photo credit: here |
Oleh: Muhammad Madarik
Hampir lima
tahun yang lalu peristiwa yang amat menyayat hati Ila, panggilan akrab Akilah,
itu terjadi. Setiap kali kejadian itu hadir di pelupuk mata, setiap kali itu
pula butiran bening yang mengalir di pipi Ila tak kuasa dibendung. Perempuan
yang mulai kelihatan menua karena sakit yang dideritanya sedikit demi sedikit
merenggut paras ayunya, kendati sisa-sisa kecantikan wajahnya tidak dapat
didustakan oleh siapapun yang memperhatikan dengan seksama.
Perjalanan
ini terasa sangat menyedihkan,
Sayang
engkau tak duduk di sampingku, kawan
Banyak
cerita yang mestinya kau saksikan di tanah kering bebatuan
oo ooh
oo ooh
Tubuhku
terguncang dihempas batu jalanan
Hati
tergetar menambah kering rerumputan
Perjalanan
ini pun seperti saksi gembala kecil menangis sedih
ooh
Kawan
coba dengar apa jawabnya ketika kutanya mengapa
Bapak
ibunya telah lama mati ditelan bencana tanah ini
Sesampainya
di laut kukabarkan semuanya
Kepada
karang kepada ombak kepada matahari
Tetapi
semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal
aku sendiri terpaku menatap langit
Barangkali
di sana ada jawabnya mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin
Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
yang selalu salah dan bangga dengan
dosa-dosa
Atau
alam mulai enggan bersahabat dengan kita
coba kita bertanya pada rumput yang
bergoyang
oo ooh
oo ooh
Di atas
kursi roda, Ila duduk sambil melihat langit-langit ruang tamu dengan tatapan
kosong. Masa lalu itu kembali terngiang di antara sisi-sisi pikirannya bersama
suara Ebiet G. Ade yang mendayu dari tape recorder di sampingnya.