Musim Semi Itu
Indonesia merupakan bangsa besar dengan penduduk. ± 125 juta jiwa,
bangsa yang memiliki ratusan suku sebagai cagar budaya, bangsa dengan seribu
kepulauan yang subur, bangsa yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia.
Sampai hari ini 90% penduduk bangsa ini pemeluk agama Islam sejak terlepas dari
kekuasaan agama Hindu dan Budha pada 7 abad yang silam. Dengan tertatih-tatih
rakyat bangsa ini melepaskan diri dari kekafiran melalui bimbingan para sunan
pulau Jawa—manusia yang mendapat ilham untuk berdakwah di pulau Jawa. Dengan
kelemahlembutan, mereka membawa manusia dari millah jahiliyah menuju
cahaya Islam yang mahligai. Berbagai episode perjuangan dan peperangan silih
berganti mereka hadapi untuk mengakarkan millah Ibrahim ini.
Sejarah mencatat tentang perjuangan dan keberanian mereka
memberangus penghambaan pada berhala-berhala setan, seperti Raden Patah, Sunan Giri
dan mereka yang berprinsip Islam secara murni. Dan kelelahan, ketabahan serta
kesabaran mereka ini pada akhirnya membentuk kebijaksanaan mereka dalam
menjalani hidup di dunia sekaligus begitu berhati-hati supaya tidak lengah
sehingga melupakan kehidupan kekal (akhirat) di episode selanjutnya.
Bisa dibilang, pada zaman itu Islam Nusantara seperti taman bunga
memasuki musim semi—berjaya dan gemilang—di bumi nusantara, terlebih di pulau
jawa.
Kemandulan Islam
Seperti halnya di Timur Tengah, Turki, Spanyol dan lain sebagainya,
Islam di Nusantara juga mengalami kemunduran sejak imprialisme ketamakan Belanda
menyelinap memasuki kedamain bangsa ini selama 3 abad lebih. Terlalu lama untuk
disebut penjajahan. Terlalu sakit untuk dikenang.
Mereka yang barbaris, hedonis, tamak dan biadab telah menginvasi
rakyat, mulai dari mental, kemerdekaan mereka sebagai manusia, politik,
kekayaan alam serta kembali memupuk berhala-berhala yang telah lama mati.
Bersama cukong-cukong yang berhati busuk dan bermental penakut, biadab dan
seluruh tabiat bangsat di jiwa mereka—misalnya Danurejo IV—kolonial Belanda
memeras keringat rakyat sampai tidak tersisa, kerja paksa serta kebiadaban
lainnya telah memadamkan semangat keagamaan mereka dan menanamkan keputusasaan
untuk berharap di hari esok. Krisis kepedulian sosial di berbagai elemen tumpah-ruah
membanjiri semua kalangan, sehingga tercipta yang kaya akan semakin kaya dan
simiskin kian tercekik oleh zaman penjajahan. Akibatnya kejahatan dan kebiadaban
seperti perampokan, pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan serta kebodohan
tumbuh subur di zaman itu. Hanya segelintir dari mereka yang selamat dari
kebiadaban zaman pada waktu itu meskipun mereka yang mempertahankan akidahnya
harus memiliki kesabaran dan kekuatan seperti orang yang memegang bara api.
Jepang dengan kaisar bodohnya juga ingin memadamkan api tauhid
Islam yang sudah kritis di bangsa ini, dengan cara membungkuk kepada kaisar
sebagai penghormatan yang terkenal denga upacara Seikerei. Namun Tuhan masih
tetap membela millah Ibrahim dan memberi pertolongan pada bangsa ini
untuk mempertahankan eksistentensi ketuhanan yang absolut.
Tercatat, bangsa penyembah matahari ini menjajah bumi nusantara
selama ± 3 tahun (1942-1945), namun tingkat kesadisan dan kebiadaban mereka
sangat patut untuk dikatakan "kebiadaban manusia yang lahir dari rahim
penyembah setan", yang lazimnya sikap penyembah setan itu tamak, angkuh,
biadap dan bangsat.
Singkatnya, pada zaman itu Islam seperti bunga memasuki akhir musim
semi, layu. Bahkan tak jarang, para kiai sebagai pemimpin spritual rakyat yang
berupaya untuk bangkit atau paling tidak mempertahankan akidah diserang dan
dihukum atau malah dibunuh dengan cara ditembak dengan biadab.
Kebangkitan Islam
Memasuki abad ke 19 M. Islam kembali menampakkan sinar
keberaniannya, cahaya harapan yang sempat redup telah terbit di ufuk timur,
banyak putra bangsa yang bangun dari tidur yang berkepanjangan, bangkit dan
mempelajari Islam dari satu pintu ke pintu yang lain bahkan sampai ke Mekah
untuk memperdalam dan menemukan ruh hakikat keberanian Islam yang bisa membuat
mereka bersemangat dan memberi semangat untuk bangkit pada manusia lainnya.
Misalnya Syaikhana Khalil, Kiai Shaleh Darat, Kiai Muhammad Dahlan dan
Rais Akbar Kiai Hasyim As'ari. Kiai yang disebut terakhir adalah salah satu ujung
tombak kemerdekaan bangsa dari penjajah serta pendiri organisasi keagamaan yang
terkuat dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari segala kesederhanaan sikap kiai
ini, lahir pejuang-pejuang bangsa yang gagah berani dan pasukan berani mati, setelah
beliau menfatwakan wajib jihad membela agama Islam dan bangsa saat negara
sekutu mencoba kembali menginjakkan kaki untuk menjajah pada tahun 1945,
beberapa bulan setelah bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya pada tgl 17
Agustus 1945.
Dari sekian ribu pahlawan bangsa Indonesia yang lahir dari
kewibawaan Islam, yang termashur adalah Bung Tomo. Pekikan "Allahu Akbar!"-nya
memberi semangat yang meggelora dan harapan merdeka di hari esok atau kerinduan
syahid di jihad fisabilillah. Catatan sejarah menjadikan tanggal 10 November
Tahun 1945 itu sebagai Hari Pahlawan yang selalu dikenang oleh bangsa—merekalah
kaum bersarung murni didikan Islam. Dan masih banyak lagi sejarah keberanian
dan keperwiraan Islam yang gagah berani mengusir kebiadaban dan mempertahankan
bangsa ini dari ketamakan, barbarisme kolonial Belanda dan Jepang, seperti Bung
Karno dan Bung Hatta, yang keduanya merupakan Presiden dan wakil President
pertama di bumi Indonesia. Di zaman ini, cukup sulit menemukan kemampuan
memimpin bangsa seperti yang beliau lakukan, dari sebab itu As-Sayyidi al-Habib
Muhammad Luthfi mengajak bangsa Indonesia untuk menghormati beliau bahkan
terhadap foto beliau yang ada di lembaran Rp 100.000—sekedar penghormatan.
Islam dan pemeluknya telah menyelamatkan bangsa ini dari pengafiran,
ketamakan, kebiadaban dan kelicikan kolonial Belanda dan Jepang. Menyitir
perkataan Muhammad Massad: "Bukanlah umat Islam yang telah membuat
Islam itu besar; Islamlah yang telah membuat umat Islam itu menjadi besar."
Era Jahiliyah Di Abad Ini
Sayangnya, millah jahiliyah di abad milenium ini kembali
mengepak sayap cacatnya, Banjir kebejatan moral telah melanda semua kalangan
bangsa Indonesia. Pemuasan hawa nafsu menjadi patokan utama sebagai tujuan
menjalani hidup, pemimpin beserta rakyatnya sama-sama berlomba dalam mewujudkan
kesenangan diri, kemewahan dan keroyalan sampai pada tahap pantas untuk
dituding sebagai sahabat setan—mubadzir.
Kita bisa melihat dan mendengar bahwa sebagian besar harga jam
tangan anggota dewan cukup untuk memberi makan orang miskin sekampung, artis
yang memamerkan keindahan fashion-nya dengan harga yang tidak
memungkinkan kalau melihat kemiskinan yang membludak di bangsa ini. Mereka yang
terbudak oleh hawa nafsu tampaknya sangat lihai menontonkan cara kesombongan
ala setan—Fun, Fashion dan Food.
Paham hedonisme, telah mengakar kuat di bangsa ini, membusuk di semua
sendi otak, meniru masyarakat Barat yang materialistis sehingga semua harus
bersifat uang dan materi. Itulah sebabnya kebobrokan negeri ini semakin tak
terbendung. Politik kotor semakin menjadi, dan puncaknya panggung orang-orang
berdasi ini menjadi tempat favorit mangkalnya penyamum. Sudah tak terhitung
berapa banyaknya rangkaian tayangan televisi yang menayangkan kasus maling
negara ini seraya tersenyum dan berdada di depan kamera. Belum lagi persekongkolan
mereka dengan masyarakat barat untuk menggerus kekayaan alam Bangsa Indonesia.
Aduhai, Indonesia sudah sekarat!
Moral bangsa dipertaruhkan, martabat bangsa tergadaikan, oleh
kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab dan karena mereka inilah banyak
orang yang melacur, merampok, menipu dan seluruh bentuk keputusasaan yang lain
karena terjepit kemelaratan yang tak kunjung usai.
Sementara umat Islam masih sibuk dengan mementingkan kubu-kubu
mereka dan melakukan pembelaan yang berlebihan sehingga lalai pada tugas yang
paling penting peranannya di dunia—khalifah.
Para cendekiawan Islam yang seharusnya memperhatikan sekaligus
membenahi arus biadabnya jahiliyah yang semakin mencemaskan, lebih mementingkan
pengkafiran pada saudaranya yang tidak sepaham, lebih suka memupuk dengki-dendam
daripada berangkulan tangan demi maslahat umat.
Karena itulah kebejatan moral semakin menggerus pewaris tahta
bangsa, belum lagi cahaya Islam yang meredup oleh karena banyaknya organisasi
keislaman yang tak bertanggung jawab. Kebodohan mereka yang hendak membela
Islam malah menghancurkan Islam, hendak memuliakan Islam malah menghina Islam,
hendak menampakkan kewibawaan Islam malah memberi kesan bahwa Islam agama
teroris yang biadab, kotor dan puritan. Ruh Islam yang rahmatan lil alamin
tertutupi oleh kepentingan-kepentingan pribadi, bahkan tak jarang ketulusan
Islam dijadikan sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan nafsunya yang buas.
Singkatnya, di zaman ini bangsa Indonesia yang berpenduduk muslim
terbanyak tak mampu menjadikan Islam sebagai acuan hukum dan sandaran bangsa.
Padahal, seperti yang dikatakan Muhammad Massad di depan, jika
bangsa ini ingin besar, dihormati, berwibawa di hadapan kawan, ditakuti oleh
lawan rakyatnya harus bermental Islam yang gagah berani.
Penghancur Peradaban Islam
Setelah mencoba merenungi alasan demi alasan peristiwa ini, penulis
menemukan tiga golongan terpenting yang menyebabkan bangsa ini bobrok dengan
teramat sangat memilukan.
1. Pemimpin. Sebagian besar pemimpin bangsa ini sudah tidak
lagi beragama (ateis), dan lebih memilih aturan atau gaya hidup barat yang
bejat, boros dan tamak. Bagaimana mungkin mereka kita bela mempunyai agama?
Padahal sudah jelas sabda Rasulullah SAW bahwa "tidak beragama orang yang
tidak menunaikan amanah". Kita bisa melihat dewasa ini, bagaimana sikap
mereka terhadap amanah bangsa yang dibuang ketempat sampah dengan cara yang
paling mengerikan. Mereka lebih mementingkan nafsu duniawi, keserakahan sampai
pada tahap tidak tahu malu, dan kepuasan birahi hewani, daripada menulis
sejarah yang baik untuk dirinya. Apabila mereka ditanya kapan bangsa ini akan
bangkit, jawaban mereka "sabar, sabar dan tunggu" geram menggelutuk
saat mendengar mereka memberi jawaban ini sambil nyengir.
2. Ulama. Sebagian besar dari golongan mereka sudah acuh
dalam urusan amar makruf nahi mungkar. Mereka lebih suka berdebat dan
mengafirkan satu sama lain demi membenarkan pendapatnya sendiri daripada fokus
maslahat umat, mereka lebih suka memberikan lelucon daripada menceritakan
sejarah keemasan Islam, mereka lebih suka dipuji daripada menahan rasa sakit
demi amar makruf nahi mungkar, mereka lebih suka mempertontonkan hal-hal yang
tidak sewajarnya daripada menjaga marwah, bahkan dari sebagian mereka, mau
menjadi budak iklan produk murahan. Keengganan mereka untuk tulus mendidik
bangsa persis kaum Yahudi sebagaimana yang didawuhkan KH. Maimun Zubair "Wong
Yahudi iku biyen gelem mulang angger dibayar, tapi akehe kiyai saiki ngalor
ngidul karo rokoan ora gelem mulang nak ora dibayar, gelem mulang angger
dibayar." (Orang Yahudi dulu mau mengajar kalau dikasih uang, tetapi
kebanyakan kyai sekarang mondar-mandir sambil rokoan tidak mau mengajar kalau
tidak dikasih uang).
Dan yang aneh, ancaman Allah swt. kepada orang yang berilmu namun
tidak mengamalkan, menyuruh tapi tidak melakukan, memerintah tapi malah
melakukan lebih dulu dengan ancaman yang lebih dahsyat daripada penyembah
berhala, mereka anggap sebagai hal yang lumrah dan disikapi dengan senyum.
Golongan yang kedua ini, apabila ditanya kemandulan Islam dibumi pertiwi hanya
bisa menjawab dengan menuduh bangsa Yahudi dan Nasrani sebagai biang keladinya.
Mereka tidak sadar, bahwa panglima pasukan kelompok musuh Islam itu adalah
(kebodohan) mereka.
3. Rakyat. Kebodohan mereka terlampau teramat sangat. Mereka
tidak mengidahkan sabda Rasulullah SAW yang melarang memberikan (memilih)
kepemimpinan kepada orang yang memintanya atau yang berusaha memperolehnya.
Alih-alih mereka ikut, malah mereka membuat semboyan "ada uang, ada
suara" yang menunjukkan betapa bodoh dan primitifnya otak mereka,
terbelakang dan telah menjadi kaum matrealistis. Mereka ibarat anak domba yang
memilih ikut serigala daripada ikut induknya.
Golongon terbodoh ini akan melakukan demo besar-besaran dan
mengamuk dengan membabi buta seraya berselogan "kami rakyat negara yang
bebas berdemokrasi".
Dan ketiga golongan diatas satu sama lain sudah tidak mau lagi
menjaga aib sesama, yang satu membuka aib yang lain dan seterusnya. Padahal
As-Sayyid al-Habib Muhammad luthfi telah mengingatkan dengan dawuhnya
"Begitu juga dalam kehidupan berbangsa. Kalau kita menutupi aib saudara
kita sebangsa, atau pejabat kita, atau Negara kita, maka bangsa lain pun tidak
berani memojokkan bangsa kita. Bangsa lain memojokkan bangsa kita, tidak
menghormati bangsa kita karena kita sendiri yang membuka aib bangsa kita".
Ketiga-tiganya di atas disebabkan keengganan dan kemalasan mereka
untuk mempelajari dan memasuki (mengamalkan) Islam secara kaffah.[]
0 komentar:
Post a Comment