Oleh: Muhammad Mahrus*
Abstraksi
Dalam khazanah filsafat
Islam, Ilmu Kalam disebut-sebut sebagai varian pertama yang banyak diminati
oleh para pemikir muslim. Meskipun nuansa filsafat sudah mulai dirasakan dan
dipakai oleh sebagian besar pemikir muslim pada waktu itu. Hal ini tampak pada
hasil daripada pemikiran-pemikiran mereka yang cenderung rasional mengikuti
jejak pemikiran Aristoteles. Terutama semenjak masa kepemimpinan khalifah
al-Makmun dimana pemikir seperti al-Kindi sedang dalam masa produktifnya.
Rasionalisasi atas agama
(baca: Ilmu Kalam) yang dilakukan terhadap para pemikir muslim generasi awal
tersebut menuai perdebatan panjang yang kemudian melahirkan pemikir-pemikir
baru dengan varian pemikiran masing-masing. Belakangan kita menyebutnya dengan
Filsafat Islam, Tasawuf, dan Hikmah. Rupanya empat tipoligi pemikiran inilah
yang kemudian disepakati sebagai fase perkembangan pemikiran Islam tepat ketika
Filsafat Barat sedang dalam masa kegelapan.
Dalam penelitian ini, obyek
akan difokuskan pada varian pemikiran Islam pertama; Ilmu Kalam. Dengan
mengambil seorang tokoh pemikir Islam generasi pertengahan yang corak
pemikirannya dikenal dengan aliran Wahabiah; Muhammad Ibnu Abdul Wahab.
Wahabiah ternyata memiliki nama asli sebagai Golongan Muwahhidin (Unitarians). Meskipun demikian Wahabiah
kemudian lebih dikenal karena istilah tersebut lebih banyak dipakai oleh para
penulis-penulis Eropa. Sebagai sebuah sekte pemikiran Islam di bidang Ilmu
Kalam, Wahabiah menganggap paham kelompoknya sebagai ahlussunnah dengan mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., dengan
merujuk pada pemikiran Imam Ahmad Ibnu Hanbal setelah melalui penafsiran Ibnu
Taimiah.
Dalam sebuah artikel pendek
yang ditulis oleh David Servetus, disebutkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab
gemar berpindah-pindah tempat antar Negara karena dia memang seorang pedagang.
Lalu pada tahun 1125 H., ia mulai terpengaruh dengan pemikiran Mr. Hempher.
Perkenalannya dengan orientalis Inggris tersebut menjadikan Muhammad bin Abdul
Wahab keluar dari garis sunni Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana mestinya.
Bahkan, ia juga menentang terhadap ajaran sunni Ahmad bin Hanbal yang dianut
secara baik oleh keluarga besarnya. Hingga pada suatu kesempatan, kakaknya
sendiri
menulis sebuah kitab yangberjudul As-Sawâ’iq
al-Ilâhiyah fi al-Radd ‘alâ al-Wahâbiah sebagai bantahan terhadap ajaran
adiknya tersebut. Kemudian diceritakan pula bahwa gurunya yang di Madinah,
Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat teguran dan nasehat
kepadanya. Berikut adalah isi dari surat tersebut yang dikutip oleh David
Servetus:
"Wahai Ibn Abdul Wahab, aku menasehatimu
karena Allah. Tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin. Jika kau dengar
seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa
kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain
Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat. Kalau dia menentang bolehlah
dia kau anggap kafir. Tapi tidak mungkin kau mengkafirkan as-sawâd al-A‘dham (kelompok mayoritas) di antara kaum muslimin,
karena engkau menjauh dari kelompok terbesar. Orang yang menjauh dari kelompok
terbesar lebih dekat dengan kekafiran. Sebab dia tidak mengikuti jalan
muslimin."
Riwayat
Hidup Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab
hidup pada 1115 H/1703 M. Lahir di sebuah daerah sebelah Timur Kota Riyadh
Saudi Arabia dengan nama lengkap Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad al-Masyaarif at-Tamimi
al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya itu pula diketahui silsilah
keluarganya dan dengan gelarnya an-Najdi, menunjukkan desa kelahirannya yang
dikenal dengan Nadjed.
Muhammad bin Abdul Wahab
lahir dalam tradisi sunni pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Ayahnya seorang
muslim sunni yang taat begitu juga keluarga besarnya yang lain. Seperti
ditunjukkan oleh kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab yang menjadi seorang ulama
sunni terkemuka pengikut Imam Ahmad bin Hanbal.
Muhammad bin Abdul Wahab
menempuh masa belajarnya di Madinah pada ulama-ulama besar seperti Syaikh
Sulaiman al-Kurdi dan Syaikh Muhammad al-Khayyat as-Sindi. Setelah selesai,
sambil berdagang ia pindah ke kota Bashrah dan menetap di sana selama empat
tahun. Lalu, dalam masa lima tahun ia memilih tinggal di Baghdad. Pada tahun
berikutnya ia tinggal di Kurdestan dan pindah lagi ke Hamzan selama dua tahun.
Setelah itu ia memilih pergi ke Isfahan. Dalam bukunya, Pengantar Teologi Islam, A. Hanafi tidak menyebutkan berapa tahun
Muhammad bin Abdul Wahab menetap di Isfahan. Tetapi setelah itu dia pindah lagi
ke kota Qumm dan Kairo dengan membawa ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.
Perlawatan panjang yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab rupanya
mempertemukan dirinya dengan tafsir-tafsir Ibnu Taimiyah atas ajaran Imam Ahmad
bin Hanbal yang dianggap menyimpang. Selain itu, Muhammad bin Abdul Wahab juga
terispirasi dengan gerakan Mr. Hempher yang tengah bertugas menjadi mata-mata
Inggris dalam kepentingan kolonialisme. Hempher sendiri, dengan baju
orientalisnya melihat potensi besar terhadap ajaran Islam yang dikembangkan dan
diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab.
Dalam catatan A. Hanafi
yang merujuk pada Shorter enc[yclopedia].
of Islam : 618, Muhammad bin
Abdul Wahab pulang ke ‘Ujainah. Di kampung halamannya, ia melakukan banyak
perenungan dan orientasi, lalu mulai mengajarkan paham-pahamnya yang dituangkan
dalam salah satu karyanya yang berjudul Kitabu al-Tauhid. Sebuah kitab yang
tebalnya 88 halaman cetakan Makkah. Dengan gerakannya tesebut, meski tidak
sedikit orang-orang yang menentangnya, ternyata ajarannya juga banyak yang
mengikuti. Perlawanan datang dari banyak kelompok seperti yang ditunjukkan oleh
kakaknya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahab. Seorang tokoh terkemuka pengikut
ajaran sunni Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika situasi semakin
memanas, akhirnya Muhammad bin Abdul Wahab diusir dari ‘Ujainah. Penolakan atas
dirinya mengantarkan dia dan keluarganya pindah ke Dar’iah. Di sana dia
diterima oleh Muhammad bin Sa’ud yang belakangan menjadi raja Saudi Arabia.
Muhammad bin Sa’ud begitu tertarik dengan paham yang dibawa Muhammad bin Abdul
Wahab. Bersama Muhammad bin Sa’ud, mereka kemudian menyebarkan ajaran-ajaran
Wahabiah.
Propaganda ajaran Wahabi
ini mengusung gagasan yang cukup menarik. Karenanya dengan mudah banyak
masyarakat Arab yang kemudian tertarik dengan ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul
Wahab. Gagasan yang paling sederhana tetapi berbobot adalah upaya memerangi
syirik, penyembahan berhala, pengkultusan kubur dan membersihkan bid’ad –
khurafat.
Merujuk pada catatan kaki
Syaikh Idahram dalam bukunya Sejarah
Berdarah Sekte Salafi Wahabi, tentang upaya purifikasi yang dilakukan
golongan Muwahhidîn ini salah kaprah
dan dapat dibilang keluar dari ajaran Islam sendiri. Bahwa:
“Persis
seperti ungkapan Sayyidina Ali yang terkenal ketika menumpas kaum Khawarij, ‘Qaul al-haqq yurâdu bihi al-bâthil (kalimat
yang benar tapi digunakan untuk kebathilan).’ Para Sahabat Rasulullah Saw.,
imam – imam madzahab, ulama – ulama Salaf, dan umat Islam yang tidak sejalan
dengan mereka dikafirkan, bahkan tak segan mereka musnahkan…”
Pandangan
Muhammad bin Abdul Wahab tentang Ahlussunnah
wal Jama’ah
Mengawali diskursus ini,
kita perlu sedikit mengulas tentang gerakan aliran Wahabi. Sebagaimana telah
disinggung pada bagian sebelumnya, propaganda yang dilakukan Muhammad bin Abdul
Wahab adalah klaim atas ajaran Rasulullah yang murni. Paham ini yang disebut
dengan ahlussunnah. Muhammad bin
Abdul Wahab mengusung gerakan Muwahhidin atau
Wahabi yang banyak diserap dari pemikiran kontroversial Ibnu Taimiyah. Bahkan,
menurut A. Hanafi, ketertarikan Muhammad bin Abdul Wahab terhadap pemikiran
Ibnu Taimiyah tidak berhenti di pemikiran, sebagaimana diketahui bahwa dengan
gerakan Muwahhidin ajaran Wahabi
direalisasikan dalam tindakan praktis.
Sementara, merujuk pada
pendapat Syaikh Idahram, gerakan Wahabi belakangan menemui jalan buntu. Hal ini
disadari para pengikutnya lantaran nama aliran Wahabi yang dinisbatkan pada
nama pendirinya mendapat pertentangan keras dari banyak kelompok. Karenanya
belakangan nama aliran ini menggunakan istilah Salafi dengan maksud mengadopsi
istilah bagi generasi umat pilihan menurut Rasulullah Saw.
Bahkan terkadang mereka
juga mengatasnamakan kelompok ahlussunnah
meski tanpa menggunakan kelanjutannya; wal
jama’ah. Dikatakan pula bahwa mereka risih dengan istilah di belakang ahlussunnah tersebut. Karenanya, masih
menurut Syaikh Idahram, beberapa ulama’ menambahkan sitilah as-Shalih di belakang istilah Salaf
untuk membedakan antara kelompok Salaf yang sebenarnya dengan kelompok Salaf
yang muncul dalam bentuk gerakan Wahabi. Karenanya pula, kini kini kita dapat
mengenalinya kembali tanpa harus ada kerancuan antar dua kelompok yang berbeda
itu. Dimana kelompok pertama disebut dengan as-Salafu
al-Shalih dan yang kedua dicukupkan sebagai Salafi Wahabi.
Konsep
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Prinsip dari aliran ini
adalah pemurnian aqidah. Sementara, pokok-pokok aqidah yang diajarkan Muhammad
nin Abdul Wahab tidak jauh berbeda dengan aqidah yang diajarkan Ibnu Taimiyah.
Menurut A. Hanafi, yang membedakan Muhammad bin Abdul Wahab dengan Ibnu
Taimiyah ada pada pelaksanaan ajaran yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab.
sementara Ibnu Taimiyah lebih mengedepankan dialektika dan penulisan atas
pemikiran-pemikirannya yang kontroversial itu.
Secara umum, bangunan
aqidah yang ditawarkan Muhammad bin Abdul Wahab terbagi menjadi dua bidang.
Yakni bidang tauhid (pemurnian/purifikasi) dan bidang bid’ah. Dalam Kitab
at-Tauhid yang ditulisnya, Muhammad bin Abdul Wahab mendokumentasikan buah
pemikirannya dengan cara yang amat sederhana. Syaikh Idahram menyebutnya
sebagai karya yang lebih mirip buku saku dan jauh ketika dibandingkan dengan
karya-karya ulama lain di luar golongan Wahabi. Akan tetapi, terlepas dari
pedebatan tersebut, Muhammad bin Abdil Wahab telah merumuskan konsep pemikiran
Wahabi di bidang aqidah dengan poin-poin sebagai berikut:
1. Penyembahan
kepada selain Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2. Orang
yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh,
termasuk golongan orang musyrikin.
3. Termasuk
dalam perbuatan musyrik memberikan pengantar kata dalam shalat terhadap nama
nabi-nabi atau wali atau malaikat (seperti sayyidina Muhammad).
4. Termasuk
kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Al-Qur’an dan As-Sunnah,
atau ilmu yang bersumber pada akal pikiran semata-mata.
5. Termasuk
kufur dan ilhad juga mengingkari qadar dalam semua penafsiran Al-Qur’an dengan
jalan ta’wil.
6. Dilarang
memaki buah tasbih dan dalam mengucapkan nama-nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid)
cukup dengan menghitung keratin jari.
7. Sumber
syari’at Islam dalam soal halal dan haram hanya Al-Qur’an semata-mata dan
sumber lain sesudahnya ialah As-Sunnah Rasulullah. Perkataan ulama mutakallimin
dan fuqaha tentang haram dan halal tidak menjadi pegangan selama tidak
didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8. Pintu
ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah
memenuhi syarat-syaratnya.
Sementara poin-poin bid’ah
dalam konsep Wahabi Muhammad bin Abdil Wahab antara lain:
1.
Berkumpul
bersama-sama dalam mau’idan.
2.
Orang
wanita mengiringi jenazah.
3.
Mengadakan
halaqah (pertemuan) zikir.
Dalam pelaksanaan
ajaran-ajarannya, kelompok Wahabi melakukan perampasan pada buku-buku yang
berisi tawassulat seperti Dalaailu Khairat dan semacamnya. Termasuk dalam
bid’ah, menurut konsep Muhammda bin Abdul Wahab adalah perbuatan keseharian
seperti merokok, minum kopi, memakai pakaian sutera bagi orang laki-laki,
mengambil gambar (foto), mewarnai kuku jempol, memakai cincin dan sejumlah aktifitas
keseharian lain yang disebut A. Hanafi dengan sesuatu yang tidak mengandung
atau menghasilkan paham keberhasilan.
Wahabi
dalam Sejarah Pemikiran Islam
Paham Wahabi belakangan
mulai menyebut dirinya dengan aliran Salafi. Sebagaimana pembahasan sebelumnya,
aliran ini perlu dibedakan dengan as-Salafu as-Shalih yang murni merupakan
generasi pendahulu yang meneruskan ajaran Rasulullah Saw. Sementara pemurnian
yang dilakukan kelompok Salafi Wahabi merupakan kedok semata karena mereka
mulai tersudutkan dengan nama Wahabi yang sudah melekat erat dengan nama
pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. selain itu, hamppir semua gerakan
propagandanya muali terpatahkan dalam banyak hal.
Sebanarnya pula, nama baru
yang mereka pakai tersebut, meski dengan dalih tetap memegang haluan
ahlussunnah, baru digunakan ketika paham tersebut diekspor ke luar Saudi
Arabia. Rupanya mereka sadar bahwa nama Wahabi sudah tidak banyak membawa
keberuntungan. Karenanya mereka perlu merancang strategi baru ketika ingin
mendakwahkan pahamnya ke luar Jazirah Arab.
Sambutan baik didapatkan
Wahabi dari Muhammad Nashiruddin al-Albani.
Dengan strategi barunya, kelompok Salafi palsu ini,
benar-benar merasa perlu mengganti nama aliran mereka karena telah mengalami
banyak kegagalan. Hal ini seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Sa’id Ramadhan
al-Buthi dalam bukunya, As-Salâfiyah
Marhalah Zamâniyah Mubârakah Lâ Madzhab Islâmî.
Padahal, istilah Salafi
sendiri baru muncul pertama kali di Mesir dalam gerakan Pan Islamisme pada
akhir abad ke-19 yang digawangi Jamaluddin al-Afgani dan muridnya, Muhammad
Abduh. Gerakan pembaruan Islam (al-Ishlah
ad-Dini) tersebut dilakukan dalam rangkan membendung pengaruh sekularisme,
penjajahan, dan hegemoni Barat atas dunia Islam. Dalam konteks menumbuhkan
patriotism itulah Muhammad Abduh mengenalkan Salafi.
Sebelumnya, istilah Salafi
bahkan tidak pernah dipakai oleh para pendahulu yang sesungguhnya. Disebutkan
bahwa para ulama’ Salaf dan Mujtahid (Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Tsauri, dan
sebagainya) tidak pernah menyebut dirinya sebagai kelompok Salafi. Termasuk
para Imam ahli hadits, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam
Tirmidzi, dan seterusnya juga tidak ada yang menyebut dirinya sebagai Salafi.
Bahwa Nabi memang pernah
bersabda tentang tata cara salam kepada ahli kubur dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Thabrani:
“Assalâmu’alaikum yâ ahla al-qubûr yaghfirullâhu lanâ wa
lakum antum salafunâ wa nahnu bi al-atsar.” (HR.
Tirmidzi dan Thabrani).
Kata salafunâ dipakai untuk menyebut para pendahulu.
Penyebaran
Aliran Wahabi
Sepertinya, representasi
dari penyebaran aliran Wahabi ini ada di trilogi Salafi Wahabi karya Syaikh
Idahram. Dengan tuntas rekam jejak gerakan dan penyebaran aliran Wahabi didedah
secara ilmiah. Hingga pola masuknya sekte sempalan ini ke Indonesia juga
dikupas habis. Akan tetapi untuk penyebaran ke bumi Nusantara ini akan
diuraikan pada sub bab berikutnya.
Dalam bukunya yang pertama,
Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Syaikh
Idahram mengisi lembaran-lembaran tulisannya dengan bukti-bukti otentik genap
dengan referensinya. Kemudian pada buku kedua, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, disusul buku
ketiga dengan judul Ulama Sejagad
Menggugat Salafi Wahabi.
Merujuk pada buku tersebut,
metode dakwah aliran ini tergolong kasar. Bahwa, demi kepentingan dakwah mereka
menempuh cara-cara yang bahkan tidak ilmiah dan manusiawi. Pada awal
kemunculannya, dengan paham-paham aqidah yang ditawarkan Muhammad bin Abdul
Wahab, mereka melakukan pembantaian terhadap orang-orang Islam Makkah yang
tidak mau mengikuti paham ini. Hal ini ditunjukkan dengan maklumat langsung
dari sang pendiri dalam sebuah karyanya, Ad-Durar
as-Saniyah, Muhammad bin Abdul Wahab menulis:
“Wa mâ ahsana mâ qâlahu wâhid
min al-bawâdiy, lamma qadam ‘alainâ wa sami’a syai’ min al-Islâm, qâla: Asyhadu
annanâ kuffâr – ya’nî huwa wa jamî‘ al-bawâdiy –, wa asyhadu anna al-muthawwi‘
al-ladzî yusammînî Islâm annahû kâfirun.”
[Betapa indahnya apa yang diucapkan oleh salah seorang Badui
ketika dating kepada kami dan mendengar sedikit tentang Islam. Si Badui itu
berkata,’aku bersaksi bahwa kami adalah orang-orang kafir – yakni dirinya dan
semua orang-orang Badui –, dan aku bersaksi bahwa guru yang berkata bahwa kamia
dalah orang Islam, juga kafir.’”]
Demikian
adalah satu bentuk pola menyebaran aqidah Wahabi. Yakni dengan mewajibkan
pengikutnya agas bersaksi atas kekafiran Umat Islam. Kedua, paham ini
mengharuskan pengikutnya melakukan hijrah ke desa kelahiran Muhammad bin Abdul
Wahab, Najd. Kemudian para pangikut Wahabi haram bershalawat kepada Nabi
Muhammad Saw. Lalu, Wahabi juga melakukan penafsiran-penafsiran terhadap
Al-Qur’an dan melakukan ijtihad. Termasuk, hasil dari penafsiran-penafsirannya
tersebut, pengikut Wahabi menyamakan orang-orang Muslim Arab lainnya dengan
orang-orang kafir.
Seperti
yang sudah dipaparkan sebelumnya pada bab kedua, bahwa jika Ibnu Taimiyah lebih
cenderung pada teori dan dinamika pemikiran, Muhammad bin Abdul Wahab
merelaisasikannya dalam bentuk tindakan. Karenanya pula, belakangan pengikut
aliran ini terpecah menjadi dua kelompok besar. Yakni Salafi Yamani dan Salafi
Harakah. Akan tetapi pembahasan ini juga akan dijelaskan pada sub bab
berikutnya.
Adapun
pola pertama penyebaran aqidah Wahabi ini dapat dikategorika ke dalam upaya
penafsiran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tentu dengan metode dan
tujuan-kepentingan mereka sendiri. Pola berikutnya, masih merujuk pada Syaikh
Idahram, adalah dengan melakukan pemalsuan terhadap kitab-kitab karya ulama
klasik. Beberapa bentuk pemalsuan ini antara lain adalah dengan mengotak-atik
naskah asli pengarang dengan merubah atau menghapus gagasan-gagasan yang tidak
sejalan dengan pemikiran mereka. Semisal karya Syaikh Imam Nawawi ad-Damaskusi,
al-Adzkar, tentang anjuran ziarah ke
makam Rasulullah bagi para jama’ah haji. Dalam karya besar itu, para pengikut
wahabi merubah redaksi fi qabri
Rasuulillah shallallahu alaihi wa wasallama wa adzkaarihaa menjadi masjidi Rasulillahi shallallahu alaihi wa
sallama. Berikut adalah redaksi lengkap yang dikutip Syaikh Idahram:
“Fashl fî ziyârah qabr Rasûlilllâh
shallallâh ‘alaihi wa sallama wa adzkârihâ: I’lam annahû yanbaghî likuli hâjj
an yatawajjaha ilâ ziyârah Rasûlillâh shallallâh ‘alaihi wa sallama sawâ’ kâna
dzâlika thariqahû aw lam yakun fa inna ziyâratah shallallâh ‘alaih wa sallama
min ahammi al-qurabât wa arbâh al-masâ’î wa afdhal ath-thalabât, fa idzâ
tawajjaha li az-ziyârah aktsir min al-shalâh wa as-salâm ‘alaihi shallallâhu
‘alaihi wa sallama fî tharîqih. Fa idzaa waqa‘ basharahû ‘alâ asyjâri al-Madînah…”
[Pasal tentang ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan
dzikir-dzikirnya: ketahuilah bahwa sudah seyogianya bagi setiap orang yang
menunaikan ibadah haji untuk menziarahi (makam) Rasulullah Saw., baik kota
Madinah itu sebagai jalan yang dilaluinya untuk (menuju kota/negerinya) atau
bukan. Karena, menziarahi beliau Saw. termasuk ibadah taqarrub yang paling penting, usaha yang paling menguntungkan (bagi
setiap hamba untuk kebaikannya) dan perintah yang paling afdhal. Jika ia sedang menuju (Madinah) untuk berziarah, hendaklah
ia memperbanyak membaca shalawat dan salam untuk beliau Saw. di perjalanannya.
Dan apabila ia telah menyaksikan pohon-pohon kota suci Madinah…]
Demikian
karena ziarah merupakan sesuatu yang diharamkan dalam ajaran Wahabi, terkait
dengan kepentingan tersebut maka tangan-tangan kreatif pengikut Wahabi ini
merubah redaksi Imam Nawawi ini menjadi sebagai berikut:
“Fashl fii ziyaarati masjidi
Rasûlilllâh shallallâh ‘alaih wa sallam: I‘lam annahû yastajîbu man arâda ziyârah
masjid Rasûlillâh shallâllah ‘alaihi wa sallam an yuktsir min ash-shalâh
‘alaihi shallallâhu ‘alaihi wa sallama fî tharîqih. Fa idzaa waqa’a basharahu
‘alâ asyjâri al-Madînah…”
[Pasal tentang ziarah ke masjid Rasulullah Saw.: ketahuilah
bahwa, sudah seyogiyanya bagi orang yang ingin menziarahi masjid Rasulillah
Saw. untuk memperbanyak shalawat kepada beliau Saw. di perjalanannya. Dan
apabila telah menyaksikan pohon-pohoan kota suci Madinah…]
Pola kedua gerakan penyebaran aliran ini tentu tidak
berhenti sampai di sini. Perihal pemalsuan kitab-kitab dilakukan terhadap
sejumlah ulama lain seperi as-Syaikh al-Muhaddits Abdullah al-Harari al-Habasyi
dengan menebar fitnah bahwa Syaikh Abdullah adalah penyebar aliran baru, al-Ahbasy. Senyatanya, yang difitnah
jelas-jelas adalah pengikut Asy’ari yang taat. Atau intimidasi dalam bentuk
paling ekstrem dengan melakukan penculikan terhadap penulis Târikh ‘Alî Sa‘ûd, Nashir as-Sa’id dari
Lebanon.
Masuknya
Wahabisme ke Indonesia
Setelah berdirinya kerajaan Saudi, ditandai dengan
pengukuhan Ibnu Saud sebagai emir dan
Muhammad bin Abdul Wahab bebagai imam urusan agama pada 1744 M., secara resmi
paham Wahabiah dipakai oleh kerajaan Saudi. Sementara keberadaan baitulllah di
kota Makkah ternyata cukup menguntungkan dalam penyebaran paham ini ke seluruh
dunia. Lewat jama’ah-jama’ah haji yang dating dari berbagai pelosok negeri,
dengan cepat paham ini tersebar.
Di daratan Nusantara, ulama-ulama dari daerah Sumatera Barat
disebut-sebut sebagai pembawa paham ini. Pada awal abad ke-19, paham ini mulai
tumbuh dan berkembang lewat gerakan pembaruan yang dikomandoi oleh Tuanku Imam
Bonjol. Hampir bersamaan dengan gerakan Pan Islamisme yang terjadi di Mesir
oleh Jamluddin al-Afghani dan mudridnya, Muhammad Abduh. Masing-masing
membawahi gerakan pembaruan Islam. Di satu sisi, Wahabi mulai menyebut dirinya
dengan istilah Salafi. Sekali lagi, menurut A. Hanafi dan Syaikh Idahram,
perubahan nama yang mereka lakukan adalah dalam rangka strategi dakwah baru.
Setidaknya, dari dua tokoh ini dapat diketahui bahwa perubahan Wahabi ke Salafi
seiring dengan ekspansi ke luar Jazirah Arab.
Pada kurun waktu 1803 – 1832 M., di Nusantara sedang
bergejolak peristiwa perang Padri dengan semangat purifikasi ajaran agama.
Meskipun pada satu sisi gerakan kaum Paderi ini adalah bentuk perlawanan
terhadap kolonialisme, akan tetapi spirit perjuangan mereka kemudian menjadi
perpanjangan tangan kelompok Wahabi dengan nama Salafi di Nusantara.
Melanjutkan semangat gerakan kaum Padri di Sumatera, spirit serupa mulai
bercokolan di tanah air. Organisasi-organisasi pembaruan seperti al-Irsyad,
Persis, dan Muhammadiyah juga tampil dengan semangat serupa.
Di satu sisi, problem yang dihadapi di Nusantara adalah
menghadapi kelompok masyarakat yang menjadi generasi penganut Hindu-Budha yang
telah memeluk agama Islam. Mereka khawatir adanya percampuran antara kebudayaan
Hindu-Buddha dengan ajaran Islam. Karenanya dengan semangat purifikasi itulah
organisasi-organisasi pembaharu Islam hadir di tengah-tengah masyarakat. Akan
tetapi, gerakan kaum Salafi di Nusantara (sampai kemudian merdeka) tidak
seekstrem yang dilakukan kelompok Salafi di Jazirah Arab. Terutama ketika masih
masa hidupnya Muhammad bin Abdul Wahab. Salafi di Indonesia hanya memiliki
kesamaan spirit dalam memurnikan ajaran Islam.
Baru ketika di Indonesia sedang terjadi internasionalisasi
besar-besaran, sekitar tahun 1970-an, banyak bercokolan organisasi-organisasi
Islam. Memasuki tahun 80-an, organisasi-organisasi dari luar negeri semisal
Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Jama’ah Tabligh, Hizbut Tahrir, Jama’ah Islamiyah
mulai berkembang. Pun masing-masing mulai mendapatkan simpati. Pada puncaknya,
tahun 1995 seiring dengan terbitnya Majalah Salafi Ja’far Umar Thalib secara
resmi membawa gerakan Salafi ke Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan sedikit di sub bab sebelumnya, bahwa
aliran Salafi yang berkembang secara umum terbagi menjadi dua. Salafi Yamani
dan Salafi Harakah. Salafi Yamani di
bawah panji Ja’far Umar Thalib sebagai panglima Laskar Jihad. Meskipun awalnya
dia adalah pengikut kelompok Salafi Harakah, belakangan ia pindah dan tampil
sebagai ujung tombak Salafi Yamani. Salah satu bentuk gerakannya di Indonesia
adalah monopoli gerakan Salafi. Karenanya tidak hanya organisasi-organisasi
senior Salafi di Indonesia saja yang diserang. Bahkan sesama organisasi Salafi
di luar paham Yamani tidak luput dari gerakannya.
Kesimpulan
Jika dipetakan secara sederhana, secara umum keseluruhan
aliran dalam Islam adalah upaya menerjemahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Paling
tidak kesemuanya juga mengatasnamakan dirinya sebagai ahlussunnah. Berkiblat pada ajaran-ajaran ulama Salaf (as-Salafu
as-Shalih) yang memiliki legalitas intelektual secara tidak langsung dari
Rasulullah Saw. Kemudian melakukan pengajaran dan propaganda pada masyarakatnya
masing-masing. Sampai pada fase ini pula, perbedaan bermunculan mengakibatkan
perpecahan-perpecahan dalam memahami dua sumber agama tersebut.
Barangkali, di satu sisi, ikhtilâfu ummatî rahmah yang pernah disabdakan Rasulullah Saw. itu
bakal menemukan tujuannya. Akan tetapi fase perdebatan yang sudah berlangsung
lebih dari 10 abad yang lalu itu benar-benar harus dilalui. Entah sampai kapan
pula perdebatan ini akan berlangsung. Barangkali pula, ketika sampai pada
waktunya, Islam benar-benar akan menunjukkan kejayaannya tanpa adanya perbedaan
apapun antar masing-masing pemeluknya. Atau justru inilah rahmat yang
dimaksudkan Rasulullah Saw. Yakni ketika umatnya benar-benar berlomba menjadi
yang paling benar di atas yang lain.
Dengan adanya aliran Wahabi atau Salafi ini, setidaknya
generasi hari ini dapat belajar sesuatu dari banyaknya aliran pemikiran dalam
Islam. Setidaknya juga, adanya fenomena gerakan-gerakan Salafi hari ini dapat
dibaca sebagai bahan pengayaan ilmu pengetahuan. Bagi kalangan non pengikut
aliran Salafi, tidak kemudian memandangnya dengan sebelah mata. Pun bagi
penganutnya, tidak kemudian menganggap kelompoknyalah yang paling berhak atas
kebenaran agama. Barangkali ini yang paling penting di antara kemungkinan
manfaat yang tersebut di atas. Wallâhu A‘lam bi ash-Shawâbi.
Kritik
atas Aliran Wahabi
Ketika A. Hanafi secara halus mengkritik Wahabi dengan
menggambarkan perasaan sebagian besar kaum muslimin,
Syaikh Idahram sebaliknya. Dengan mengutarakan pendapat-pendapat para
cendekiawan muslim sejagad di antara pitutur-pututurnya sendiri, dalam buku
ketiganya Syaikh Idahram membongkar kesalahan-kesalahan atau penyimpangan yang
dilakukan kelompok Salafi Wahabi ini.
Pada kesempatan ini, penyusun hanya akan memaparkan beberapa
realitas parsial saja. Pertama, dalam
perubahan redaksi karangan Imam Nawawi ad-Dimasqi, Al-Adzkâr, kelompok paham Wahabi tampak tidak begitu konsisten
dengan ajarannya sendiri. Menurut penyusun, di dalam serangkaian kalimat
tersebut terdapat kalimat aktsir min ash-shalâh
wa as-salâm ‘alaihi. Dalam bentuk yang sudah dirubah, kata min as-shalâh masih ditetapkan. Padahal
dalam salah satu ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, para pengikut Wahabi
diharamkam membaca shalawat kepada Rasulullah Saw.
Kedua,
merujuk pada pengantar dari KH. Mundzir Tamam, M.A. (Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia Prov. DKI Jakarta) dalam buku ketiga trilogi Salafi Wahabi, kesalahan
paling fatal yang dilakukan kelompok Salafi Wahabi antara lain: cara memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tekstual dan literal. Sehingga membuat dua sumber
hukum Islam tersebut menjadi jumûd.
Mereka tidak tau (atau bahkan tidak mau
tau) bahwa Al-Qur’an banyak mengandung makna majâzî. Dengan mengesampingkan makna majâzî Al-Qur’an, secara tidak langsung menreka menunjukkan
kebebalannya dalam berfikir, karena dengan sesuatu yang metaforis akal akan
bekerja sesuai dengan kondratnya.
Kesalahan berikutnya, masih menurut KH. Mundzir Tamam, M.A.,
mereka melupakan 3 pilar penting dalam ajaran agama. Iman, Islam, dan Ihsan. Di
mana tasawuf, ejawantah dari konsep ihsan, dipahami secara tidak akurat. Sekali
lagi karena mereka terlalu tekstual dalam membaca dan belajar sesuatu. Sehingga
mereka tak ubahnya robot yang tidak dapat berfikir selain apa yang sudah
diprogramkan sebelumnya. Dan tentunya masih banyak lagi persoalan-persoalan
yang dapat diuraikan dalam kesempatan lain.
Penutup
Satu hal yang paling tidak disukai oleh penyusun adalah
mengakhiri tulisan. Begitu pula ketika penyusunan penelitian ini sampai pada
bagian ini. Penutup. Karenanya susah sekali menyusunan kalimat-kalimat penutup.
Terutama tentang tema yang begitu manarik ini. Meskipun tema tentang Wahabisme
merupakan satu tema yang seringkali hanya menjadi pergunjingan sepihak dari
kelompok-kelompok anti Wahabi. Lebih spesifik lagi, Wahabi atau Salafi yang
berkembang di Indonesia.
Karena juga, barangkali, Wahabi yang berkembang di Indonesia
semakin tidak jelas epistemologi keilmuannya. Justru, jika memang benar adanya,
ketidakjelasan epistemologi keilmuan seperti itu hari ini lahir dalam
produk-produk pengetahuan instan. Di lapangan, tradisi intelektual dan iklim
ilmiah semakin tergusur dari rumahnya. Tergantikan dengan tradisi-tradisi baru
yang kompatibel dengan keilmuan-keilmuan instan. Lantas apa jadinya ketika dua
realitas itu bertemu selain penyatuan pengetahuan yang tidak ilmiah?
Sungguh penyusunan
penelitian ini tidak dimaksudkan untuk justifikasi serta monopoli kebenaran
dari sebuah ideologi. Bagaimanapun, sebuah paham keaagamaan butuh apresiasi dan
kritik. Karenanya inilah yang harus diketahui oleh kalangan intelektual dan
akademisi sebagai sebuah fakta keilmuan modern, sehingga dapat disikapi secara
professional, proporsional, dan bijaksana. Tidak dengan pemaksaan kebenaran
atas paham tertentu dalam bentuk tindakan ekstrem irasional.
Akhirnya, semoga penyusunan
penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca pada umumnya. Akan
tetapi, penyusun juga berharap dapat mengambil hikmah dari penggarapan
penelitian ini. Tidak lupa, penyusun juga menghaturkan puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan nikmat-Nya dari secercah pengetahuan-Nya yang
agung.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[]
Yogyakarta,
12-12-12
*Muhammad Mahrus adalah mahasiswa jurusan Aqidan dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya.