[sumber] |
Oleh: Atho' Lukman Hakin
Kisruh Golkar memasuki babak baru. SK Menkumham yang mengesahkan kubu Agung Laksono ditangguhkan sampai ada putusan tetap dari pengadilan. Sebelumnya pemerintah melalui Menkumham Yasonna Laoly memutuskan hasil Munas Ancol sebagai pengurus yang sah partai yang dulu penyokong Orde Baru itu. Keputusan yang kontroversial ini berdasar pada keputusan Mahkamah Partai yang amar keputusannya menyebutkan Andi Matalatta dan Djasri Marin memberikan legitimasi kubu Ancol. Sedang dua hakim lainnya, Muladi dan Natabaya mengakui Kubu Munas Bali pimpinan Ical.
Dengan keputusan sela PTUN Jakarta Timur yang menetapkan menunda penetapan SK Menkumham (JP. 2/4/15) kita berharap semua pihak menahan diri. Drama politik yang tersaji sebelumnya dengan berebut pimpinan Fraksi sertã sekretariatnya adalah tontonan yang tidak mendidik masyarakat. Sungguh disayangkan dewan yang mustinya menjadi model bagi pendidikan politik tidak memberi teladan yang baik dalam penyelesaian konflik.
Akan tetapi melihat respon dari dua kubu anganan itu sulit terwujud. Konflik tidak akan mereda. Menurut Yusril, pengacara kubu Munas Bali, menyatakan dengan putusan tersebut maka otomatis kepengurusan Golkar kembali dipegang hasil Munas Riau 2009. Sebaliknya kubu Munas Golkar melalui Agung Laksono berpendapat SK Menkumham tetap berlaku dan tidak ada pembatalan. (JP, 2/4/15).
Sebenarnya, bukan kali ini saja Golkar mengalami dinamika Internal. Akan tetapi kali ini yang terburuk. Ketika Akbar Tanjung digantikan Yusuf Kalla saat menjadi Wakil Presiden SBY, kubu Akbar Tanjung mampu bersikap legowo dan dewasa. Demikia Juga, ketika Surya Paloh dikalahkan Abu Rizal Bakrie pada Munas Riau 2009, dia memilih mendirikan Ormas Nasdem yang sekarang menjadi partai daripada membuat kisruh internal Partai Golkar. Baru kali ini Golkar mengalami perpecahan dalam pengertian yang sebenarnya Tentu diluar dugaan banyak orang itu terjadi di partai yang paling berpengalaman.
Tentu Konflik Golkar ini tidak menguntungkan masyarakat pada umumnya. Ditengah terpaan problem krusial yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak sungguh tidak elok menampilkan perkelahian politik elit yang telanjang dan kurang bermartabat. Terkesan rakyat kurang mendapat perhatian. Kenaikan harga BBM yang diiringi dengan kenaikan barang lain membuat rakyat semakin terpuruk, ancaman radikalisme ágama yang mengancam nilai-nilai dasar kita sebagai bangsa, ancaman keamanan dan ketertiban masyarakat, dan problem akut lainnya partai politik terkesan bungkam. Mereka mustinya bersama elemen Pemerintah lain bahu membahu, bekerja keras mencari solusi. Bukan saling menjegal, mencaci, sertã saling sandera. Haqqul yaqin, rakyat sudah bosan.
Semua pihak termasuk media hanya gempar membicarakan isu-isu elit yang jauh dari wacana rakyat sehari-hari. Rakyat seperti dipaksa untuk menghadapi sendiri kesulitan hidupnya. Saluran kepentingan rakyat menyempit akibat kebebalan para elit baik di pemerintahan maupun di civil society. Kondisi ini muncul akibat kehidupan sosial politik kita menomorduakan politik ‘mendengar’ dan lebih mengedepankan politik ‘bicara’.
Politik mendengar artinya politik rendah hati. Sebuah sikap bersedia untuk berempati dan berkomitmen untuk kepentingan hajat rakyat Indonesia. Sebaliknya politik ‘bicara’ menonjolkan kepentingan golongan dan kelompoknya. Melihat carut marutnya politik sekarang tidak berlebihan jika dikatakan bangsa kita terjangkit krisis politik ‘mendengar’.
Politik mendengar membutuhkan kesabaran revolusioner dalam menahan egonya demi kepentingan orang banyak. Ini pasti muncul dari jiwa yang empatik dan punya etos kerja tinggi. Adagium Jawa sepi ing pamrih rame ing gawe cukup menjelaskan kondisi kejiwaan seorang pendengar.
Sedang Politik ‘bicara’ seperti pepatah ‘tong kosong nyaring bunyinya’. Mereka lupa hakekat berpolitik, yakni kemaslahatan rakyat. Jebakan kubangan kepentingan diri dan kelompoknya yang menyelimuti mereka mengakibatkan gerakan politik mereka menjadi dangkal.
Era reformasi sudah terlalu banyak ‘bicara’, bahkan cenderung kebablasan. Saatnya kita banyak ‘mendengar’ dan bekerja. Banyak ‘bicara’ selama ini hanya membuat reformasi jalan di tempat. Pemerintah, termasuk di dalamnya eksekutif, legeslatif dan yudikatif, harus kerja bahu membahu. Persaingan politik sudah usai sejak terpilihnya Presiden. Kini saatnya semua kembali menjadi Indonesia dan berjuang bersama-sama demi kejayaan bangsa. Kita tidak mengenal oposisi. Tidak ada KIH atau KMP yang ada hanya Indonesia. Karenanya, perlu sikap kenegarawanan dan kerendahhatian sejati.
Kembali pada konflik Partai Golkar, jangan biarkan rakyat semakin skeptis terhadap partai. Sebab partai adalah pilar utama demokrasi kita. Semua pihak yang berkonflik hendaklah merenungkan hakekat partai sebagai saluran aspirasi rakyat demi kesejahteraan bersama. Kita berharap Golkar mampu segera menyelesaikan konflik internal dengan elegan tanpa harus kehilangan konsentrasi pada problem-problem kerakyatan. Demikian juga pemerintah, hendaknya berdiri netral dan memberi kesempatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan problem internal mereka.
Terlalu banyak problem rakyat saat ini. Pemberantasan korupsi yang berjalan mundur., tingkat pendidikan yang rendah, kemiskinan, radikalisme, keamanan energi dan pangan, dan sebagainya, membutuhkan penanganan segera dengan etos kerja yang tinggi. Jika tidak diatasi Indonesia akan semakin tertinggal.
Jika Golkar meninggalkan politik ’mendengar’ maka de facto akan kehilangan fungsinya. Dan pada saatnya, rakyatlah yang akan menghukum, yakni pada pemilu 2019 nanti.[]