[sumber] |
Oleh: Muhammad Ilyas
Secara etimologi
toleransi adalah sikap
saling menghormati,[1]
di mana seseorang berhak
untuk melakukan apapun selama ia tidak melanggar hak orang lain. Secara
terminologi toleransi merupakan sikap saling menghargai, saling menghormati apa
yang dilakukan oleh individu terhadap individu, individu terhadap kelompok,
atau kelompok terhadap kelompok lain.
Sikap toleransi ini perlu ditegakkan karena merupakan instrumen utama untuk
mencapai kedamaian.
Seperti yang
kita ketahui bahwa banyak kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Motifnya pun beragam, di antaranya motif politik, agama,
golongan, ras, dan lain-lain. Contoh kasus intoleransi di Indonesia adalah
pembakaran rumah warga Syiah
yang ada di Madura. Ratusan orang harus meninggalkan rumah yang ia miliki
sendiri hanya karena berbeda aliran. Terdapat juga pembakaran warga Ahmadiyah
yang terjadi di Pandengglang, pelarangan Jemaat GKI Yasmin yang terjadi di
Bogor, selain itu juga terdapat pelarangan mendirikan Masjid di daerah Nusa Tenggara
Timur, atau penggusuran dayyah[2]
yang terjadi di daerah Nangro Aceh Darussalam.[3]
Secara sekilas
kita berpendapat kasus yang besar adalah kasus konflik antar agama, oleh
karenanya kita harus bisa jernih untuk memahami konsep keagamaan tersebut.
Kuatnya kesadaran agama ikut memengaruhi dan membentuk kesadaran sosial-ekonomi
dan politik masyarakat, sehingga apa yang pernah kita kenal (ditakuti) oleh
masyarakat sebagai “sekularisasi” sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat
tidak clear out.[4]
Oleh karena itu
pemahaman agama secara menyeluruh dan tidak sepotong-potong merupakan hal yang
diharapkan. Banyak kasus agama yang terjadi
karena pemahaman konsep agama yang salah, sehingga perlunya masyarakat
memahami agama yang komprehensif dan tidak memandang hanya dalam satu sisi saja
melainkan sisi yang lain. Kedinamisan interpretasi terhadap teks agama bisa
dijadikan alternatif agar masyarakat bisa terbuka. Pemahaman yang sesuai merupakan hal yang diharapkan oleh bangsa,
sehingga kasus intoleransi tidak akan terjadi.
Jika dilihat
dari kasus tersebut permasalahan yang mendasar bukanlah masalah agama atau ras,
tetapi lebih jauh lagi ada kepentingan mayoritas terhadap minoritas. Kepentingan
inilah yang memang melatarbelakangi timbulnya kasus intoleransi di negara kita.
Kepentingan-kepentingan tersebut di
antaranya
adalah ekonomi, politik, dan lain-lain. Konsep kepentingan ini hanya
dilaksanakan segelintir orang, atau disebut sebagai oligarki kepentingan. Dan
untuk memuluskan rencananya mereka mempergunakan agama sebagai kedok utama. Karena
agama merupakan comparative advantage. Ia
menciptakan keseimbangan antara kehidupan material dan kehidupan immaterial, provan dan sakral.
Tapi hal yang demikian tidak bisa diperlakukan sebagai taken
for granted, harapan tersebut bisa
bisa diupayakan melalui kiat-kiat sosial-budaya,
ekonomi dan juga politik yang memungkinkan (socio-cultural,
economic and political crafting).[5]
Intoleransi
digerakkan oleh oknum tertentu untuk mencapai sesuatu yang ia tuju walaupun
dengan menghalalkan segala cara. Hal seperti ini tidak boleh terjadi, sehingga
harus ada kesadaran masyarakat akan bahaya laten yang ada di belakang intoleransi
tersebut. Oleh karenanya kesadaran kritis menurut Paulo Friere penting,
sehingga masyarakat tahu dan sadar akan apa yang ia lakukan sekaligus faham
konsekuesinya juga.[6]
Tanpa adanya
kesadaran murni dari masyarakat kejadian intoleransi akan terjadi lagi, karena
masyarakat dengan mudah dapat dimobilisasi oleh kelompok yang berkepentingan. Masyarakat
harus cerdas dan bisa memilah antara sesuatu yang memang sengaja dimanipulasi
untuk kepentingan tertentu dan mana yang tidak. Masyarakat harus diberi pembelajaran
(Education) akan pentingnya sikap pluralisme.
Jika sikap ini tidak ditanamkan pada masyarakat maka akan mengakibatkan disintegrasi
bangsa, yang akan membahayakan persatuan dan kesatuan NKRI. Oleh karenanya
pemerintah sebagai agent of control harus mampu mangendalikan masyarakat yang
melakukan tindakan intoleransi. Para pelaku kejahatan intoleransi harus bisa dihukum
secara adil.
Kasus-kasus yang
ditangani oleh pihak berwajib belum dirasakan dampaknya oleh masyarakat.
Hukuman yang ringan atau terkesan tebang pilih merupakan permasalahan
tersendiri bagi kasus hukum tersebut. Pemerintah masih terkesan takut dengan
salah satu pihak, dan masih membeo terhadap kelompok-kelompok tertentu. Kita
berharap agar kasus intoleransi tersebut jangan sampai terulang lagi, dan
masyarakat harus bisa sadar dan cerdas untuk menyikapi permasalahan yang ada di
sekitarnya, jangan sampai hanya menjadi korban dari kepentingan pihak-pihak
tertentu yang tidak bertanggungjawab.[]
[1] Partanto, Pius A. 2011. Kamus
Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka (hal 753)
[2] Sejenis pondok yang ada di Aceh
[3] Kompas.com edisi 25 Desember 2014 dan diakses pada 07 Januari 2015 pukul
10:55
[4]Efendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat
Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Printika Hal (39-40).
[5] Ibid 4 hal (40)
[6] Pedagogy of the oppresed