Sunday, February 7, 2016

(Masih) Tentang Galau Yang Tak Kunjung Usai

1:08 PM


 Oleh: Najmah Muniroh

Adalah wajib bagi para enterpreneur, pedagang dan juragan untuk mengenali kondisi pasar dengan baik sebelum memasarkan produk. Dan sepertinya, para saudagar kaya raya ini sadar betul bahwa Indonesia adalah surganya para hijabers, kiblat hijab dunia. Dan dari perkawinan antara desainer dengan enterpreneur maka lahirlah berbagai macam model hijab kekinian dengan berbagai macam bentuk, kualitas dan merek. Zoya,  sebagai merek panutan hijab syar’i keren ternama di Indonesia tahu benar bagaimana memanfaatkan kenaifan masyarakat kita yang takut neraka. Hingga kerudungpun perlu sertifikat halal. Lagipula siapa juga berani main-main sama neraka hah? Saya pikir cerdas juga ini bakul hijab memanfaatkan kesempatan. Lha wong di negara gemah ripah loh jinawi ini agama bisa ‘dipasarkan’ kok. Lalu mengapa ‘pasar’ tidak bisa di-‘agama’-kan. Jadi jangan heran kalau Yang Mulia MUI unjuk gigi dengan sertifikat saktinya.

Semenjak beredar isu sertifikat halal ini, galaulah saya sebagai muslimah kekinian. Karena jika Zoya berbangga dengan label kerudung pertama yang bersertifikat halal, berarti selama ini kerudung yang saya pakai tidak halal dong. Duh, percumalah saya salat jengkulat-jengkulit, menghafalkan Alquran dan menutup aurat kalau saya menutup aurat dengan produk yang tidak halal. Tak hanya berhenti di situ, penyesalan dan kegalauan saya makin bertambah parah setelah melirik label harga di gerai resmi. Cem mana tak galau awak ni kalau untuk membeli kerudung ‘halal’ awak harus merogoh kocek dalam-dalam. Kalau biasanya dengan uang 70 ribu saya mampu membeli kerudung tujuh macam kerudung berbeda, maka kali ini saya harus puas dengan satu macam kerudung. Tidak apa-apa mahal. Yang penting ‘halal’. Hmm... baiklah, sepertinya saya harus mulai menabung dari sekarang, karena di negara ini cap halal lebih penting daripada menutup aurat. Mungkin kalau saya sudah membeli hijab bercap halal MUI dosa saya bisa diampuni Gusti Allah karena selama ini saya pakai kerudung tidak halal. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Lagipula, untuk mencapai surga memang tidak murah. Memangnya surga itu kavlingan embahmu apa? Dan untuk ‘kebahagiaan abadi’ di surga, tujuh puluh ribu tidak seberapa bukan? Lagi pula sudah kewajiban saya sebagai manusia biasa yang bukan siapa-siapa, untuk taat pada Majelis Ulama Indonesia. Dengan taat, maka tunailah kewajiban saya  sebagai individu Pancasila Berketuhanan Yang Maha Esa.

Setelah kewajiban individu selesai maka ada lagi PR sebagai makhluk sosial yang menanti. Sebagai manusia yang zoonpoliticon, tentu tak elok jika saya ribut dengan kegalauan diri sendiri tapi abai dengan kegalauan manusia-manusia di sekitar saya, termasuk bakul hijab di Pasar Besar dekat tempat domisili saya sekarang. Bukan apa-apa sih ya, saya takut saja begitu kalau tiba-tiba semenjak keluar sertifikat halal ini, kemudian MUI razia pasar-pasar dan produsen kerudung seperti yang biasa dilakukan untuk produk kosmetik, makanan dan minuman. Kalau kejadian beneran, bangkrutlah bandar.

Duh, ingin rasanya saya mengadu kepada Nabi Muhammad tentang ajaibnya Indonesia Raya tempat kelahiran saya ini. Karena untuk menjadi muslimah Indonesia kekinian ternyata tantangannya berat sekali. Kok ya dari bangun tidur sampai tidur lagi rasanya perbuatan saya dosa semua. Lha wong tiap hari saya pakai produk Unilever macam Pepsodent dan saudara-saudaranya. Padahal Unilever adalah penyumbang terbesar bala tentara Israel yang kejam. Saya minum Coca-Cola, saya sering makan di McDonalds juga. For your information, biasanya saya mampir ke McDonalds bareng turis-turis yang saya pandu nge-trip mendaki gunung lewati lembah. Masak ya saya tolak traktiran turis saya, lha wong gratis, tinggal makan, dagingnya halal. Mc D pun mengantongi sertifikat halal MUI loh. Tapi ya begitu, Mc D masuk di daftar penyumbang Israel juga. Setidaknya itu yang saya baca dari groupWhatsapp. By theway, Whatssapp sudah dibeli Mark Zuckerberg orang Yahudi bos geng Facebook khan ya? Astaghfirullah, bertambahlah dosa saya karena sehari-hari memakai produk mereka. Itu baru produk yang saya konsumsi dan pakai loh, belum lagi jaminan kesehatan produk pemerintah yaitu BPJS. Nasib BPJS pun tak jelas, MUI mengharamkan kemudian menarik keputusan dan menghalalkannya kembali dengan berbagai pertimbangan. Duh, makin bingunglah saya.

Sialnya, dosa rutin saya tidak hanya itu. Saya juga demen selfie. Padahal Al-MukarromUstad Felix Siaw yang muda, keren, modern dan pengguna aktif Twitter sudah ndawuh di kultwitnya bahwa selfie itu HARAM karena berujung pada sifat takabur, riya’ dan ujub. Duh Pak Ustadz, saya belum dunung sampai sekarang karena njenengan mengharamkan selfie tapi malah jadi Juri Selfie, sudah begitu njenengan ngetwit begini “Yang masih mau ikutan SELFIE #selfieby Hijab Alia, Ahad 14/12/2014 di Gedung SMESCO, JKT, mumpung HTM masih promo”. Oh iya, waktu itu khan njenengan kerjasama dengan Hijab Alia ya. Alia loh ya... Bukan Zoya. Soalnya Zoya jauh dari haram. Khan ada sertifikat halalnya. Wahai Ustadz, kalau selfie njenengan hukumi haram maka berkabunglah perempuan kekinian, laki-laki kemayu, remaja alay dan Mahmud Abas (red: Mamah Muda Anak Baru Satu) seluruh dunia. Bagaimana tidak sedih jika hiburan kami kau putusi HARAM. Lalu bagaimana nasib Camera 360, B 12, Beauty Plus dan Instagram milik kami. Haruskah kami uninstall sekarang juga?  Ngomong-ngomong njenengan ndak kepengen ittiba’ jejak MUI yang menarik fatwa tah?

Galau saya ini bukan tidak beralasan Ustadz Felix, saya menggalau berkepanjangan begini karena saya pernah baca dawuh visioner Sayyidina Ali karromallahu wajhah yang menggambarkan keadaan zaman akhir yang begini bunyinya:

“Aku khawatir dengan suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan. Keyakinan hanya tinggal pemikiran yang tak berbekas dalam perbuatan. Banyak orang baik tapi tak berakal, ada orang berakal tapi tak beriman. Ada lidah fasih tapi berhati lalai. Ada yang khusyu’ namun sibuk dalam kesendirian. Ada ahli ibadah namun mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat rendah hati bagai sufi. Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat. Ada yang menangis karena kufur nikmat. Ada yang murah senyum namun hatinya mengumpat. Ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut. Ada yang berlisan bijak namun tak memberi teladan. Ada pezina yang tampil menjadi figur. Ada yang punya ilmu tapi tak paham. Ada yang paham tapi tak menjalankan. Ada yang pintar tapi membodohi. Ada yang bodoh tapi tak tahu diri. Ada yang beragama tapi tak berakhlaq. Ada yang berakhlaq tapi tak bertuhan”.

Lalu di antara semua itu di manakah saya berada, Ustadz?![]

sumber gambar: gratisography.com

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top