[sumber] |
Oleh: Irham Thoriq
“Jika Kau Menghamba Kepada Ketakutan,
Kita Memperpanjang Barisan Perbudakan”
Kita bertemu pertama kali di penghujung
2013 silam. Pada siang yang teduh di Perpustakaan Kota Malang, kita mengobrol ngalor
ngidul tentang puisi, dan juga korupsi. Rambutnya gondrong, berkumis, dan
pakaiannya tidak terlalu necis untuk ukuran gentleman.
Pada 7 Februari lalu, Sosiawan Leak
kembali ke Malang. Kali ini dia menyempatkan mampir ke Kantor Radar Malang
untuk berdiskusi tentang sastra dengan awak redaksi dan para budayawan di
Malang. Karena sedang liputan, saya absen dari diskusi yang menggairahkan itu.
Dalam sekali perjumpaan serta sekali
gagal berjumpa itu, saya kagum dengan kegetolannya: membuat perubahan dengan
Puisi. Saya kira ini “jalan pedang” bagi orang yang menginginkan perubahan
hanya dengan kata-kata.
Ketika pertama kali bertemu, Leak sedang
melakukan sosialisasi tentang programnya bernama Puisi Menolak Korupsi (PMK).
Dia terlihat antusias menjawab pertanyaan saya yang baru tahu program ini.
Diakhir obrolan, dia meminta alamat email saya.
Beberapa hari setelah pertemuan itu,
ketika saya sudah tidak mengingat-ingat lagi pertemuan singkat itu. Leak
berkirim email, isinya tentang jadwal sosialisasi PMK, berapa buku yang sudah
diterbitkan, sejarah gerakan PMK dan lain-lain. Sampai beberapa bulan, email
terus masuk dari Leak.
Saya menganggap Leak adalah sastrawan
yang tidak hanya mengandalkan keindahan kata-kata. Puisi menurutnya harus
mempunyai dampak perubahan, saya kira konsepnya sama dengan filsuf Karl Marx
yang mengatakan kalau filsafat harus mempunyai dampak terciptanya masyarakat
tanpa kelas.
Tapi, yang menjadi pertanyaan saya waktu
itu, apakah bisa puisi mengurangi korupsi di negeri ini? Jujur saya pesimis.
Kita tahu, korupsi di Negeri antah berantah ini sudah sangatlah akut. Tidak
mungkin seorang pejabat bisa insaf hanya setelah membaca satu atau dua
bait puisi dan sajak.
Jika diibaratkan sakit kepala, sakitnya
para pejabat yang korup ini sudah tidak lagi bisa diobati dengan obat apotek
atau yang dijual di jalanan. Perlu obat dengan campuran sedikit racun untuk
menyembuhkan sakit kepala mereka, karena dengan begitu mereka akan mati tanpa
lagi merasakan sakit kepala. Atau kalau tidak demikian, butuh banyak hidayah
yang diturunkan tuhan dari langit paling atas.
Saya menganalogikan korupsi dengan
hal-hal tidak masuk akal ini karena memang korupsi seolah sudah menjadi budaya.
Tengoklah televisi, mereka mengumbar senyum tanpa rasa malu meski sudah
terbukti memakan uang rakyat, mencuci uang dengan menghamburkannya kepada para
artis, dan lain-lain. Saraf kemaluan mereka seolah sudah habis.
Tapi rupanya Leak tidak berpandangan
sesempit saya, dia beranggapan kalau Puisi meski bukan kalam Tuhan bisa
menginsafkan orang. Setidaknya bagi mereka orang baik atau orang jahat yang
masih bisa diselamatkan oleh bait-bait puisi.
Mungkin karena alasan inilah, yang
disasar Leak bukanlah pejabat. Tapi para pelajar, mahasiswa, aktivis sosial,
guru dan orang-orang muda yang mempunya peluang menjadi pemimpin kelak. Mereka
tidak hanya jadi sasaran sosialisasi, tapi mereka jugalah yang menuliskan puisi
dan dijadikan buku ontologi puisi.
Dengan gerakannya itu, Leak seolah
meyakini kalau puisi bisa menjadi alat propaganda. Meski tindakan korup para
politisi tidak bisa dirubah dengan puisi, Leak sadar kalau menanamkan alam
bawah sadar kepada anak-anak butuh jejalan kata-kata, jika yang diinginkan
mereka anti korupsi, maka kata-kata anti korupsi perlu dikumandangkan terus
menerus.
Tentang puisi dan propaganda, kita layak
bercermin pada Widji Tukul. Dia diculik sejak 1998 dan tidak pernah kembali
sampai saat ini karena puisi-puisinya. Sebelum dinyatakan hilang, dia
berpindah-pindah tempat tinggal, lari dari kejaran aparat Orde Baru.
Dalam pelariannya, Tukul masih menulis
puisi tentang perlawanan. Melalui kata-kata, dia berhasil “mempropaganda” para
aktivis untuk tak surut melawan kesewenang-wenangan. Hanya karena kata-kata
pula dia dihilangkan.
Membaca puisi dan tulisannya yang tidak
terlalu puitis karena lebih banyak tentang perlawanan, saya sering kali merasa
sedih sekaligus haru. Suatu ketika dalam pelarian, Tukul berkirim puisi pada
anak perempuannya, Fitri Nganthi Wani: Kalau Teman-temanmu tanya/ kenapa
bapakmu dicari-cari polisi/jawab saja:/ karena bapakmu orang berani,”.
Saya kembali tertegun, ketika membaca
tulisan Fitri Nganthi Wani di Majalah Tempo edisi mengenang sepuluh tahun Munir
yang terbit akhir tahun lalu. Tulisan ini seolah menjadi curahan hati dari
seorang anak yang ayahnya diculik. ”Dia membeli sepaket kebenaran dengan
nyawanya,” Begitulah salah satu penggalan tulisan Nganthi Wani yang menurut
saya begitu menohok.
Saya kira Nganthi Wani layak berbangga, mempunyai
ayah yang tidak menghamba pada ketakutan. Dari puisi-puisi, kita bisa memutus
garis perbudakan sebagaimana bunyi Puisi Tukul pada pengantar tulisan ini.[]