[sumber: sini] |
Oleh: Halimah Garnasih
Saya
adalah perempuan santri tulen dari Jawa Timur. Selama nyantri itu pula betapa
saya merasakan langsung bagaimana budaya pesantren saya, juga pemahaman
Islamnya sarat dengan berbagai subordinasi dan diskreditas pada perempuan.
Sampai alur kehidupan mengantarkan saya bertemu dengan Yogyakarta, kota
cendekiawan, kota intelektual, dan tentu saja kota yang plural. Di sana, tak
hanya ragam pemahaman Islam yang akhirnya bersinggungan dengan dunia kognitif
saya, lebih dari itu takdir rupanya memperkenankan saya bersinggungan langsung
dengan saudara-saudara lintas agama dan lintas kepercayaan. Tahun 2013 kemarin,
misalnya, dalam sebuah acara, saya berkesempatan hidup selama sepuluh hari
dengan 28 pemuda lintas agama se-Indonesia. Selama sepuluh hari itu juga, baik
lewat sharing formal maupun obrolan ringan saat makan atau menjelang
tidur, saya menjadi tahu betapa perempuan adalah objek yang dipandang sebelah
mata hampir di agama dan kepercayaan manapun. Budaya patriarkhis yang dibalut
dengan tafsir atau pemahaman-pemahan yang juga patriarkhis selalu melahirkan
pandangan yang diskriminatif, dan pada akhirnya perempuan berada pada posisi
yang tidak menguntungkan. Potensi yang sebenarnya ada dalam tiap akal budi dan
nurani mereka, terbungkam.
Sampai
akhirnya pamflet ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) yang saya
temukan sepertinya akan membawa saya pada pengetahuan dan pengalaman baru
tentang citra, konsep, atau peran perempuan dalam Islam Ahmadiyah. Saya
berharap puzzle pengetahuan saya tentang perempuan dalam Katolik,
Protestan, Hindu, Budha, Aliran Sapto Dharmo, NU, Muhammadiyah akan menjadi puzzle
yang utuh bersama perjalan ISAis ke kampung Ahmadiyah yang terletak di Kampung
Krucil, Desa Winongo, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara. Dan akhirnya,
dengan bantuan rekomendasi dari Komunitas Matapena, tanggal 29 November 2014
kemarin saya bersama 32 pemuda lainnya berangkat menujunya, rumah saudara
muslim Ahmadi…
Puisi
Gus Mus yang berjudul “Lirboyo” lamat-lamat mengalun pada kedalaman diri saya
saat memasuki Desa Winongo. Meski tak melihat perkebunan tebu, hamparan padi
dan jagung yang diguyur gerimis ritmis, mengapit jalan yang dilewati bus kami
membangun nuansa yang sangat akrab dengan batin saya, Pesantren. Tak hanya
Lirboyo, pesantren saya yang berada di salah satu pelosok desa di Kabupaten
Malang seakan terbentang kembali di altar batin. Hal yang menjadikan saya
merasa tergesa-gesa ingin segera sampai Kampung Krucil. Juga lekas menghirup
aroma spiritualnya dan bercengkrama dengan para perempuannya.
“Batas
Pardah,” itu kata Bu Yuni Setiawati—anggota Ahmadi yang aktif di Lajnah
Imaillah (perkumpulan ibu-ibu Ahmadi) Cabang Krucil dan sedang menjabat sebagai
Sekretaris Daerah Lajnah Imaillah Jateng II—saat menjawab pertanyaan saya
tentang papan yang membatasi jamaah perempuan dan jamaah laki-laki. Dari
penjelasan Bu Yuni saya jadi tahu bahwa batas “Pardah”—berasal dari bahasa Urdu
yang artinya pembatas—wajib ada setiap ada perkumpulan yang diikuti oleh
perempuan dan laki-laki jamaah Ahmadi. “Ya, meskipun acara Imaillah tapi
mengundang mubalig (laki-laki karena dalam Jama’ah Ahmadiyah tidak ada dan
tidak boleh ada mubaligoh) maka batas pardah itu selalu ada, membatasi jamaah
perempuan dan mubalig. Kami, para perempuan Imaillah ada di depan pardah dan
mubalig mengisi ceramah di balik pardah,” lanjut Bu Yuni, dengan senyum yang selalu
menghiasi wajahnya. Dari Bu Yeyet Nurhayati (Ketua Lajnah Imaillah Kecamatan
Bawang Kabupaten Banjarnegara), saya juga tahu bahwa saat perkumpulan yang
diikuti jamaah perempuan dan laki-laki, maka semua acara di-handle oleh
jamaah laki-laki. Mulai dari pembawa acara, Qori’, pembaca syi’ir, pembaca nazam
(puji-pujian semacam sholawat dan mayoritas dari bahasa Urdu) dan tentu saja
mubalignya. Begitupula pada acara resepsi pernikahan, pardah menjadi pembatas
dan memisahkan antara tamu perempuan dan tamu pria, juga pengantin perempuan
dan pengantin pria.
Semua
kenyataan itu tidak asing bagi saya. Semua pernah saya temui dan rasakan di
pesantren dulu. Jikalau tidak karena budaya maka karena pemahaman atau
penafsiran atas Alquran (bukan Alquran itu sendiri). Betapapun begitu,
perempuan selalu bisa menjamah ranah yang tidak tersentuh bahkan terpikirkan
oleh lelaki. Barangkali memang benar apa yang dikatakan oleh Gus Dur bahwa
perempuan memiliki emosi yang berwarna dan kompleks daripada laki-laki. Tentu
saja kenyataan ini berdampak positif bagi perempuan. Mereka selalu sensitif
pada keadaan dan memiliki insting yang kuat agar tetap bisa bermanfaat bagi
orang-orang di sekelilingnya, bagi agamanya. Diposisi mana pun mereka berada,
atau lebih tepatnya diposisi yang telah dikonstrukkan kepada mereka.
Dan
pada akhirnya, sungguh persoalan perempuan Ahmadiyah sebagaimana perempuan
lainnya, bukanlah persoalan pemahaman agama semata, lebih dari itu, ini adalah
persoalan kemanusiaan!
Meski
begitu, demi tanggungjawab intelektual, saya harus melewatinya. Saya harus
mengkajinya: Posisi Perempuan Ahmadiyah Dalam Kitab Tafsir Kabir Karya Mirza
Bashiruddin Mahmood Ahmad. Selain kenyataan di atas, ada sebuah keunikan
tersendiri yang saya dapat dari keterangan Pak Nurhadi—Mubalig Wilayah Jawa
Tengah II yang rumah dinasnya di kampung Krucil—tentang perempuan Ahmadiah.
Yaitu bahwa perempuan Ahmadi memiliki kewajiban melaksanakan salat Jumat
sebagaimana laki-laki.
Saya
sibak tirai kamar. Hujan masih mengguyur Kampung Krucil semenjak semalam. Tapi
saya mesti bergegas, menerjang hujan demi mencari data dan informasi tentang
perempuan Ahmadi dan Kitab Tafsir Kabir…
Sebelum menapakkan
kaki di teras rumah Pak Nurhadi dengan taperecorder di tangan, lagi,
saya patrikan dalam diri bahwa semua ini; persoalan perempuan Ahmadiah (atau
perempuan agama dan kepercayaan lainya) tak semata persoalan pemahan agama,
lebih dari itu ini tentang misi kemanusiaa! Ya, misi kemanusiaa!![]
Krucil, di
sudut kamar seorang perempuan Ahmadi
30 November
2014