan budaya
intelektual yang mereka pegang teguh. Dengan mempertahankan budaya intelektual
mereka mampu menjawab permasalahan sosial masyarakat yang ada pada zamannya,
bahkan ada yang masih relevan hingga saat ini. Tradisi intelektual yang sudah
lama ada ini harus kita pertahankan, al-muhafadzah
ala al-qodimi al-sholih, harus kita amalkan, bukan hanya menjadi
jargon-jargon saja, atau hanya digunakan untuk kepentingan yang pragmatis,
(menanggapi HTI, Teror, dan lain sebagainya). Tetapi kita lupa ruh dari menjaga
tradisi yang baik tersebut. Menjaga tradisi hanya digunakan untuk
mempertahankan hal-hal yang bersifat sekunder (tahlilan, sholawatan, dan
tradisi lainnya). Kita merasa terhina dan terinjak-injak harga diri ketika ada
beberapa kelompok melecehkan tradisi tersebut, dan kita merasa tenang-tenang
saja ketika kita kehilangan tradisi keintelektualan yang diwariskan oleh para
ulama besar.
Yang paling
disayangkan lagi dari generasi saat ini adalah ketika berbeda pendapat antara
kelompok satu dengan kelompok yang lain tidak lagi disikapi secara dewasa dan
secara intelektual, melainkan disikapi secara negatif, misalnya dengan fitnah,
dan hate speech. Hal ini dibuktikan
dengan beberapa kelompok yang mengatas namakan “garis lucu, garis tegak, garis miring dan garis-garis lainnya” tetapi kelompok tersebut tidak
didasari oleh landasan intelektual yang kokoh. Sehingga yang ada adalah konflik-konflik
yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Tugas kita
bersama adalah meningkatkan budaya menulis yang berdasarkan budaya intelektual
yang tinggi. Dengan menerapkan kedua nilai tersebut secara istiqomah akan
membuat generasi sekarang dan generasi selanjutnya akan lebih berkualitas,
serta mampu untuk membuat peradaban lebih maju. Jangan sampai kita terjerumus
pada zaman kegelapan lagi, yang membuat masyarakat dalam titik nadir peradaban.
“Warisilah apinya bukan abunya” (Soekarno).
sumber gambar: resplashed.com
Daftaf
Bacaan
Farhad,
Daftary. 2001. Tradisi-tradisi
Intelektual Islam. Jakarta: Erlangga
Badri,
Yatim. 2011. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: Raja Grafindo
Susmihara
dan Rahmat. 2013. Sejarah Klasik Islam.
Yogyakarta: Ombak
Khudori,
Sholeh. 2014. Filsafat Islam. Arruz
Media: Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment