Oleh: Najmah Muniroh
Adalah wajib bagi para enterpreneur, pedagang
dan juragan untuk mengenali kondisi pasar dengan baik sebelum memasarkan produk. Dan sepertinya, para saudagar kaya raya ini sadar
betul bahwa Indonesia adalah surganya para hijabers, kiblat hijab dunia. Dan dari
perkawinan antara desainer dengan enterpreneur maka lahirlah berbagai macam model hijab
kekinian dengan berbagai macam bentuk, kualitas dan merek. Zoya, sebagai merek panutan hijab syar’i keren
ternama di Indonesia tahu benar bagaimana memanfaatkan kenaifan masyarakat kita
yang takut neraka. Hingga kerudungpun perlu sertifikat halal. Lagipula siapa juga berani main-main sama
neraka hah? Saya pikir cerdas juga ini bakul
hijab memanfaatkan kesempatan. Lha wong di negara gemah ripah loh
jinawi ini agama bisa ‘dipasarkan’ kok. Lalu mengapa ‘pasar’ tidak bisa di-‘agama’-kan. Jadi jangan heran kalau Yang Mulia MUI unjuk
gigi dengan sertifikat saktinya.
Semenjak beredar isu sertifikat halal ini, galaulah saya
sebagai muslimah kekinian. Karena jika Zoya berbangga dengan label kerudung
pertama yang bersertifikat halal, berarti selama ini kerudung yang saya pakai
tidak halal dong. Duh, percumalah saya salat jengkulat-jengkulit,
menghafalkan Alquran dan menutup aurat kalau saya menutup aurat dengan produk yang
tidak halal. Tak hanya berhenti di situ, penyesalan dan kegalauan saya makin bertambah parah setelah
melirik label harga di gerai resmi. Cem mana tak galau awak ni kalau untuk membeli kerudung ‘halal’ awak harus
merogoh kocek dalam-dalam. Kalau biasanya dengan uang 70 ribu saya mampu membeli
kerudung tujuh macam kerudung berbeda, maka kali ini saya harus puas dengan
satu macam kerudung. Tidak apa-apa mahal. Yang penting ‘halal’. Hmm... baiklah, sepertinya saya harus mulai
menabung dari sekarang, karena di negara ini cap halal lebih penting daripada
menutup aurat. Mungkin kalau saya sudah membeli hijab bercap halal MUI dosa
saya bisa diampuni Gusti Allah karena selama ini saya pakai kerudung tidak
halal. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Lagipula, untuk mencapai surga memang tidak murah. Memangnya surga itu
kavlingan embahmu apa? Dan untuk ‘kebahagiaan abadi’ di surga, tujuh puluh ribu
tidak seberapa bukan? Lagi pula sudah kewajiban saya sebagai manusia biasa
yang bukan siapa-siapa, untuk taat pada Majelis Ulama Indonesia. Dengan taat,
maka tunailah kewajiban saya sebagai individu
Pancasila Berketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah kewajiban individu selesai maka ada
lagi PR sebagai makhluk sosial yang menanti. Sebagai manusia yang zoonpoliticon,
tentu tak elok jika saya ribut dengan kegalauan diri sendiri tapi abai dengan
kegalauan manusia-manusia di sekitar saya, termasuk bakul hijab di Pasar
Besar dekat tempat domisili saya sekarang. Bukan apa-apa sih ya, saya takut
saja begitu kalau tiba-tiba semenjak keluar sertifikat halal ini, kemudian MUI
razia pasar-pasar dan produsen kerudung seperti yang biasa dilakukan untuk
produk kosmetik, makanan dan minuman. Kalau kejadian beneran, bangkrutlah
bandar.
Duh, ingin rasanya saya mengadu kepada Nabi
Muhammad tentang ajaibnya Indonesia Raya tempat kelahiran saya ini. Karena untuk
menjadi muslimah Indonesia kekinian ternyata tantangannya berat sekali. Kok ya
dari bangun tidur sampai tidur lagi rasanya perbuatan saya dosa semua.
Lha wong tiap hari saya pakai produk Unilever macam Pepsodent dan
saudara-saudaranya. Padahal Unilever adalah penyumbang terbesar bala tentara
Israel yang kejam. Saya minum Coca-Cola, saya sering makan di McDonalds juga. For
your information, biasanya saya mampir ke McDonalds bareng turis-turis yang saya pandu nge-trip
mendaki gunung lewati lembah. Masak ya saya tolak traktiran turis saya, lha
wong gratis, tinggal makan, dagingnya halal. Mc D pun mengantongi
sertifikat halal MUI loh. Tapi ya begitu, Mc D masuk di daftar penyumbang
Israel juga. Setidaknya itu yang saya baca dari groupWhatsapp. By theway, Whatssapp sudah dibeli Mark Zuckerberg orang
Yahudi bos geng Facebook khan ya? Astaghfirullah,
bertambahlah dosa saya karena sehari-hari memakai produk mereka. Itu baru produk yang saya konsumsi dan pakai loh,
belum lagi jaminan kesehatan produk pemerintah yaitu BPJS. Nasib BPJS pun tak
jelas, MUI mengharamkan kemudian menarik keputusan dan menghalalkannya kembali
dengan berbagai pertimbangan. Duh, makin bingunglah saya.
Sialnya, dosa rutin saya tidak hanya itu. Saya
juga demen selfie. Padahal Al-MukarromUstad Felix Siaw yang muda, keren,
modern dan pengguna aktif Twitter sudah ndawuh di kultwitnya bahwa
selfie itu HARAM karena berujung pada sifat takabur, riya’ dan ujub. Duh
Pak Ustadz, saya belum dunung sampai sekarang karena njenengan
mengharamkan selfie tapi malah jadi Juri Selfie, sudah begitu njenengan ngetwit
begini “Yang masih mau ikutan SELFIE #selfieby Hijab Alia, Ahad 14/12/2014 di
Gedung SMESCO, JKT, mumpung HTM masih promo”. Oh iya, waktu itu khan njenengan kerjasama dengan Hijab Alia ya. Alia loh ya... Bukan Zoya. Soalnya Zoya jauh
dari haram. Khan ada sertifikat halalnya. Wahai Ustadz, kalau selfie njenengan
hukumi haram maka berkabunglah perempuan kekinian, laki-laki kemayu, remaja
alay dan Mahmud Abas (red: Mamah Muda Anak Baru Satu) seluruh dunia. Bagaimana
tidak sedih jika hiburan kami kau putusi HARAM. Lalu bagaimana nasib Camera 360, B 12, Beauty Plus dan Instagram milik
kami. Haruskah kami uninstall sekarang juga? Ngomong-ngomong njenengan ndak kepengen ittiba’ jejak MUI yang menarik fatwa tah?
Galau saya ini bukan tidak beralasan Ustadz
Felix, saya menggalau berkepanjangan begini karena saya pernah baca dawuh visioner Sayyidina Ali karromallahu wajhah yang menggambarkan keadaan zaman akhir yang begini bunyinya:
“Aku khawatir dengan suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan. Keyakinan hanya tinggal pemikiran yang tak berbekas dalam perbuatan. Banyak orang baik tapi tak berakal, ada orang berakal tapi tak beriman. Ada lidah fasih tapi berhati lalai. Ada yang khusyu’ namun sibuk dalam kesendirian. Ada ahli ibadah namun mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat rendah hati bagai sufi. Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat. Ada yang menangis karena kufur nikmat. Ada yang murah senyum namun hatinya mengumpat. Ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut. Ada yang berlisan bijak namun tak memberi teladan. Ada pezina yang tampil menjadi figur. Ada yang punya ilmu tapi tak paham. Ada yang paham tapi tak menjalankan. Ada yang pintar tapi membodohi. Ada yang bodoh tapi tak tahu diri. Ada yang beragama tapi tak berakhlaq. Ada yang berakhlaq tapi tak bertuhan”.
Lalu di antara semua itu di manakah saya berada, Ustadz?![]
sumber gambar: gratisography.com
0 komentar:
Post a Comment