Friday, October 16, 2015

Pesantren dan Paulo Freire

11:26 AM

Oleh: Muhammad Ilyas 

Pesantren merupakan tempat untuk belajar ilmu agama secara mendalam, dengan model asrama. Pesantren sudah ada di Indonesia Sejak abad ke 15, dan  merupakan lembaga pendidikan yang memiliki jaringan sosial antar lembaga di seluruh provinsi di Indonesia.[1] Dengan usia yang tua ini pesantren memiliki kearifan-kearifan yang ada di dalamnya. Di antaranya nilai-nilai yang khas seperti tawadlu terhadap guru, dan menjunjung tinggi akhlakul karimah.[2] Dalam pesantren juga dikenal dengan istilah wasilah, yaitu keperantaraan spiritual, atau mata rantai yang terus bersambung dari seorang guru, hidup atau mati melalui guru-guru terdahulu, wali sampai kepada Nabi Muhammad, dan dianggap penting untuk keselamatan.[3] Selain itu pesantren juga mempunyai metode pembelajaran yang khas, seperti sorogan atau bandongan, dan terkadang ada kombinasi dengan model pendidikan modern.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai beberapa metode pembelajaran yang diterapkan kepada para santri. Di antaranya adalah metode diskusi. Metode ini sering digunakan oleh pesantren pada siswa-siswi tingkat akhir, untuk mendiskusikan suatu masalah yang sedang dibaca pada suatu kitab.[4] Dalam istilah pesantren disebut Musyawarah atau Syawiran. Setiap santri berhak untuk mengungkapkan pendapatnya dalam menyelesaikan masalah yang diangkat pada diskusi tersebut, tentunya dengan landasan literasi yang jelas, serta dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Posisi seorang guru dalam diskusi tersebut sebagai penashih. Jadi guru tersebut hanya berfungsi untuk memberikan closing statemen. Tetapi terkadang seorang guru ikut bermusyawarah dan tidak memberikan closing Statemen melainkan memberikan kebebasan kepada para santri untuk menyimpulkan apa yang telah didiskusikan.

Penulis di sini bermaksud untuk mendialogkan antara konsep pendidika pesantren dengan gagasan seorang Filsuf dari Brazil, yaitu Paulo Freire. Paulo Freire mengkritik model pendidikan “gaya bank”, yaitu seorang Guru menampilkan diri di hadapan murid-muridnya sebagai seorang yang berpengetahuan tinggi dan tahu akan segalanya. Sedangkan murid hanya dianggap sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan patut untuk diisi. Sehingga Freire memberikan gagasan raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebaliknya terletak pada usaha ke arah rekonsiliasi. Pendidikan ini harus dimulai dengan pemecahan masalah kontradiksi guru murid tersebut. Dengan merujuk kutub-kutub dalam kontradiksi itu, sehingga kedua-duanya secara bersamaan seimbang.[5] 

Sistem model “Bank” tersebut bisa diatasi dengan alternatif metode pendidikan Problem Passing Education atau Pendidkan Hadap Masalah. Di mana guru dan murid bersama-sama menggali sebuah kajian keilmuan. Guru tidak berdiri sebagai subyek dan murid tidak sebagai obyek melainkan keduanya disejajarkan. Keduanya bisa saling bertukar ilmu, dan sharing pengalaman sehingga seorang guru bisa memperoleh pengetahuan dari muridnya serta keduanya Think together. 

Atau dapat di gambarkan seperti bagan berikut


Dalam skema diatas dapat disimpulkan bahwa Freire menekankan pentingnya sebuah dialog. Dialog ini akan terjadi jika antara guru dan murid memunyai otoritas yang sama dalam proses belajar mengajar. Metode dialogika ini penting untuk diterapkan karena bisa memacu daya kesadaran kritis murid. Freire berpendapat untuk menjadi manusia seutuhnya harus mempunyai kesadaran kritis dan kesadaran ini bisa diperoleh melalui dialog yang seimbang.

Skema di atas juga menunjukkan yang menjadi obyek dalam proses belajar mengajar adalah kajian keilmuannya, bukan murid. Sehingga keduanya bisa menggali kajian keilmuan tersebut secara seimbang. Guru tidak terlalu mengintervensi murid dalam mengkaji ilmu, tetapi seorang guru tidak dibenarkan membiarkan murid bertindak sesuka hati, melainkan berfungsi sebagai kontrol. Konsep Freire ini berbeda dengan AS Neill[6] yang terkenal dengan sekolah Summerhill, di mana murid sekehendak hati melakukan apa saja. Hal ini terjadi karena ada anggapan pada dasarnya manusia mempunyai sisi baik dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun.

Menurut hemat penulis terdapat kesamaan antara konsep pendidikan yang diterapkan di pesantren (khusus kelas yang menerapkan metode musyawarah), dengan kerangka pikiran Freire. Sama-sama mengangkat humanisasi, di mana seseorang tidak diposisikan sebagai lapisan kelas dua melainkan memosisikan seseorang secara seimbang, sehingga dehumanisasi tidak terjadi dalam pendidikan. 

Daftar Bacaan 
Bruinessen, Martin Van. 2012. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta: Gading.

Dhofier Zamakhsyari. 2009. Tradisi Pesantren. Yogyakarta: Nawesea Press.

Freire, Paulo.2013. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.

Indra, Hasbi. 2003. Pesantren dan Tranformasi Sosial. Jakarta: Penamadani.

Naomi, Omi Intan (Ed.). 2009. Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberalis, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[1]  Dhofier, Zamakhsyari. 2009.Tradisi Pesantren. Yogyakarta: Nawesea Press. 
[2] Indra, Hasbi. 2003. Pesantren dan Tranformasi Sosial. Jakarta: Penamadani. 
[3] Bruinessen, Martin Van. 2012. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta: Gading. 
[4] Ibid. hlm. 2. 
[5] Freire, Paulo.2013. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES. 
[6] Salah seorang praktisi pendidikan di Amerika Serikat yang menerapkan kebebasan para murid untuk berbuat apapun. Model sekolah ini mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari seluruh dunia pada masanya. Tapi banyak pemikir pendidikan yang mengkritik konsep pendidikan ini.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top