Monday, October 24, 2016

Menggagas Ma'had Aly Di Desa Ganjaran

3:21 PM

cambridge_university

Oleh: Muhammad Madarik

Sebagaimana sudah dimaklumi banyak pihak, desa Ganjaran merupakan lumbung ilmu pengetahuan. Selain lembaga-lembaga keagamaan, dan lembaga pendidikan formal, di desa Ganjaran terdapat berbagai pesantren.

Ada perbincangan seorang kawan yang mengutarakan sebuah wacana relevan tentang kemungkinan di desa Ganjaran dilahirkan Ma'had Aly untuk para santri dari beberapa pesantren di desa yang pernah disebut "mercusuar ilmu" oleh alm. KH. Qosim Bukhori itu. Saat itu, penulis menjawab dengan nada sekenanya: "Bagus itu." Kawan tersebut manggut-manggut disertai ekspresi datar. Penulis tidak begitu paham apa makna di balik raut wajah kawan itu, menanggapi respon penulis yang juga tanpa arti.

Tetapi memperbincangkan wacana tersebut lebih serius agaknya cukup signifikan untuk waktu-waktu ke depan  mengingat desa Ganjaran, setidaknya dalam analisa sementara penulis, telah memenuhi syarat menjadi wadah jenjang pendidikan tinggi kalangan pesantren itu. Keterpenuhan syarat desa Ganjaran dilihat dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul di tempat itu. Tentu saja, tulisan sederhana ini hanya telaah awal yang dapat dipastikan tidak berkecukupan memutar kunci pintu penyelenggaraan "proyek besar" yang terlontar dari sekadar perbincangan antar sahabat, selanjutnya terserah "takdir."

POTENSI KUANTITAS
Ma’had Aly pada dasarnya adalah lembaga pendidikan tinggi yang sepenuhnya dirancang dan dikelola oleh masyarakat. Basis Ma’had Aly tidak lain adalah pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berbeda dengan perguruan tinggi pada umumnya, Ma’had Aly selama ini dibiarkan dan diberi kesempatan berkembang atas dasar kemauan dan kesanggupan para pengelolanya. Di satu sisi, hal ini menunjukan fleksibilitas pesantren yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhannya sendiri untuk mencetak generasi berilmu dan berkualitas.

Sedangkan jumlah lembaga pendidikan pesantren di desa Ganjaran, sebagaimana diketahui banyak pihak, terdapat 18 pesantren dengan bentuk besar dan kecil. Berangkat dari sekian banyak pesantren di satu desa ini, tempat yang rata-rata penduduknya berpenghasilan tebu ini dinobatkan sebagai "desa santri" (22 Oktober 2016).

Melihat sekian jumlah pesantren di desa ini telah mencapai batas kemungkinan untuk rencana munculnya Ma’had Aly, kalau rata-rata grafik santri di masing-masing pesantren dipatok 50, lalu lulusan dari pesantren-pesantren itu kisaran jumlah10 orang X 18 pesantren, maka 180 tamatan pertahun. Jika di klaim 50% dari lulusan itu, maka angkatan pertama rencana Ma’had Aly  berjumlah 90 santri. Sebuah jumlah peserta didik dengan kondisi dua kelas pada ukuran pendidikan ideal.

Persoalan tingkat animo para santri terhadap Ma’had Aly tidak menjadi halangan berat, sebab hingga saat ini ketaatan mereka pada kiainya masih menjadi simbol tatakrama yang belum sirna. Oleh karena itu, pada kemungkinan terjelek sekalipun kiai pesantren seringkali menggunakan gaya kepemimpinan otoriternya untuk mengarahkan para santri dalam menentukan keputusan mereka. Sedangkan pada sisi wacana ini, pengaruh kiai terhadap santrinya merupakan salah satu modal kekuatan yang dapat dibuat pilar penyangga penyelenggaraan.

POTENSI KEILMUAN
Model pesantren di desa Ganjaran yang menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran salaf dengan kitab-kitab klasik sebagai rujukan utamanya merupakan secercah sinar yang bisa memberikan harapan untuk melempangkan proses wacana ini. Bentuk pendidikan demikian ini memang memiliki korelasi dengan arah pendidikan Ma’had Aly, terutama pada aspek konsentrasi pendidikan yang lebih menekankan pendalaman disiplin ilmu yang bersumber dari referensi kitab kuning.

Kajian-kajian kitab kuning tidak saja diselenggarakan di pesantren-pesantren lewat metode sorogan dan bandongan, tetapi juga disajikan di sekolah-sekolah formal sebagai salah satu materi pelajaran. Sejak awal dalam sejarah lembaga pendidikan formal di Ganjaran, kitab kuning telah menjadi muatan lokal (mulok) yang merupakan bagian dari anasir sebaran kurikulum pendidikan. Berkaitan dengan muatan lokal ini, beberapa kalangan masyarakat mengklaim bahwa keunggulan madrasah di desa Ganjaran terletak pada ketersajian kitab kuning dalam struktur kurikulum pendidikannya dibandingkan sekolah-sekolah lain di luar desa Ganjaran. Bahkan sebagian besar alumni dan wali siswa menjadikan pelajaran kitab kuning sebagai faktor kuat ketertarikan mereka terhadap sekolah formal desa Ganjaran.

Kajian kitab kuning di lingkungan pesantren lebih meluas lagi ketimbang di sekolah formal. Pembelajaran kitab kuning tidak saja dilakukan lewat pengajian para pengasuh atau para ustadz, tetapi lebih jauh dari itu didalami melalui musyawarah kitab kuning antar kelas di masing-masing pesantren, antar pesantren dan bahsul masail. Kegiatan musyawarah kitab kuning sudah menjadi pemandangan setiap malam di masing-masing pesantren desa ini. Sebetulnya kegiatan musyawarah kitab antar pesantren sudah pernah digalang kira-kira tahun 2005-an oleh sebuah komunitas musyawarah yang dibidani oleh Gus Nasihuddin Khozin dkk. setiap malam Ahad. Gaung musyawarah ini bergema hingga beberapa pesantren di luar desa Ganjaran berminat mengirimkan delegasinya pada rutinitas yang bertempat berpindah-pindah secara bergantian itu. Sejalan dengan waktu, kegiatan itu menyusut dan lenyap entah kemana hingga pada akhirnya muncullah Ittihad musyawarah antar ma'had (IMAM) yang digagas oleh Gus Abdurrahim Said. Program dalam IMAM sampai saat ini terus bertahan hingga memiliki anggota tidak kurang dari jumlah peserta kegiatan musyawarah sebelumnya.

Walaupun pada segi musyawarah antar pesantren mengalami pasang surut, tetapi secara umum desa Ganjaran merupakan basis kajian kitab kuning yang mampu memobilisir segenap pesantren bahkan di luar desa ini.

POTENSI INDIVIDU
Semenjak awal desa Ganjaran telah dihuni oleh orang-orang berkualitas, terlepas mereka pernah berjibaku dengan kerasnya kemungkaran yang melingkupi kehidupan masyarakat kala itu. Sebut saja di fase pertama terdapat Mbah Abdurrosyid, seorang kaya raya yang bertipe pecinta ulama, dermawan dan santun kepada siapapun, termasuk juga pada kaum buruh di bawah kekuasaannya. Dari tokoh ini kemudian muncullah KH Zainuddin, sosok alim asal Madura yang dijadikan menantu, kelak keturunan Mbah Abdurrosyid melalui kiai Zainuddin bertebaran menjelma menjadi orang-orang berpendidikan. Hampir seluruh pemegang pesantren di desa Ganjaran, PP Annur Bululawang, dan PP Babussalam desa Banjarejo memiliki tetesan darah dari Mbah Abdurrosyid. Fase kedua lahir KH Zainal Alim yang dikenal pula dengan kiai Tombu dan KH Bukhori Ismail yang berjuluk kiai Masjid. Fase berikutnya muncul KH Yahya Syabrawi, KH Qoffal Syabrawi, KH As'ad, KH Zainullah Bukhori dan masih banyak lagi di zaman ini. Di fase sekarang ini, tunas-tunas muda kalangan pesantren mulai bertebaran. Hampir semua gus-gus sudah mengambil peran di lingkungan masing-masing pesantren di desa Ganjaran dengan segala potensi yang dimiliki setiap diri mereka. Latar belakang dan kualifikasi pendidikan masing-masing mereka menambah corak regenerasi kaum pesantren kian bervariasi.

Sebagian mereka ada yang ahli di bidang manajemen pendidikan, terdapat pula yang menguasai kajian kitab kuning, lihai di dalam rumusan konsep, cerdik dalam hal penelitian, dan ada pula yang begitu tak tertandingi pada aspek hubungan dan jaringan masyarakat.

POTENSI PELUANG DAN FASILITAS
Legalitas Ma'had Aly dalam sistem pendidikan nasional telah termaktub dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 71/2015 tentang Penyelenggaraan Ma'had Aly. Pada dasarnya Ma'had Aly adalah satuan pendidikan yang didirikan dan dikembangkan dari dan oleh masyarakat pesantren dan berada di dalam dunia pesantren. Tetapi meski lahir dari rahim pesantren dan seterusnya dikelola oleh kaum pesantren, eksistensi Ma'had Aly sebagai wadah mencerdaskan anak negeri bukan hanya semata-mata diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat pesantren saja, melainkan juga untuk kebutuhan seluruh lapisan bangsa Indonesia.

Sebenarnya peluang mendirikan Ma'had Aly dari sudut birokratis cukup menganga lebar. Apalagi dari beberapa sisi, desa Ganjaran cukup prospektif untuk dibuat jaminan terselenggaranya pendidikan Ma'had Aly. Selain potensi SDM, banyak pesantren yang siap dirancang sebagai lokasi penyelenggaraan pendidikan Ma'had Aly tersedia untuk ditempati. Selama ini terdapat beberapa asrama pesantren yang  kurang berfungsi maksimal akibat penurunan grafik santri secara drastis setelah ditinggal mangkat pendirinya. Pesantren demikian ini cukup memadai untuk dibidik sebagai pusat pelaksanaan Ma'had Aly.

Bangunan kerjasama yang kokoh antara pihak pesantren dan pemerintahan desa merupakan peluang yang harus dipertimbangkan. Kalangan pesantren sebagai pengelola berperan menyiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam setiap tahapan proses pendirian Ma'had Aly, mulai dari konsep awal, analisis kelayakan, identifikasi tenaga, berkas pengajuan sampai pada semua syarat-syarat lain. Sedangkan aparat desa dalam konteks ini diposisikan sebagai unsur penting pada aspek kewenangan-kewenangan birokratis dan mobilisasi massal. Apabila dua pihak ini dapat bersinergi dengan intens, maka sebetulnya bukan saja wacana Ma'had Aly saja yang bisa diwujudkan tetapi proyek-proyek besar lainnya juga dapat diciptakan.

Oleh karenanya, pada aspek proses pendirian perguruan tinggi berbasis pesantren itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan.

UNTUK SANTRI DI DESA SANTRI
Desa Ganjaran yang telah didaulat sebagai desa santri layak memiliki lembaga pendidikan bagi peningkatan keilmuan kalangan santri di luar lembaga tinggi yang mengajarkan disiplin ilmu-ilmu yang bukan berbasis kitab kuning. Sebab, khas desa ini dengan sekian jumlah pesantrennya dipastikan menyimpan banyak para santri yang mempunyai kompetensi kitab kuning tingkat tinggi. Hal ini bisa dibaca dari kepiawaian mereka membaca teks Arab dengan menggunakan pendekatan gramatikalnya, kemampuan menalar makna di balik teks berdasarkan balaghahnya, dan tingkat kecerdasan mereka menginterpretasikan konten kitab kuning melalui perangkat ushul fiqhnya. Bukan saja perdebatan mengenai tata cara baca teks yang sudah dikerjakan para santri di pesantren-pesantren desa Ganjaran, tetapi lebih jauh dari itu diskusi yang bergulir dalam berbagai kegiatan musyawarah dan bahsul masail telah masuk taraf identifikasi persoalan kemasyarakatan (masail waqi'iyah) dan pengambilan keputusan hukumnya (istimbatul ahkam).

Berbagai kelebihan kaum santri di desa Ganjaran ini merupakan bagian dari corak desa santri yang perlu diunggulkan. Oleh karena itulah, munculnya wacana pendirian Ma'had Aly di desa santri ini perlu mendapat respon dari semua pihak. Keterlibatan segenap kalangan, mulai dari para tokoh sepuh, kaum muda pesantren, jajaran pemerintahan desa, dan masyarakat, atas dasar kebersamaan wajib terwujud sebagai prasyarat untuk membuat nyata wacana tersebut. Jika prasyarat ini dapat diejawantahkan dalam bentuk komitmen bersama, maka problematika selanjutnya akan lebih mudah dicarikan jalan keluarnya. Contoh kecil misalnya, jika program ini di bawah kendali satu pesantren, maka dikhawatirkan pesantren lain merasa enggan untuk melibatkan diri dalam setiap tahapan prosesnya. Namun apabila wacana program ini diusung dengan mengatasnamakan "desa santri," maka secara otomatis sekat-sekat itu akan dimusnahkan oleh rasa kepemilikan bersama. Sebab itulah, jargon yang butuh ditabuh adalah "Untuk Santri di Desa Santri," dengan harapan sekat fanatisme masing-masing pesantren bisa terkelupas oleh semangat kolektifitas memajukan desa santri.


Wallahu a'lam bi al-Shawab.[]

Sumber gambar: caffeinehit

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top