Oleh: Muhammad Madarik
Tatkala aku lunglai dihempas gelombang, kakiku terseok di
pantai berpasir ini. Angin dingin menembus pori-pori kulit hitamku, menambah
raga kian tak berdaya. Dalam sejenak aku terdiam. Lalu kembali kedua kaki ini
kulangkahkan. Serasa berat mengayunkan. Jejak kaki menggambarkan telapak kaki
terseret.
Baju yang melekat di tubuh ini benar-benar lusuh. Dari
pakaianku aroma tak enak menyebar. Bau. Rambut gondrong tak pernah tersisir.
Gimbal.
Sekian langkah, aku terhenyak menyaksikan dua sejoli sedang
bercinta di bibir pantai. Suasana temaram, hanya secercah mentari yang akan
masuk ke peraduan ufuk barat manambah syahdu dua insan yang sedang kasmaran.
Bebatuan menjadi penyangga duduk mereka berdua yang berhimpitan.
Aku berdiri menghentikan ayunan kaki seberapa depa dari
mereka berdua. Aku tahu, mereka berdua hanyalah sebagian dari sekian orang yang
menganggapku gila. Mereka berdua cuma menyempatkan sedetik untuk memndangku,
kemudian kembali masuk ke dalam dunianya. Mereka berdua tak lagi peduli
sekelilingnya, apalagi hanya sekadar sosok yang dianggap tak waras.
Aku tersenyum melihat orang-orang yang menganggapku hilang
ingatan. Padahal, bagiku merekalah orang-orang tak sehat akal. Aku redam kemarahan
setelah aku teringat masa lalu.
***
Sejak kecil, aku tak asing dengan kemiskinan. Orang tuaku
rakyat jelata yang tak mampu mewarisi harta dan kemewahan. Aku terdorong untuk
membantu orang tua meringankan beban berat yang dipikul ayah-ibu. Kami hidup di
pinggir kota besar. Di atas sepetak tanah, bangunan sederhana menjadi rumah
berlindung keluargaku. Rumah-rumah serupa berjajar saling berhimpitan
menjadikan kampung ini begitu padat.
Lingkunganku dihuni jelata yang berpenghasilan di bawah rata-rata. Selama ini ayah bekerja sebagai tukang kayuh
becak, sedangkan ibuku menjual gorengan di gang depan rumah.
Sejak kecil, lingkungan telah menempa diri ini menjadi
pemuda kuat, mandiri dan pengalaman. Aku kenal alam bebas dan aku akrab dengan
dunia malam. Di sela aku menghabiskan waktu bersama kawan-kawan, nasibku cukup
beruntung karena kenal ragam orang dari semua kelompok pergaulan. Ternyata
hidup bebas tanpa sekat "sekolah formal" mendidik lebih banyak
pengetahuan dengan pengalaman langsung. Tetapi karena bapak, aku disadarkan
agar mencari pekerjaan yang pasti. Aku turuti setelah menyaksikan ada tetesan
air mata meleleh di pipi ibuku. Aku tak kuasa melihatnya. Jiwa ini bergetar.
Dua adik kecil yang sedang makan dengan lauk seadanya, mengilhami pikiranku untuk
segera mencari tambahan beaya hidup bagi keluargaku.
Kini, aku berada di rumah besar. Tuan Gani adalah seorang
pengusaha sukses di kota metropolitan. Ia mempunyai tiga orang anak. Lila
merupakan putri pertamanya, Nadia adiknya dan Tridermawan satu-satunya anak
laki-lakinya. Bapak dan ibu merupakan orang baik, ramah dan memperlakukan semua
pembantunya layaknya manusia merdeka tanpa sekat strata sosial. Aku senang ikut
membantu rumah ini. Dalam waktu luang, bapak seringkali mengajakku berbincang
banyak hal di joglo halaman belakang. Tempat favorit bapak saat berada di
rumah.
Datang cobaan bagi bapak. Perusahaan yang dipimpinnya mulai
goyah. Beberapa aset perusahaan terpaksa dilepas demi melanjutkan perusahaan
agar tidak semakin runtuh. Faktor kesulitan finansial disinyalir menjadi anasir
terkuat mulai ambruknya bisnis keluarga itu. Pelemahan ekonomi dunia ikut
mempengaruhi investasi usaha milik bapak. Hal ini dirasakan cukup menyulitkan
perusahaannya.
Bapak sering berpikir keras di tempat yang disenanginya.
Acapkali aku menjadi teman bicaranya, dan kadang-kadang saling beradu argumen
di antara kita. Tidak jarang, beberapa ide yang kulontarkan masuk di dalam
pikirannya. Kayaknya bapak menerima dan melaksanakan usulan-usulan yang kusampaikan.
Secara perlahan, kondisi perusahaan bapak semakin sehat.
Kini, hampir setiap berada di rumah, bapak selalu mengajakku
bertukar pikiran dan mengobrol. Mulai dari tema-tema ringan sampai topik-topik
berat. Seperti biasa, kopi panas dan rokok yang senantiasa menyertai pembicaraan
kita memperpanjang obrolan hingga larut malam. Kendatipun keakrabanku dengan
bapak tanpa dinding penghalang, aku berupaya memosisikan diri sebagai pembantu
keluarga ini. Sikapku terhadap semua anggota, khususnya bapak dan ibu, tetap
tak berubah seperti sedia kala ketika awal aku datang ke rumah ini.
Kebersamaanku dengan bapak, perilaku yang kutampakkan,
kepiawaianku dalam berbicara, tingkat analisisku yang tajam dan kejujuranku
membuat bapak-ibu menjadikan mereka berdua mulai ditumbuhi rasa tertarik
padaku. Konon menurut Bibik Tonah, pembantu tua yang sudah bertahun-tahun ikut
keluarga ini, dulu pernah ada seseorang yang dekat dengan bapak. Tetapi karena
sikapnya yang merasa setara dengan anggota keluarga dan hampir setiap hari mencuri,
ia diusir dari tempat ini.
Akhirnya aku ditawari menjadi suami Lila oleh bapak. Rasa
gembira bercampur tidak percaya menyelimuti jiwa ini. Hanyalah seorang pembantu
rumah tangga bisa-bisanya ditawari untuk menjadi menantu oleh tuannya sendiri.
Kebimbangan dalam perasaanku tak lagi bisa dibendung sekian hari menjalani
hidup pada minggu-minggu ini.
Lamaran pun sesederhana mungkin dilakukan oleh pihak
keluargaku seusai tawaran keluarga Lila dirembukkan bersama orang tuaku.
Melalui proses yang alot dan melibatkan beberapa wakil familiku, tawaran itu
diterima secara bulat.
Sekarang megister ekonomi itu telah menjadi Nyonya Lila
Memet Junun.
Aku telah menempati rumah yang tak kalah besar dari kediaman
bapak bersama istriku dengan fasilitas lengkap pemberian bapak. Rumahku
berdampingan dengan mertua, sehingga hubungan dengan keluarga bapak tak begitu
kesulitan. Apalagi bapak masih sering mengajakku untuk mengobrol berbagai hal.
Lebih-lebih setelah aku ditunjuk sebagai Pimpinan Direksi, sementara bapak
menduduki Dewan Komisaris. Adapun Lila dipercaya oleh bapak sebagai Sekretaris
Direksi setelah berpengalaman sebagai Kepala Bagian.
Waktu berjalan, aku menikmati hidup ini dengan tenteram.
Dalam ruang kerja yang selalu bersama istri semakin menyejukkan jiwa. Seorang
pendamping cantik dan menggairahkan bagi siapapun yang memandangnya. Apalagi
tingkat penghasilan ekonomi di atas rata-rata mendukungnya untuk bersolek diri
ke berbagai tempat perawatan, membuat penampilan "cintaku" itu
semakin menggoda.
Dan, terjadilah yang terjadi. Kecelakaan bermotor menimpaku.
Aku tak bisa lagi beraktivitas seperti sediakala. Terbaring lama di rumah
sakit, menjadikan bapak menggeser posisiku di kantor. Kini istriku menempati
kedudukanku. Lambat laun, sikapnya kepadaku mulai berubah . Entah karena apa,
tetapi persangkaanku akibat gaya hidup bersama komunitasnya, interaksi kolega
yang semakin luas, dan fisikku yang kian melemah, menjadikan keluarga
dinomorduakan.
Aku kini mulai terpinggirkan. Perlahan, bapak sekalipun
agaknya menjauh dariku. Aku terus termenung dalam diam. Lingkungan keluarga ini
tidak lagi mengakrabiku, bahkan hampir seisi rumah mencibir keadaanku. Tubuhku yang
melemas akibat kecelakaan itu, mengunci mulutku untuk berbicara. Perasaan kalut
dan merasa serba salah di tempat ini mencipta jiwa ini guncang. Hampir-hampir
seluruhnya menuduh stres, kecuali Bibik Tonah yang masih menyisakan keyakinan
bahwa aku berjiwa sehat. Tetapi bibik penyabar itu tak kuasa mengungkap hakikat
keberaanku. Semua memercayai, aku sudah kehilangan akal.
Aku diusir dari rumahku sendiri. Bapak sudah kehilangan
kedekatannya denganku, pada diri Lila telah habis kehangatannya padaku. Aku
kini hanya mampu terseok di jalanan.
***
Aku beranjak dari tempat ini. Hembusan angin kencang di
pinggir laut menyebabkan aku mulai merasa menggigil. Dua anak manusia yang
sedang menganggap diri mereka berdua berlabuh di pulau cinta telah berlalu.
Entah kemana mereka berdua memperpanjang kelakuan laknatnya.
Aku merasa mereka itu aneh sendiri. Aku tersenyum, mereka
anggap aku gila. Padahal siapakah yang gila sebenarnya? Aku atau mereka?
Bapak yang tega menghempaskan diri ini dari kehidupannya,
istriku yang telah berselingkuh saat aku tak berdaya, dua manusia yang
mengumbar nafsu syahwat tanpa malu atau mereka yang merampok harta rakyat lewat
tinta kekuasaan, anak yang mendurhakai orang tuanya, ayah-ibu yang menghardik
putranya sendiri hanya gara-gara tak sekolah, guru yang mengajarkan kebaikan
walaupun dirinya tak mampu baik, siswa yang melaporkan pendidiknya oleh
sebab-sebab sepele, politisi yang menjual harga diri dan agama demi kekuasaan,
ekonom yang menjajah negerinya sendiri, kasus polisi berekening gendut, kaum
konglomerat yang menindih toko-toko kecil dengan supermarketnya, sekian stasiun
televisi yang tiap hari menayangkan badut-badut tak mendidik, pendakwah agama
yang nyaris tak berhenti saling berorasi
tema kebencian dan fitnahan, pengadilan yang mengetok palu terhadap nenek yang
nekat mengambil beberapa utas singkong untuk mengganjal perutnya atau aku yang
hanya tertimpa ketidakberdayaan.
Aku kembali tersenyum melangkah menyusuri jalan yang mulai
sepi. Pulang? Tak lagi menjadi harapan bagiku. Semenjak Bapakku mangkat, aku
mulai jarang mencium kedua telapak tangan ibu. Apalagi kali ini, mulutku tidak
akan pernah mengabarkan pada beliau. Biarlah, adaku akan kutanggung sendiri.
Kecuali kepada keluargaku, aku bertanya dalam hati, siapakah
yang gila, aku atau mereka?[]
Sumber gambar: Into the sea/Trey Ratcliff