[sumber] |
Oleh: Irham Thoriq
Sejarah adalah
peristiwa yang terus berulang. Begitulah klise yang sering
kita dengar. Orang pintar, cederung mengulang tindakan-tindakan yang membuat
mereka terlihat tidak seperti orang dungu. Sebaliknya, orang dungu sering
melakukan banyak kesalahan yang sama dan berulang-ulang.
Lantas
kenapa banyak orang pintar yang sering melakukan kedunguan. Itu mungkin
kepintarannya dikalahkan oleh kedunguan yang tidak berasal dari dirinya
sendiri. Ada bisikan yang membuat mereka kalap. Dan hanya ada kekecewaan bagi
orang lain jika orang yang pintar itu mendadak menjadi dungu.
Dan orang yang paling tepat untuk dijadikan contoh ihwal hal
tersebut adalah Jokowi, presiden kita sendiri. Mula-mula, kita mengenalnya
sebagai orang yang merakyat dari Solo. Ada gorong-gorong tersumbat, Jokowi
langsung turun mengecek. Ada Pedagang Kaki Lima (PKL) protes relokasi, dia
kumpulkan hingga puluhan kali di Balaikota. Dia terlihat begitu merakyat, dan
seolah titisan dewa saat memimpin Solo.
Kepintaran
Jokowi masih terlihat ketika dia memimpin Jakarta. Jokowi masih diburu-buru
media karena kegemarannya blusukan. Dia memimpin Jakarta dengan penuh
manusiawi, meski kebanyakan orang Jakarta tidak terlalu manusiawi dalam banyak
hal. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerapkan mobil
murah, dia menolak karena alasan kemacetan.
Ketika
menjadi presiden inilah, ketidakpintaran yang selama ini tidak terlihat dari
seorang Jokowi kita dapati dan kitapun kecewa. Kita tahu, Jokowi dihujat karena
mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri. Orang ini disebut-sebut berekening
gendut dan dekat dengan Megawati, Ketua Umum Partai menyokong Jokowi sebagai
presiden.
Kekecewaan
itu terus berlanjut, tidak lama setelah keriuhan soal Kapolri, Jokowi membawa
“pengusaha otomotif” AM Hendropriyono ke Malaysia untuk bekerjasama dengan
Proton. Dia menggandeng perusahaan asal Malaysia itu untuk mengembangkan mobil
nasional di Negeri ini.
Jika
dirunut kebelakang, sebenarnya banyak keputusan Jokowi yang mengecewakan kita.
Seperti penunjukan Menteri yang hanya untuk menyenangkan Ketua Umum Partai
pendukung, Penunjukan Politisi Nasdem Prasetyo sebagai Jaksa Agung semakin
menambah kekecewaan itu.
Lantas
kenapa presiden kita membuat kecewa para pendukungnya. Sebagaimana saya bahas
diatas, orang pintar bisa mendadak menjadi dungu karena tekanan dari luar. Saya
yakin, kedunguan itu bukan dari dirinya sendiri. Tapi dari luar yang membuat
presiden kita tidak terlihat sebagai kepala negara yang tegas. Keputusan yang
dia buat seperti bukan dari dirinya sendiri.
Mungkin
anda dan kita semua yang terkadang dungu mengetahui siapa orang luar itu. Para
pembisik Jokowi itu sebenarnya sudah tua-tua, umur mereka kepala enam lebih.
Tapi entah kenapa, orang tua-tua ini seolah senang melihat negara kita riuh dan
melihat pemimpinnya bertindak seperti orang linglung.
Kenapa
mereka yang tua-tua itu membisik? jawaban paling mudah tentu karena
kepentingan. Para orang tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak, mereka
ingin keinginannya tercapai dengan segala cara. Seperti anak-anak yang ingin
membeli mobil mainan, mereka merengek dan berbisik kepada orang tuanya. Jika
gagal, mereka mengambil mobil mainan milik tetangga.
Jika
para pembisik yang tua-tua itu akan selalu ada sampai Jokowi lengser lima tahun
lagi, tugas utama Jokowi adalah tidak mendengarkan bisikan-bisikan itu atau
hanya menganggap pembisik itu sebagaimana orang yang kekanak-kanakan
dan sedang menginginkan mobil-mobilan.
Tidak
melakukan itu, Jokowi sama saja dengan menggali lobang kuburannya sendiri. Dia
akan mudah dilupakan oleh khalayak umum, akan banyak orang termasuk anak-anak
menganggap dia sebagai orang yang dungu. Kita tahu, apa yang diputuskan Jokowi,
orang akan memberi penilaian terhadap dirinya sendiri bukan terhadap orang yang
membisikinya.
Sekali
lagi, Sejarah adalah peristiwa yang terus berulang.
Seharusnya
Jokowi sadar kalau sejarah kekelaman bangsa ini akan terulang jika dirinya
masih saja mendengarkan para pembisik. Kita tahu, Soekarno lebih melekat dalam
ingatan rakyat karena dia adalah pemimpin yang membela rakyat, bukan membela
para pembisiknya atau malah menumpas rakyatnya sebagaimana yang dilakukan rezim
Soeharto.
Menulis
catatan ini, saya tiba-tiba teringat Rubrik Tempoe Doloe di Majalah Tempo.
Rubrik ini memuat apa yang pernah diberitakan Tempo pada masa lalu yang
kejadiannya nyaris sama dengan masa kini. Sekenannya, saya mengambil dua
majalah dari tumpukan Buku yang berada di kolong tempat tidur.
Kebetulan
saya mendapati majalah edisi 24-30 Maret 2014 dan Edisi 11-17 Noveber 2014. Di
Rumbrik itu, pada edisi Maret, majalah ini membahas tentang ketelantaran
Jama’ah haji pada 30 tahun silam. Rupanya, ketelantaran itu masih terjadi
sampai sekarang. Pada edisi November, di Rubrik ini membahas
pristiwa 40 tahun lalu yakni tentang polisi yang berhasil menangkap benda
Purbakala di Mojokerto. Dan tiga tahun lalu, ada 144 koleksi Museum Sonoboyo
Yogyakarta yang juga hilang.
Begitulah kira-kira Pak Jokowi tentang sejarah, yang hanya berisi tentang pristiwa yang terus berulang. Entah anda ingin menjadi seperti Soekarno atau Soeharto, itu anda sendiri yang menentukan, bukan para pembisik anda.[]