[sumber] |
Pendahuluan
“Ijtihad”. Bagi kalangan santri
seperti kita, kata itu terdengar begitu agung. Dari makna literalnya saja, ia
sudang agung, yakni “berpikir keras”, “mengerahkan segenap kemampuan”, dan
sebagainya. Dalam struktur nalar keislaman, ia juga berposisi sangat penting.
Ia adalah sumber ketiga ajaran dan hukum Islam setelah Alquran dan Sunnah. Ia
adalah “pintu masuk” bagaimana memahami Alquran dan Sunnah. Tanpa adanya
ijtihad, Alquran dan Sunnah tidak mungkin bisa dipahami dan dilaksanakan. Alquran
dan Sunnah baru bisa “berbicara” ketika ijtihad dilakukan; minimal ijtihad
untuk memahami makna teks dan konteksnya. Dilihat dari kacamata historis pun,
ijtihad juga agung. Mengapa, karena dengan ijtihad, ajaran dan ilmu keislaman
bisa begitu kaya dan mapan. Ajaran dan ilmu keislaman yang kita warisi saat ini
adalah produk dari apa yang disebut ijtihad itu. Mustahil bisa dibayangkan,
ajaran dan ilmu keislaman bisa sekaya ini, andaikata ijtihad tidak pernah dilakukan.
Di era sekarang pun, ijtihad adalah sebuah keniscayaan. Ia harus senantiasa dilakukan, agar Islam bisa selalu hadir sebagai petunjuk dan solusi bagi seluruh problem kehidupan. Terlebih-lebih, problem kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Perubahan sosial berlangsung begitu cepat. Sistem nilai telah berubah dan berjungkir-balik begitu rupa. Era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata diiringi dengan munculnya ragam persoalan yang berlapis-lapis dan rumit. Mulai dari kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik, kekerasan, pergaulan bebas, korupsi, hingga perubahan iklim dan kerusakan sumber daya alam; semua datang bertubi-tubi. Hal itu masih belum ditambah dengan ancaman kapitalisme global yang selalu berusaha untuk menancapkan cengkeraman hegemoninya dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dunia ketiga, termasuk negara kita. Tentu, semua itu memerlukan jawaban dan solusi, terutama dari perspektif Islam. Sebagai agama rahmatan lil ‘ālamīn, Islam harus selalu aktual bagi dan relevan dengan ragam persoalan kehidupan saat ini. Dalam konteks ini, ijtihad adalah satu-satunya kunci yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Namun, di sisi yang lain, kata “ijtihad” juga terdengar “menakutkan”. Setiap kali kata itu terdengar, maka yang hadir adalah bayangan sosok tokoh-tokoh besar sekaliber Abū Hanīfah (699-767 M.), Mālik ibn Anas (711-795 M.), Asy-Syāfi‘ī (767-820 M.), Ahmad ibn Hanbal (780-855 M.), dan sebagainya. Kata itu menyiratkan adanya persyaratan yang berlapis-lapis, meliputi kualifikasi keilmuan dan integritas moral. Sangat susah menjumpai orang yang memenuhi—serta diakui secara publik telah memenuhi—persyaratan itu, terlebih-lebih di era sekarang. “Rumor umum” bahwa “pintu ijtihad telah tertutup” sebenarnya lebih tepat bermakna bahwa sudah tidak ada lagi orang yang mampu—serta diakui mampu—memasukinya, itu saja.
Di sinilah kemudian muncul sebuah dilema. Di satu sisi, ijtihad adalah sebuah “kebutuhan pokok” agar Islam senantiasa bisa aktual menjawab persoalan kehidupan dewasa ini. Tak ada seorang pun yang memungkiri arti penting ijtihad bagi masa depan peradaban Islam. Namun, di sisi yang lain, persyaratannya begitu berat dan berlapis-lapis. Ijtihad kemudian menjadi “nyaris” mustahil untuk dilakukan, terutama oleh santri “tanggung” seperti kita. Memaksakan diri melakukannya, salah-salah kita bisa dicap sebagai “mujtahid gadungan”; sebuah label yang tentu sangat tidak enak didengar. Para ulama dan kiai kita di NU saja cenderung “enggan” menyebut telah berijtihad dalam forum Bahtsul Masail, sekalipun alur berpikir yang mereka gunakan sebenarnya merepresentasikan sebuah proses ijtihad. Dilema ini kemudian memunculkan sejumlah pertanyaan penting; (1) “Apakah konsep ijtihad memang harus seberat itu? Tidak adakah konsep lain yang lebih ‘lunak’ dan familiar dengan keterbatasan kita?” dan (2) “Cara kerja ijtihad seperti apa yang bisa dicoba untuk dilakukan oleh santri ‘tanggung’ seperti kita?”
“Pelunakan” Konsep Ijtihad
Sebagai sebuah konsep, ijtihad lahir dalam konteks standarisasi. Tujuannya adalah agar ijtihad dilakukan oleh orang yang berkualifikasi untuk itu, sehingga proses dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Persyaratannya memang berat, karena tolok ukurnya memang mengacu kepada kapasitas keilmuan dan kepribadian tokoh-tokoh sekaliber Asy-Syāfi‘ī dan sejawatnya. Rumusan kualifikasinya memang mengarah kepada level ijtihad paling ideal, yakni ijtihad independen (mustaqill) dan individual (fardī). Ijtihad level ini bisa dilakukan hanya oleh orang yang berkualifikasi multikeilmuan seperti Asy-Syāfi‘ī dan sejawatnya, yang mampu merumuskan metodologi ijtihad dan membangun mazhabnya sendiri. Tidak mengherankan, apabila ijtihad level ini menjadi sangat berat. As-Suyūthī (1445-1505 M.) sendiri, sekalipun menegaskan bahwa mujtahid akan dan harus selalu ada sepanjang zaman, mengakui bahwa ijtihad level ini telah berakhir sejak berakhirnya era para imam pendiri mazhab.[1]
Namun, para ulama klasik sebenarnya tidak tinggal diam ataupun pasrah terhadap keadaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa ijtihad harus tetap dilakukan, meski hal itu kemudian terbentur dengan adanya krisis kapasitas keilmuan. Itulah sebabnya, mereka kemudian merumuskan level-level ijtihad yang lebih “lunak” ketimbang level ideal tadi. Sebut saja, misalnya, ijtihad muntasib ijtihad fī al-madzhab, ijtihad fī al-masā’il, ijtihad fatwa, dan sebagainya.[2] Dengan rumusan seperti ini, ijtihad kemudian menjadi lebih memungkinkan untuk dilakukan, sekalipun dalam derajat kualitas yang tidak sebanding dengan level pertama di atas. Hal ini tentu masih jauh lebih baik daripada meninggalkan ijtihad sama sekali. Dengan rumusan ini pula, bisa dipahami bahwa “rumor umum” tertutupnya pintu ijtihad sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada ijtihad level pertama di atas. Sementara untuk level-level ijtihad di bawahnya, pintu masih terbuka selebar-lebarnya bagi orang yang berkualifikasi untuk itu.[3]
Upaya para ulama klasik untuk “memperlunak” konsep ijtihad sebenarnya tidak terhenti sampai di situ saja. Tampil sejumlah ulama yang menawarkan konsep pembidangan isu-isu ijtihad (tajazzu’ al-ijtihād, the divisibility of ijtihad). Konsep ini mereka tawarkan, menyusul adanya kenyataan bahwa pada pasca era imam-imam mazhab, sangat sulit dijumpai orang yang menguasai semua bidang ilmu fikih, mulai dari fikih ritual (‘ibādah), fikih ekonomi (mu‘āmalah), fikih perkawinan (munākahah), fikih politik (siyāsah), fikih pidana (jināyah), fikih sistem peradilan (qadlā’), dan masih banyak yang lain. Realitas yang dijumpai di lapangan justru adalah sebaliknya. Sebagai ilustrasi, banyak orang menguasai, misalnya, bidang fikih ekonomi namun kurang menguasai, misalnya, bidang fikih politik. Tidak sedikit orang yang mahir dalam analisis fikih, namun relatif “awam” dalam hal kritik sanad hadis. Realitas ini jelas susah dipungkiri, sehingga konsep tajazzu’ al-ijtihād tampil sebagai solusi alternatif yang cukup brilian. Dengan konsep ini, menguasai salah satu atau beberapa saja dari sub-sub disiplin ilmu fikih sudah cukup bagi seseorang untuk melakukan ijtihad.[4]
Upaya lain dari ulama klasik yang mencoba untuk “memperlunak” konsep ijtihad adalah yang berkaitan dengan konsep kebenaran dalam ijtihad. Di satu sisi, mereka memang terlibat diskusi sengit tentang apakah kebenaran ijtihad itu bersifat tunggal ataukah plural. Dalam hal ini, mereka terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu kebenaran tunggal (mukhthi’ah) dan kubu kebenaran plural (mushawwibah). Namun, di sisi yang lain, mereka sebenarnya bersepakat bahwa kebenaran yang lahir dari proses ijtihad bersifat relatif. Artinya, sekuat apapun argumen yang diacu, hasil sebuah ijtihad tetap tidak steril dari potensi kekeliruan. Kebenaran yang dihasilkan dari proses berpikir manusia, sekuat apapun argumentasinya, seotoritatif apapun orangnya, dan sebesar apapun dukungan orang lain terhadapnya, tetap menyisakan ruang bagi adanya kesalahan. Kebenaran mutlak hanya milik Allah swt. semata. Hanya saja, sebuah ijtihad yang dilakukan secara serius tetap mendapatkan penghargaan dari Allah swt., sekalipun kemudian ternyata salah. Jika salah, maka sang mujtahid mendapatkan satu pahala; jika benar, maka dia mendapatkan pahala dua kali lipat.[5] Konsep tentang kebenaran ini tentu merupakan “angin segar” bagi siapapun yang sudah memiliki “sedikit” kualifikasi keilmuan namun merasa takut salah dalam ijtihad.
Belakangan, konsep tentang kebenaran ini semakin berkembang ketika Asy-Syāthibī (1319-1388 M.) tampil dalam kancah wacana ushul fikih. Dalam magnum opus-nya, Al-Muwāfaqāt, dia menawarkan konsep “analisis dampak” (i‘tibār al-ma’āl). Tumpuan analisis yang bersifat sosiologis ini terletak pada pertimbangan efek positif (mashlahah) dan efek negatif (mafsadah) dari suatu benda dan perbuatan, termasuk di dalamnya putusan hukum atau fatwa. Logikanya, sekuat apapun argumen tekstualnya, jika bisa berdampak negatif secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya, maka suatu perbuatan ataupun produk perbuatan tidak absah untuk disebut “benar”.[6] Ia bisa jadi adalah “benar” dalam dirinya sendiri, namun menjadi “tidak benar” ketika dikaitkan dengan entitas lain. Konsep kebenaran seperti ini, dalam perspektif sosiologi pengetahuan, bisa disebut dengan “kebenaran relasional” (relational knowledge), yakni kriteria kebenaran yang selalu berkaitan dengan dengan ruang, waktu, dan kondisi tertentu.[7] Dalam wacana hukum Islam, konsep kebenaran seperti ini bernaung di bawah sebuah prinsip yang sangat populer tentang keniscayaan perubahan hukum akibat perubahan ruang dan waktu.[8]
Di era modern, upaya keras untuk “memperlunak” konsep ijtihad semakin berkembang. Muncul, misalnya, tawaran konsep “ijtihad kolektif” (ijtihād jamā‘ī, collective ijtihad) yang merupakan pengembangan dari konsep ijmā‘ yang telah dimodifikasi maknanya. Menurut konsep ini, ijtihad pada masa ini bisa lebih dipertanggungjawabkan secara ilmiah manakala dilakukan secara kolaboratif oleh sejumlah orang, baik dalam disiplin ilmu yang sama maupun disiplin ilmu lain yang terkait. Konsep ini pada dasarnya lahir dari akumulasi kesadaran bahwa kapasitas keilmuan untuk berijtihad dewasa ini semakin terbatas. Tren yang berkembang dewasa ini adalah tren spesialisasi disiplin ilmu; fikih, tafsir, hadits, sastra, sosiologi, ekonomi, politik, kimia, fisika, biologi, kedokteran, dan begitu seterusnya. Dalam satu disiplin ilmu tertentu, spesialisasi bahkan semakin menyempit pada sub tertentu pula. Ilmu kedokteran, sebagai contoh, mengenal sejumlah spesialisasi yang cukup beragam. Tren spesialisasi seperti ini di satu sisi menjanjikan kedalaman kapasitas keilmuan seseorang, namun di sisi yang lain juga menyisakan keterbatasan sudut pandang. Sebuah fenomena yang kompleks jelas tidak bisa dijawab secara tuntas oleh satu sudut pandang saja, tanpa melibatkan ragam sudut pandang lain yang relevan.[9] Kondisi ini semakin parah, manakala sudut pandang terebut terjebak ke dalam apa yang oleh M. Amin Abdullah (2004) disebut dengan “jebakan-jebakan” (pitfalls) disiplin ilmu, yakni perasaan “pasti” dalam wilayah sendiri-sendiri tanpa mengenal, bertegur sapa, dan bekerjasama dengan disiplin ilmu lain.[10] Atas dasar itulah, ijtihad kolektif menjadi salah satu tawaran alternatif yang bisa mengatasi keterbatasan akibat spesialisasi dan jebakan disiplin ilmu tadi sekaligus. Akitivitas ijtihad yang ditunjukkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang berkembang di dunia Islam dewasa ini (untuk konteks Indonesia: LBM NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI, dan sebagainya) menjadi contoh bagaimana ijtihad kolektif tersebut dilakukan.
Selain ijtihad kolektif, muncul tawaran lain yang juga hendak “memperlunak” konsep ijtihad, yakni perajutan antara ijtihad dan taqlid. Tawaran itu datang dari Kiai Muchith Muzadi, salah satu Mustasyar NU, kakak kandung Kiai Hasyim Muzadi. Menurut tokoh yang berdomisili di Jember ini, ijtihad dan taqlid sebaiknya tidak dipertentangkan. Mengapa, karena pada masa sekarang ini, menurutnya, susah dijumpai orang yang mampu berijtihad tanpa bertaqlid. Orang yang mengklaim mampu berijtihad pun, tidak bisa tidak, pasti mengikuti pola dan prosedur ijtihad yang dirumuskan oleh ulama terdahulu. Ada “ruang kosong” di antara ijtihad dan taqlid yang bisa dimasuki oleh orang yang melakukan ijtihad dan taqlid sekaligus. “Ruang kosong” tersebut adalah “berpikir kreatif dan kritis” yang bisa dimasuki oleh muqallid yang terus-menerus belajar meningkatkan kemampuan keilmuannya.[11] Muqallid seperti ini, dalam ungkapan Abdurrahman Mas‘ud (1997), disebut dengan “muqallid kritis” (critical muqallid), seperti yang bisa tergambar pada sosok Kiai Nawawi Banten (1813-1897 M.).[12]
Latihan Berijtihad
Sebuah titik terang sudah bisa kita raih sekarang. Ijtihad sebenarnya bisa dan perlu kita lakukan, sekalipun tentu saja ijtihad pada level yang paling bawah. Ijtihad yang kita lakukan juga harus bersifat kolektif untuk meminimalisir kelemahan subyektif orang per orang dari kita. Hasil dari ijtihad yang kita lakukan juga tidak bisa kita klaim “pasti benar”, karena ijtihad memang pada prinsipnya juga tidak menjamin kepastian absolut. Kita juga tidak perlu merasa takut salah ataupun merasa berdosa ketika salah, karena jaminan penghargaan terhadap ijtihad yang salah—sejauh dilakukan dengan ikhlas dan serius—telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. Ketakutan semacam ini adalah salah satu penghalang serius bagi kita untuk belajar berijtihad. Dalam konteks ini, kita memosisikan diri kita sebagai muqallid kritis yang selalu bersungguh-sungguh untuk belajar berijtihad sejauh yang kita mampu. Predikat muqallid kritis sepertinya cukup layak untuk kita sandang, sebab setiap hari kita pada kenyatannya tidak pernah lepas dari aktivitas belajar kitab kuning. Hanya saja, pertanyaan yang masih tersisa sekarang adalah “dengan cara apa kita berlatih untuk berijtihad?” Terhadap pertanyaan ini, kita perlu berimajinasi secara kreatif sedikit seraya menghitung-hitung modal yang kita miliki.
Selaku komunitas NU, kita memiliki modal yang sangat berharga untuk merintis latihan berijtihad. Kita memiliki sejumlah forum kajian ilmiah yang kita warisi secara turun-temurun dan kita lakukan secara rutin. Salah satu forum yang layak dikedepankan di sini adalah forum Bahtsul Masail. Pertimbangannya adalah, pertama, forum ini telah diakui oleh dunia akademik sebagai tradisi intelektual NU, termasuk juga pesantren di bawah naungan NU. Telah begitu banyak karya tulis yang membahas forum ini, baik berupa disertasi, tesis, skripsi, artikel jurnal, laporan penelitian, buku, maupun makalah forum ilmiah. Sekalipun sering diberi label tradisional dan konservatif, forum ini telah menghasilkan sejumlah gagasan, keputusan, rekomendasi, dan gerakan yang progresif dan cukup mengundang kekaguman sejumlah peneliti. Martin van Bruinessen (2004)—seorang peneliti kenamaan dari Belanda yang begitu konsen pada kehidupan pesantren dan NU, misalnya, tanpa ragu menulis judul “NU: Jamaah Konservatif yang Melahirkan Gerakan Progresif” pada salah satu tulisannya.[13]
Kedua, Bahtsul Masail di pesantren memainkan peran yang sangat penting bagi keberlanjutan dan masa depan bahtsul masail NU. Mengapa, sebab pesantren adalah basis kultural NU. NU lahir sebagai institusionalisasi kultur pesantren. Adagium populer bahwa “NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil” menjadi salah satu indikasinya.[14] Di satu sisi, Bahtsul Masail di pesantren memang tidak sedinamis dan sefenomenal Bahtsul Masail NU, sekalipun akhir-akhir ini mulai banyak dipublikasikan. Namun, di sisi yang lain, hal itu bisa dipahami, mengingat bahwa Mahtsul Masail di pesantren memang merupakan forum simulasi dan pelatihan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dan pembelajaran.[15] Bisa dimaklumi jika hasil keputusannya cenderung lebih tekstual dan rigid, karena santri-santri pesantren memang masih dalam masa belajar serta relatif belum bersentuhan langsung dengan realitas aktual kehidupan sosial masyarakat. Kelemahan inilah justru yang harus kita benahi, agar Bahtsul Masail di pesantren lebih bisa mencerminkan sebuah forum latihan berijtihad.
Ketiga, di antara sekian forum ilmiah yang kita miliki, Bahtsul Masail adalah forum paling representatif untuk kita jadikan sebagai wahana latihan berijtihad. Kenapa, karena di dalamnya terakumulasi ragam kriteria yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan ijtihad yang sudah “diperlunak” maknanya di atas. Forum ini sejak awal memang bertujuan menjawab masalah kasus-kasus tertentu dari perspektif fikih, sehingga kita tidak perlu bersusah-payah membangun spirit fungsionalnya. Forum ini juga diikuti oleh banyak orang yang memiliki hak yang sama untuk memberikan kontribusi pemikiran, sehingga kita juga sudah memiliki forum ijtihad kolektif. Forum ini juga diikuti oleh santri pemerhati kajian fikih yang memiliki potensi untuk menjadi muqallid kritis yang berani mencoba tanpa selalu dihantui oleh perasaan takut salah serta bersedia melakukan pembenahan ketika memang terbukti keliru.
Setelah modal forum terinventarisir, maka tiba saatnya kita menentukan metodologi kajian seperti apa yang hendak kita gunakan. Dalam hal ini, lagi-lagi kita tidak perlu terlalu bersusah-payah membuat sendiri. NU sudah menyediakan untuk kita mekanisme pengambilan keputusan hukum Islam di lingkungan NU. Mereka merumuskannya melalui MUNAS Lampung tahun 1992.[16] Mekanisme yang mereka rumuskan sebenarnya tidak beranjak jauh dari tradisi yang kita kenal, sekalipun ada beberapa gagasan baru di dalamnya yang dinilai merupakan langkah yang progresif. Di antaranya adalah pencantuman sistem bermazhab manhajī sebagai alternatif terakhir ketika metode sistem bermazhab qawlī dan ilhāqī menemui jalan buntu.[17] Gagasan ini mengundang apresiasi yang bagitu tinggi dari sejumlah pengamat,[18] sekalipun kemunculannya sebetulnya melalui proses yang panjang dan tidak mudah. Dalam terminologi khas NU, sistem bermazhab seperti ini disebut dengan “taqlīd manhajī”, yakni bertaklid secara metodologis dan analitis.[19] Contoh lainnya adalah pencantuman kerangka analisis masalah, terutama dalam memecahkan masalah sosial. Kerangka analisis tersebut secara kronologis meliputi: (1) analisis masalah, (2) analisis dampak, (3) analisis hukum, dan (4) analisis tindakan, peran, dan pengawasan. Perspektifnya pun cukup komprehensif, meliputi aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum Islam, hukum positif, dan sebagainya.[20]
Namun, formulasi sistem pengambilan keputusan hukum Islam rumusan NU itu perlu sedikit kita modifikasi. Tujuannya adalah agar rumusan mekanisme yang kita hasilkan bisa lebih familiar dengan modal yang kita miliki dan tradisi yang kita geluti sehari-hari. Dalam konteks modifikasi ini, pertama, kita sebaiknya bisa lebih fleksibel dalam menggunakan literatur dan pendapat ulama terkait dengan kasus yang dibahas. Kita tidak perlu terlalu terikat dengan kriteria “kitab-kitab standar” (kutub mu‘tabarah) dan prosedur pengambilan pendapat (qawl) seperti yang tertulis dalam rumusan mekanisme Bahtsul Masail NU.[21] Mengapa? Sebab kriteria “kitab-kitab standar” hingga saat ini ternyata belum final dan para kiai NU pun ternyata lebih cenderung fleksibel dalam memilih dan menggunakan literatur.[22] Kiai Sahal Mahfudh pada tahun 1984 sebetulnya pernah mempertanyakannya, namun terpaksa mengalah karena kalah suara.[23] Hal yang sama juga dijumpai dalam hal prosedur pengambilan pendapat (qawl), di mana kiai-kai NU sendiri sebetulnya cenderung fleksibel dalam memilah dan memilih suatu pendapat hukum.[24] Menurut asumsi saya, pencantuman kriteria “kitab-kitab standar” dan prosedur pengambilan pendapat (qawl) dalam mekanisme rumusan NU lebih didorong oleh motif politik akomodasi untuk menjaga keseimbangan dalam tubuh NU daripada oleh pertimbangan epistemologis.
Kedua, dengan sistem taqlīd manhajī, Bahtsul Masail kita memang sebaiknya tidak hanya menggunakan literatur kitab-kitab fikih semata. Literatur-literatur Ushul Fikih dan Kaedah Fikih juga perlu kita hadirkan sebagai pelengkap perspektif metodologis. Selain itu, kita juga tidak menampik untuk melibatkan analisis terhadap teks-teks Alquran dan Sunnah. Namun, untuk melakukan itu kita tentu saja tidak bisa merujuk langsung dan menafsiri sendiri Alquran dan Sunnah. Merujuk kepada Alquran dan Sunnah harus melalui saluran transmisi pengetahuan dari para ulama pendahulu kita, termasuk di dalamnya ulama ahli tafsir dan ulama ahli hadis. Selain karena bahwa Bahtsul Masail NU telah beberapa kali melakukannya,[25] kita juga harus tetap berpijak kepada sistem bermazhab yang telah digariskan oleh kiai-kiai NU sejak awal.[26] Namun, kita juga perlu berpikir kritis dan selalu melakukan upaya-upaya pengembangan. Salah satu bentuknya adalah dengan memahami teks-teks kitab kuning secara kontekstual, yakni dengan menganalisis konteks sosial-budaya yang mengitari penulisannya. Tujuannya adalah agar kita tidak terjebak pada bunyi literal teks, padahal ketika dianalisis berdasarkan konteksnya, pemahaman yang muncul bisa jadi berbeda. Pembacaan teks kitab kuning secara kontekstual sebenarnya sudah direkomendasikan oleh NU sejak lama, terutama pada forum halaqah (diskusi terbatas) NU di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah pada tahun 1989 yang lalu.[27] Selain itu, kita juga perlu membuka diri untuk melibatkan berbagai literatur non-Arab. Mengapa? Karena karya-karya yang ditulis oleh para intelektual Muslim dalam bahasa non-Arab pun sebetulnya memiliki kontribusi yang cukup berharga bagi khazanah ilmu keislaman.
Ketiga, kerangka analisis masalah pada rumusan mekanisme NU perlu kita terapkan dan kembangkan secara terus-menerus. Dengan menggunakan kerangka analisis itu, kita sekurang-kurangnya bisa mulai meninggalkan pendekatan monodisipliner, yakni hanya melibatkan satu disiplin ilmu fikih saja, seperti yang biasa kita lakukan. Mengapa? Sebab pendekatan monodisipliner cenderung gagal untuk menjelaskan dan menjawab fenomena kehidupan sosial masyarakat yang begitu kompleks. Kita sedapat mungkin membiasakan diri menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif, semisal pendekatan multidisipliner. Pendekatan ini mengindikasikan adanya keterlibatan sejumlah perspektif dan disiplin ilmu yang relevan dengan isu yang dikaji, hanya saja masing-masing tetap berada dalam posisinya sendiri-sendiri serta relatif tidak memiliki kepedulian yang sama terkait isu yang dikaji. Kepedulian biasanya dimiliki hanya oleh salah satu saja, sementara yang lain hadir hanya untuk memberikan pertimbangan berdasarkan perspektifnya sendiri, setelah itu selesai.[28] Dalam tradisi bahtsul masail NU, embrio pendekatan seperti ini sebenarnya sudah dilakukan, sekalipun masih harus dikembangkan terus-menerus. Ketika membahas hukum rokok pada tahun 2011, Bahstul Masail NU mengundang sejumlah narasumber yang berkompeten, semisal ahli paru, pakar farmakologi, pakar biomolekuler, dan sebagainya. Tujuannya adalah agar para peserta Bahtsul Masail betul-betul memahami isu yang akan dibahas, sehingga keputusan yang dihasilkan bisa lebih komprehensif.[29] Biasanya, penjelasan dari pakar disiplin ilmu lain disampaikan pada tahap analisis masalah dan analisis dampak. Sementara pada tahapan berikutnya, yakni analisis hukum dan analisis tindak-lanjut, disiplin ilmu fikih adalah perspektif yang dominan.
Bahtsul masail dengan pendekatan multidisipliner sebenarnya sudah bagus. Hal itu sudah menandakan mulai munculnya kesediaan perspektif fikih untuk berdialog dengan perspektif dan disiplin ilmu yang lain. Namun, pengembangan Bahtsul Masail sebaiknya tidak terhenti di situ saja. Suatu saat nanti, Bahtsul Masail perlu berkenalan dengan pendekatan yang jauh lebih komprehensif lagi, yakni pendekatan interdisipliner. Pendekatan ini sebetulnya hampir sama dengan pendekatan multidisipliner, yakni sama-sama melibatkan berbagai perspektif dan disiplin ilmu yang relevan dengan isu yang dikaji. Perbedaannya adalah bahwa dengan pendekatan interdisipliner, kepedulian terkait isu yang dikaji tidak hanya dimiliki oleh satu disiplin ilmu semata, melainkan juga oleh semua disiplin ilmu yang terlibat di situ.[30] Semuanya terjalin dalam suatu pola hubungan interkonektif (interconnected entities); saling-terkait satu sama lain. Hubungan yang tercipta adalah hubungan saling-memperkaya, saling-melengkapi, dan saling-mengoreksi satu sama lain. Terbuka peluang bagi setiap disiplin ilmu untuk mengoreksi dirinya sendiri berdasarkan hasil pengayaan ketika berinteraksi dengan disiplin ilmu yang lain.[31]
Upaya pengembangan pendekatan Bahtsul Masail sebaiknya tidak terhenti di situ saja. Suatu saat nanti, kita perlu menggunakan pendekatan multidisipliner atau interdisipliner secara terpadu. Maksudnya adalah bahwa analisis yang bersifat multidisipliner atau interdisipliner tadi berlangsung mulai tahapan awal hingga akhir. Model kajian seperti ini bisa menghasilkan keputusan dan rekomendasi yang lebih bernuansa, sebab telah diperkaya dengan (1) analisis dampak dari keputusan itu sendiri dan—jika perlu—(2) analisis yang berorientasi transformasi sosial. “Sentuhan akhir” yang lebih bernuansa inilah saya kira yang tidak dimiliki oleh, misalnya, MUI ketika mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok keagamaan ataupun tren pemikiran tertentu.[32] Salah satu kesalahan krusial MUI ketika mengeluarkan fatwa sesat adalah bahwa mereka tidak menganalisis secara komprehensif dampak sosial yang bisa muncul akibat fatwa tersebut. Konflik sosial yang muncul pasca fatwa tersebut tetap mereka anggap sebagai entitas lain di luar serta tidak berkaitan langsung dengan fatwa yang mereka keluarkan.[33]
Selain metodologi kajian Bahtsul Masail, hal penting lain yang perlu kita kembangkan adalah publikasi dan penghimpunan umpan balik (feedback). Hasil-hasil Bahtsul Masail perlu kita publikasikan ke khalayak publik, bisa dalam bentuk buku, publikasi online, atau mungkin kedua-duanya. Dengan publikasi, hasil-hasil pemikiran kita melalui Bahtsul Masail bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Sejumlah pondok pesantren besar telah cukup lama melakukannya. Sebut saja, misalnya, Pesantren Lirboyo, Pesantren Ploso, Pesantren Sidogiri, dan masih banyak yang lain. Terlebih-lebih jika kita telah menggunakan pendekatan baru seperti yang diuraikan di atas, maka publikasi kita juga bisa menyumbangkan kontribusi pemikiran pada aspek metodologi kajian Bahtsul Masail. Selain itu, karya-karya publikasi yang kita hasilkan perlu kita diskusikan melalui ragam forum ilmiah, seperti bedah buku, diskusi buku, seminar, dan sebagainya. Forum-forum seperti ini bisa memberikan banyak manfaat bagi kita, seperti (1) sharing gagasan dan pendalaman materi, (2) penarikan umpan balik (feedbacki) terkait karya publikasi dan Bahtsul Masail kita, dan—tak kalah pentingnya—(3) “trik” pemasaran karya publikasi kita.
Penutup
Apa yang saya tulis dalam artikel ini memang adalah sebuah imajinasi. Tetapi imajinasi yang dimaksud tentu bukan dalam arti “khayalan” ataupun “angan-angan”. Kebanyakan orang memang seringkali salah persepsi tentang kata “imajinasi”. Kebanyakan mereka cenderung meremehkan arti imajinasi karena terlanjur menyamakannya dengan “khayalan”. Padahal imajinasi memiliki makna lain, yaitu “daya pikir untuk menciptakan sesuatu berdasarkan kenyataan atau pengalaman”.[34] Itulah imajinasi yang saya maksud. Dengan imajinasi, kita bisa mengembangan sesuatu yang sederhana menjadi lebih bermakna. Kita bisa menjajaki ragam kemungkinan bagi komunitas santri untk bisa berlatih berijtihad—minimal taqlīd manhajī. Kita juga bisa mengembangkan metodologi Bahtsul Masail yang lebih representatif sebagai media latihan berijtihad tadi.
Namun, sebagai sebuah imajinasi, tulisan ini tentu tidak luput dari keterbatasan, kelemahan, atau bahkan kekeliruan. Makna “khayalan” dan “angan-angan” tentu tak bisa dilepaskan begitu saja dari kata imajinasi. Terlebih-lebih, saya sendiri selaku penulis imajinasi ini jelas tidak steril dari ragam unsur subyektivitas. Itulah sebabnya, imajinasi dalam tulisan ini perlu diperkaya dan dikoreksi secara kritis oleh imajinasi-imajinasi lain, baik dari saya sendiri di waktu yang akan datang ataupun dari orang lain yang membacanya. Unsur subyektif dalam tulisan ini perlu berinterkasi secara interkonektif dengan imajinasi-imajinasi lain. Dengan begitu, semua unsur subyektif yang ada bisa bertransformasi menjadi intersubyektif untuk melahirkan pemikiran dan gerakan yang lebih bermakna. Tujuannya adalah satu, yaitu untuk mengembangkan kajian keilmuan kaum santri supaya bisa lebih berkualitas. Itu saja.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Amin.
Di era sekarang pun, ijtihad adalah sebuah keniscayaan. Ia harus senantiasa dilakukan, agar Islam bisa selalu hadir sebagai petunjuk dan solusi bagi seluruh problem kehidupan. Terlebih-lebih, problem kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Perubahan sosial berlangsung begitu cepat. Sistem nilai telah berubah dan berjungkir-balik begitu rupa. Era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata diiringi dengan munculnya ragam persoalan yang berlapis-lapis dan rumit. Mulai dari kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik, kekerasan, pergaulan bebas, korupsi, hingga perubahan iklim dan kerusakan sumber daya alam; semua datang bertubi-tubi. Hal itu masih belum ditambah dengan ancaman kapitalisme global yang selalu berusaha untuk menancapkan cengkeraman hegemoninya dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dunia ketiga, termasuk negara kita. Tentu, semua itu memerlukan jawaban dan solusi, terutama dari perspektif Islam. Sebagai agama rahmatan lil ‘ālamīn, Islam harus selalu aktual bagi dan relevan dengan ragam persoalan kehidupan saat ini. Dalam konteks ini, ijtihad adalah satu-satunya kunci yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Namun, di sisi yang lain, kata “ijtihad” juga terdengar “menakutkan”. Setiap kali kata itu terdengar, maka yang hadir adalah bayangan sosok tokoh-tokoh besar sekaliber Abū Hanīfah (699-767 M.), Mālik ibn Anas (711-795 M.), Asy-Syāfi‘ī (767-820 M.), Ahmad ibn Hanbal (780-855 M.), dan sebagainya. Kata itu menyiratkan adanya persyaratan yang berlapis-lapis, meliputi kualifikasi keilmuan dan integritas moral. Sangat susah menjumpai orang yang memenuhi—serta diakui secara publik telah memenuhi—persyaratan itu, terlebih-lebih di era sekarang. “Rumor umum” bahwa “pintu ijtihad telah tertutup” sebenarnya lebih tepat bermakna bahwa sudah tidak ada lagi orang yang mampu—serta diakui mampu—memasukinya, itu saja.
Di sinilah kemudian muncul sebuah dilema. Di satu sisi, ijtihad adalah sebuah “kebutuhan pokok” agar Islam senantiasa bisa aktual menjawab persoalan kehidupan dewasa ini. Tak ada seorang pun yang memungkiri arti penting ijtihad bagi masa depan peradaban Islam. Namun, di sisi yang lain, persyaratannya begitu berat dan berlapis-lapis. Ijtihad kemudian menjadi “nyaris” mustahil untuk dilakukan, terutama oleh santri “tanggung” seperti kita. Memaksakan diri melakukannya, salah-salah kita bisa dicap sebagai “mujtahid gadungan”; sebuah label yang tentu sangat tidak enak didengar. Para ulama dan kiai kita di NU saja cenderung “enggan” menyebut telah berijtihad dalam forum Bahtsul Masail, sekalipun alur berpikir yang mereka gunakan sebenarnya merepresentasikan sebuah proses ijtihad. Dilema ini kemudian memunculkan sejumlah pertanyaan penting; (1) “Apakah konsep ijtihad memang harus seberat itu? Tidak adakah konsep lain yang lebih ‘lunak’ dan familiar dengan keterbatasan kita?” dan (2) “Cara kerja ijtihad seperti apa yang bisa dicoba untuk dilakukan oleh santri ‘tanggung’ seperti kita?”
“Pelunakan” Konsep Ijtihad
Sebagai sebuah konsep, ijtihad lahir dalam konteks standarisasi. Tujuannya adalah agar ijtihad dilakukan oleh orang yang berkualifikasi untuk itu, sehingga proses dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Persyaratannya memang berat, karena tolok ukurnya memang mengacu kepada kapasitas keilmuan dan kepribadian tokoh-tokoh sekaliber Asy-Syāfi‘ī dan sejawatnya. Rumusan kualifikasinya memang mengarah kepada level ijtihad paling ideal, yakni ijtihad independen (mustaqill) dan individual (fardī). Ijtihad level ini bisa dilakukan hanya oleh orang yang berkualifikasi multikeilmuan seperti Asy-Syāfi‘ī dan sejawatnya, yang mampu merumuskan metodologi ijtihad dan membangun mazhabnya sendiri. Tidak mengherankan, apabila ijtihad level ini menjadi sangat berat. As-Suyūthī (1445-1505 M.) sendiri, sekalipun menegaskan bahwa mujtahid akan dan harus selalu ada sepanjang zaman, mengakui bahwa ijtihad level ini telah berakhir sejak berakhirnya era para imam pendiri mazhab.[1]
Namun, para ulama klasik sebenarnya tidak tinggal diam ataupun pasrah terhadap keadaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa ijtihad harus tetap dilakukan, meski hal itu kemudian terbentur dengan adanya krisis kapasitas keilmuan. Itulah sebabnya, mereka kemudian merumuskan level-level ijtihad yang lebih “lunak” ketimbang level ideal tadi. Sebut saja, misalnya, ijtihad muntasib ijtihad fī al-madzhab, ijtihad fī al-masā’il, ijtihad fatwa, dan sebagainya.[2] Dengan rumusan seperti ini, ijtihad kemudian menjadi lebih memungkinkan untuk dilakukan, sekalipun dalam derajat kualitas yang tidak sebanding dengan level pertama di atas. Hal ini tentu masih jauh lebih baik daripada meninggalkan ijtihad sama sekali. Dengan rumusan ini pula, bisa dipahami bahwa “rumor umum” tertutupnya pintu ijtihad sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada ijtihad level pertama di atas. Sementara untuk level-level ijtihad di bawahnya, pintu masih terbuka selebar-lebarnya bagi orang yang berkualifikasi untuk itu.[3]
Upaya para ulama klasik untuk “memperlunak” konsep ijtihad sebenarnya tidak terhenti sampai di situ saja. Tampil sejumlah ulama yang menawarkan konsep pembidangan isu-isu ijtihad (tajazzu’ al-ijtihād, the divisibility of ijtihad). Konsep ini mereka tawarkan, menyusul adanya kenyataan bahwa pada pasca era imam-imam mazhab, sangat sulit dijumpai orang yang menguasai semua bidang ilmu fikih, mulai dari fikih ritual (‘ibādah), fikih ekonomi (mu‘āmalah), fikih perkawinan (munākahah), fikih politik (siyāsah), fikih pidana (jināyah), fikih sistem peradilan (qadlā’), dan masih banyak yang lain. Realitas yang dijumpai di lapangan justru adalah sebaliknya. Sebagai ilustrasi, banyak orang menguasai, misalnya, bidang fikih ekonomi namun kurang menguasai, misalnya, bidang fikih politik. Tidak sedikit orang yang mahir dalam analisis fikih, namun relatif “awam” dalam hal kritik sanad hadis. Realitas ini jelas susah dipungkiri, sehingga konsep tajazzu’ al-ijtihād tampil sebagai solusi alternatif yang cukup brilian. Dengan konsep ini, menguasai salah satu atau beberapa saja dari sub-sub disiplin ilmu fikih sudah cukup bagi seseorang untuk melakukan ijtihad.[4]
Upaya lain dari ulama klasik yang mencoba untuk “memperlunak” konsep ijtihad adalah yang berkaitan dengan konsep kebenaran dalam ijtihad. Di satu sisi, mereka memang terlibat diskusi sengit tentang apakah kebenaran ijtihad itu bersifat tunggal ataukah plural. Dalam hal ini, mereka terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu kebenaran tunggal (mukhthi’ah) dan kubu kebenaran plural (mushawwibah). Namun, di sisi yang lain, mereka sebenarnya bersepakat bahwa kebenaran yang lahir dari proses ijtihad bersifat relatif. Artinya, sekuat apapun argumen yang diacu, hasil sebuah ijtihad tetap tidak steril dari potensi kekeliruan. Kebenaran yang dihasilkan dari proses berpikir manusia, sekuat apapun argumentasinya, seotoritatif apapun orangnya, dan sebesar apapun dukungan orang lain terhadapnya, tetap menyisakan ruang bagi adanya kesalahan. Kebenaran mutlak hanya milik Allah swt. semata. Hanya saja, sebuah ijtihad yang dilakukan secara serius tetap mendapatkan penghargaan dari Allah swt., sekalipun kemudian ternyata salah. Jika salah, maka sang mujtahid mendapatkan satu pahala; jika benar, maka dia mendapatkan pahala dua kali lipat.[5] Konsep tentang kebenaran ini tentu merupakan “angin segar” bagi siapapun yang sudah memiliki “sedikit” kualifikasi keilmuan namun merasa takut salah dalam ijtihad.
Belakangan, konsep tentang kebenaran ini semakin berkembang ketika Asy-Syāthibī (1319-1388 M.) tampil dalam kancah wacana ushul fikih. Dalam magnum opus-nya, Al-Muwāfaqāt, dia menawarkan konsep “analisis dampak” (i‘tibār al-ma’āl). Tumpuan analisis yang bersifat sosiologis ini terletak pada pertimbangan efek positif (mashlahah) dan efek negatif (mafsadah) dari suatu benda dan perbuatan, termasuk di dalamnya putusan hukum atau fatwa. Logikanya, sekuat apapun argumen tekstualnya, jika bisa berdampak negatif secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya, maka suatu perbuatan ataupun produk perbuatan tidak absah untuk disebut “benar”.[6] Ia bisa jadi adalah “benar” dalam dirinya sendiri, namun menjadi “tidak benar” ketika dikaitkan dengan entitas lain. Konsep kebenaran seperti ini, dalam perspektif sosiologi pengetahuan, bisa disebut dengan “kebenaran relasional” (relational knowledge), yakni kriteria kebenaran yang selalu berkaitan dengan dengan ruang, waktu, dan kondisi tertentu.[7] Dalam wacana hukum Islam, konsep kebenaran seperti ini bernaung di bawah sebuah prinsip yang sangat populer tentang keniscayaan perubahan hukum akibat perubahan ruang dan waktu.[8]
Di era modern, upaya keras untuk “memperlunak” konsep ijtihad semakin berkembang. Muncul, misalnya, tawaran konsep “ijtihad kolektif” (ijtihād jamā‘ī, collective ijtihad) yang merupakan pengembangan dari konsep ijmā‘ yang telah dimodifikasi maknanya. Menurut konsep ini, ijtihad pada masa ini bisa lebih dipertanggungjawabkan secara ilmiah manakala dilakukan secara kolaboratif oleh sejumlah orang, baik dalam disiplin ilmu yang sama maupun disiplin ilmu lain yang terkait. Konsep ini pada dasarnya lahir dari akumulasi kesadaran bahwa kapasitas keilmuan untuk berijtihad dewasa ini semakin terbatas. Tren yang berkembang dewasa ini adalah tren spesialisasi disiplin ilmu; fikih, tafsir, hadits, sastra, sosiologi, ekonomi, politik, kimia, fisika, biologi, kedokteran, dan begitu seterusnya. Dalam satu disiplin ilmu tertentu, spesialisasi bahkan semakin menyempit pada sub tertentu pula. Ilmu kedokteran, sebagai contoh, mengenal sejumlah spesialisasi yang cukup beragam. Tren spesialisasi seperti ini di satu sisi menjanjikan kedalaman kapasitas keilmuan seseorang, namun di sisi yang lain juga menyisakan keterbatasan sudut pandang. Sebuah fenomena yang kompleks jelas tidak bisa dijawab secara tuntas oleh satu sudut pandang saja, tanpa melibatkan ragam sudut pandang lain yang relevan.[9] Kondisi ini semakin parah, manakala sudut pandang terebut terjebak ke dalam apa yang oleh M. Amin Abdullah (2004) disebut dengan “jebakan-jebakan” (pitfalls) disiplin ilmu, yakni perasaan “pasti” dalam wilayah sendiri-sendiri tanpa mengenal, bertegur sapa, dan bekerjasama dengan disiplin ilmu lain.[10] Atas dasar itulah, ijtihad kolektif menjadi salah satu tawaran alternatif yang bisa mengatasi keterbatasan akibat spesialisasi dan jebakan disiplin ilmu tadi sekaligus. Akitivitas ijtihad yang ditunjukkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang berkembang di dunia Islam dewasa ini (untuk konteks Indonesia: LBM NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI, dan sebagainya) menjadi contoh bagaimana ijtihad kolektif tersebut dilakukan.
Selain ijtihad kolektif, muncul tawaran lain yang juga hendak “memperlunak” konsep ijtihad, yakni perajutan antara ijtihad dan taqlid. Tawaran itu datang dari Kiai Muchith Muzadi, salah satu Mustasyar NU, kakak kandung Kiai Hasyim Muzadi. Menurut tokoh yang berdomisili di Jember ini, ijtihad dan taqlid sebaiknya tidak dipertentangkan. Mengapa, karena pada masa sekarang ini, menurutnya, susah dijumpai orang yang mampu berijtihad tanpa bertaqlid. Orang yang mengklaim mampu berijtihad pun, tidak bisa tidak, pasti mengikuti pola dan prosedur ijtihad yang dirumuskan oleh ulama terdahulu. Ada “ruang kosong” di antara ijtihad dan taqlid yang bisa dimasuki oleh orang yang melakukan ijtihad dan taqlid sekaligus. “Ruang kosong” tersebut adalah “berpikir kreatif dan kritis” yang bisa dimasuki oleh muqallid yang terus-menerus belajar meningkatkan kemampuan keilmuannya.[11] Muqallid seperti ini, dalam ungkapan Abdurrahman Mas‘ud (1997), disebut dengan “muqallid kritis” (critical muqallid), seperti yang bisa tergambar pada sosok Kiai Nawawi Banten (1813-1897 M.).[12]
Latihan Berijtihad
Sebuah titik terang sudah bisa kita raih sekarang. Ijtihad sebenarnya bisa dan perlu kita lakukan, sekalipun tentu saja ijtihad pada level yang paling bawah. Ijtihad yang kita lakukan juga harus bersifat kolektif untuk meminimalisir kelemahan subyektif orang per orang dari kita. Hasil dari ijtihad yang kita lakukan juga tidak bisa kita klaim “pasti benar”, karena ijtihad memang pada prinsipnya juga tidak menjamin kepastian absolut. Kita juga tidak perlu merasa takut salah ataupun merasa berdosa ketika salah, karena jaminan penghargaan terhadap ijtihad yang salah—sejauh dilakukan dengan ikhlas dan serius—telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. Ketakutan semacam ini adalah salah satu penghalang serius bagi kita untuk belajar berijtihad. Dalam konteks ini, kita memosisikan diri kita sebagai muqallid kritis yang selalu bersungguh-sungguh untuk belajar berijtihad sejauh yang kita mampu. Predikat muqallid kritis sepertinya cukup layak untuk kita sandang, sebab setiap hari kita pada kenyatannya tidak pernah lepas dari aktivitas belajar kitab kuning. Hanya saja, pertanyaan yang masih tersisa sekarang adalah “dengan cara apa kita berlatih untuk berijtihad?” Terhadap pertanyaan ini, kita perlu berimajinasi secara kreatif sedikit seraya menghitung-hitung modal yang kita miliki.
Selaku komunitas NU, kita memiliki modal yang sangat berharga untuk merintis latihan berijtihad. Kita memiliki sejumlah forum kajian ilmiah yang kita warisi secara turun-temurun dan kita lakukan secara rutin. Salah satu forum yang layak dikedepankan di sini adalah forum Bahtsul Masail. Pertimbangannya adalah, pertama, forum ini telah diakui oleh dunia akademik sebagai tradisi intelektual NU, termasuk juga pesantren di bawah naungan NU. Telah begitu banyak karya tulis yang membahas forum ini, baik berupa disertasi, tesis, skripsi, artikel jurnal, laporan penelitian, buku, maupun makalah forum ilmiah. Sekalipun sering diberi label tradisional dan konservatif, forum ini telah menghasilkan sejumlah gagasan, keputusan, rekomendasi, dan gerakan yang progresif dan cukup mengundang kekaguman sejumlah peneliti. Martin van Bruinessen (2004)—seorang peneliti kenamaan dari Belanda yang begitu konsen pada kehidupan pesantren dan NU, misalnya, tanpa ragu menulis judul “NU: Jamaah Konservatif yang Melahirkan Gerakan Progresif” pada salah satu tulisannya.[13]
Kedua, Bahtsul Masail di pesantren memainkan peran yang sangat penting bagi keberlanjutan dan masa depan bahtsul masail NU. Mengapa, sebab pesantren adalah basis kultural NU. NU lahir sebagai institusionalisasi kultur pesantren. Adagium populer bahwa “NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil” menjadi salah satu indikasinya.[14] Di satu sisi, Bahtsul Masail di pesantren memang tidak sedinamis dan sefenomenal Bahtsul Masail NU, sekalipun akhir-akhir ini mulai banyak dipublikasikan. Namun, di sisi yang lain, hal itu bisa dipahami, mengingat bahwa Mahtsul Masail di pesantren memang merupakan forum simulasi dan pelatihan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dan pembelajaran.[15] Bisa dimaklumi jika hasil keputusannya cenderung lebih tekstual dan rigid, karena santri-santri pesantren memang masih dalam masa belajar serta relatif belum bersentuhan langsung dengan realitas aktual kehidupan sosial masyarakat. Kelemahan inilah justru yang harus kita benahi, agar Bahtsul Masail di pesantren lebih bisa mencerminkan sebuah forum latihan berijtihad.
Ketiga, di antara sekian forum ilmiah yang kita miliki, Bahtsul Masail adalah forum paling representatif untuk kita jadikan sebagai wahana latihan berijtihad. Kenapa, karena di dalamnya terakumulasi ragam kriteria yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan ijtihad yang sudah “diperlunak” maknanya di atas. Forum ini sejak awal memang bertujuan menjawab masalah kasus-kasus tertentu dari perspektif fikih, sehingga kita tidak perlu bersusah-payah membangun spirit fungsionalnya. Forum ini juga diikuti oleh banyak orang yang memiliki hak yang sama untuk memberikan kontribusi pemikiran, sehingga kita juga sudah memiliki forum ijtihad kolektif. Forum ini juga diikuti oleh santri pemerhati kajian fikih yang memiliki potensi untuk menjadi muqallid kritis yang berani mencoba tanpa selalu dihantui oleh perasaan takut salah serta bersedia melakukan pembenahan ketika memang terbukti keliru.
Setelah modal forum terinventarisir, maka tiba saatnya kita menentukan metodologi kajian seperti apa yang hendak kita gunakan. Dalam hal ini, lagi-lagi kita tidak perlu terlalu bersusah-payah membuat sendiri. NU sudah menyediakan untuk kita mekanisme pengambilan keputusan hukum Islam di lingkungan NU. Mereka merumuskannya melalui MUNAS Lampung tahun 1992.[16] Mekanisme yang mereka rumuskan sebenarnya tidak beranjak jauh dari tradisi yang kita kenal, sekalipun ada beberapa gagasan baru di dalamnya yang dinilai merupakan langkah yang progresif. Di antaranya adalah pencantuman sistem bermazhab manhajī sebagai alternatif terakhir ketika metode sistem bermazhab qawlī dan ilhāqī menemui jalan buntu.[17] Gagasan ini mengundang apresiasi yang bagitu tinggi dari sejumlah pengamat,[18] sekalipun kemunculannya sebetulnya melalui proses yang panjang dan tidak mudah. Dalam terminologi khas NU, sistem bermazhab seperti ini disebut dengan “taqlīd manhajī”, yakni bertaklid secara metodologis dan analitis.[19] Contoh lainnya adalah pencantuman kerangka analisis masalah, terutama dalam memecahkan masalah sosial. Kerangka analisis tersebut secara kronologis meliputi: (1) analisis masalah, (2) analisis dampak, (3) analisis hukum, dan (4) analisis tindakan, peran, dan pengawasan. Perspektifnya pun cukup komprehensif, meliputi aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum Islam, hukum positif, dan sebagainya.[20]
Namun, formulasi sistem pengambilan keputusan hukum Islam rumusan NU itu perlu sedikit kita modifikasi. Tujuannya adalah agar rumusan mekanisme yang kita hasilkan bisa lebih familiar dengan modal yang kita miliki dan tradisi yang kita geluti sehari-hari. Dalam konteks modifikasi ini, pertama, kita sebaiknya bisa lebih fleksibel dalam menggunakan literatur dan pendapat ulama terkait dengan kasus yang dibahas. Kita tidak perlu terlalu terikat dengan kriteria “kitab-kitab standar” (kutub mu‘tabarah) dan prosedur pengambilan pendapat (qawl) seperti yang tertulis dalam rumusan mekanisme Bahtsul Masail NU.[21] Mengapa? Sebab kriteria “kitab-kitab standar” hingga saat ini ternyata belum final dan para kiai NU pun ternyata lebih cenderung fleksibel dalam memilih dan menggunakan literatur.[22] Kiai Sahal Mahfudh pada tahun 1984 sebetulnya pernah mempertanyakannya, namun terpaksa mengalah karena kalah suara.[23] Hal yang sama juga dijumpai dalam hal prosedur pengambilan pendapat (qawl), di mana kiai-kai NU sendiri sebetulnya cenderung fleksibel dalam memilah dan memilih suatu pendapat hukum.[24] Menurut asumsi saya, pencantuman kriteria “kitab-kitab standar” dan prosedur pengambilan pendapat (qawl) dalam mekanisme rumusan NU lebih didorong oleh motif politik akomodasi untuk menjaga keseimbangan dalam tubuh NU daripada oleh pertimbangan epistemologis.
Kedua, dengan sistem taqlīd manhajī, Bahtsul Masail kita memang sebaiknya tidak hanya menggunakan literatur kitab-kitab fikih semata. Literatur-literatur Ushul Fikih dan Kaedah Fikih juga perlu kita hadirkan sebagai pelengkap perspektif metodologis. Selain itu, kita juga tidak menampik untuk melibatkan analisis terhadap teks-teks Alquran dan Sunnah. Namun, untuk melakukan itu kita tentu saja tidak bisa merujuk langsung dan menafsiri sendiri Alquran dan Sunnah. Merujuk kepada Alquran dan Sunnah harus melalui saluran transmisi pengetahuan dari para ulama pendahulu kita, termasuk di dalamnya ulama ahli tafsir dan ulama ahli hadis. Selain karena bahwa Bahtsul Masail NU telah beberapa kali melakukannya,[25] kita juga harus tetap berpijak kepada sistem bermazhab yang telah digariskan oleh kiai-kiai NU sejak awal.[26] Namun, kita juga perlu berpikir kritis dan selalu melakukan upaya-upaya pengembangan. Salah satu bentuknya adalah dengan memahami teks-teks kitab kuning secara kontekstual, yakni dengan menganalisis konteks sosial-budaya yang mengitari penulisannya. Tujuannya adalah agar kita tidak terjebak pada bunyi literal teks, padahal ketika dianalisis berdasarkan konteksnya, pemahaman yang muncul bisa jadi berbeda. Pembacaan teks kitab kuning secara kontekstual sebenarnya sudah direkomendasikan oleh NU sejak lama, terutama pada forum halaqah (diskusi terbatas) NU di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah pada tahun 1989 yang lalu.[27] Selain itu, kita juga perlu membuka diri untuk melibatkan berbagai literatur non-Arab. Mengapa? Karena karya-karya yang ditulis oleh para intelektual Muslim dalam bahasa non-Arab pun sebetulnya memiliki kontribusi yang cukup berharga bagi khazanah ilmu keislaman.
Ketiga, kerangka analisis masalah pada rumusan mekanisme NU perlu kita terapkan dan kembangkan secara terus-menerus. Dengan menggunakan kerangka analisis itu, kita sekurang-kurangnya bisa mulai meninggalkan pendekatan monodisipliner, yakni hanya melibatkan satu disiplin ilmu fikih saja, seperti yang biasa kita lakukan. Mengapa? Sebab pendekatan monodisipliner cenderung gagal untuk menjelaskan dan menjawab fenomena kehidupan sosial masyarakat yang begitu kompleks. Kita sedapat mungkin membiasakan diri menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif, semisal pendekatan multidisipliner. Pendekatan ini mengindikasikan adanya keterlibatan sejumlah perspektif dan disiplin ilmu yang relevan dengan isu yang dikaji, hanya saja masing-masing tetap berada dalam posisinya sendiri-sendiri serta relatif tidak memiliki kepedulian yang sama terkait isu yang dikaji. Kepedulian biasanya dimiliki hanya oleh salah satu saja, sementara yang lain hadir hanya untuk memberikan pertimbangan berdasarkan perspektifnya sendiri, setelah itu selesai.[28] Dalam tradisi bahtsul masail NU, embrio pendekatan seperti ini sebenarnya sudah dilakukan, sekalipun masih harus dikembangkan terus-menerus. Ketika membahas hukum rokok pada tahun 2011, Bahstul Masail NU mengundang sejumlah narasumber yang berkompeten, semisal ahli paru, pakar farmakologi, pakar biomolekuler, dan sebagainya. Tujuannya adalah agar para peserta Bahtsul Masail betul-betul memahami isu yang akan dibahas, sehingga keputusan yang dihasilkan bisa lebih komprehensif.[29] Biasanya, penjelasan dari pakar disiplin ilmu lain disampaikan pada tahap analisis masalah dan analisis dampak. Sementara pada tahapan berikutnya, yakni analisis hukum dan analisis tindak-lanjut, disiplin ilmu fikih adalah perspektif yang dominan.
Bahtsul masail dengan pendekatan multidisipliner sebenarnya sudah bagus. Hal itu sudah menandakan mulai munculnya kesediaan perspektif fikih untuk berdialog dengan perspektif dan disiplin ilmu yang lain. Namun, pengembangan Bahtsul Masail sebaiknya tidak terhenti di situ saja. Suatu saat nanti, Bahtsul Masail perlu berkenalan dengan pendekatan yang jauh lebih komprehensif lagi, yakni pendekatan interdisipliner. Pendekatan ini sebetulnya hampir sama dengan pendekatan multidisipliner, yakni sama-sama melibatkan berbagai perspektif dan disiplin ilmu yang relevan dengan isu yang dikaji. Perbedaannya adalah bahwa dengan pendekatan interdisipliner, kepedulian terkait isu yang dikaji tidak hanya dimiliki oleh satu disiplin ilmu semata, melainkan juga oleh semua disiplin ilmu yang terlibat di situ.[30] Semuanya terjalin dalam suatu pola hubungan interkonektif (interconnected entities); saling-terkait satu sama lain. Hubungan yang tercipta adalah hubungan saling-memperkaya, saling-melengkapi, dan saling-mengoreksi satu sama lain. Terbuka peluang bagi setiap disiplin ilmu untuk mengoreksi dirinya sendiri berdasarkan hasil pengayaan ketika berinteraksi dengan disiplin ilmu yang lain.[31]
Upaya pengembangan pendekatan Bahtsul Masail sebaiknya tidak terhenti di situ saja. Suatu saat nanti, kita perlu menggunakan pendekatan multidisipliner atau interdisipliner secara terpadu. Maksudnya adalah bahwa analisis yang bersifat multidisipliner atau interdisipliner tadi berlangsung mulai tahapan awal hingga akhir. Model kajian seperti ini bisa menghasilkan keputusan dan rekomendasi yang lebih bernuansa, sebab telah diperkaya dengan (1) analisis dampak dari keputusan itu sendiri dan—jika perlu—(2) analisis yang berorientasi transformasi sosial. “Sentuhan akhir” yang lebih bernuansa inilah saya kira yang tidak dimiliki oleh, misalnya, MUI ketika mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok keagamaan ataupun tren pemikiran tertentu.[32] Salah satu kesalahan krusial MUI ketika mengeluarkan fatwa sesat adalah bahwa mereka tidak menganalisis secara komprehensif dampak sosial yang bisa muncul akibat fatwa tersebut. Konflik sosial yang muncul pasca fatwa tersebut tetap mereka anggap sebagai entitas lain di luar serta tidak berkaitan langsung dengan fatwa yang mereka keluarkan.[33]
Selain metodologi kajian Bahtsul Masail, hal penting lain yang perlu kita kembangkan adalah publikasi dan penghimpunan umpan balik (feedback). Hasil-hasil Bahtsul Masail perlu kita publikasikan ke khalayak publik, bisa dalam bentuk buku, publikasi online, atau mungkin kedua-duanya. Dengan publikasi, hasil-hasil pemikiran kita melalui Bahtsul Masail bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Sejumlah pondok pesantren besar telah cukup lama melakukannya. Sebut saja, misalnya, Pesantren Lirboyo, Pesantren Ploso, Pesantren Sidogiri, dan masih banyak yang lain. Terlebih-lebih jika kita telah menggunakan pendekatan baru seperti yang diuraikan di atas, maka publikasi kita juga bisa menyumbangkan kontribusi pemikiran pada aspek metodologi kajian Bahtsul Masail. Selain itu, karya-karya publikasi yang kita hasilkan perlu kita diskusikan melalui ragam forum ilmiah, seperti bedah buku, diskusi buku, seminar, dan sebagainya. Forum-forum seperti ini bisa memberikan banyak manfaat bagi kita, seperti (1) sharing gagasan dan pendalaman materi, (2) penarikan umpan balik (feedbacki) terkait karya publikasi dan Bahtsul Masail kita, dan—tak kalah pentingnya—(3) “trik” pemasaran karya publikasi kita.
Penutup
Apa yang saya tulis dalam artikel ini memang adalah sebuah imajinasi. Tetapi imajinasi yang dimaksud tentu bukan dalam arti “khayalan” ataupun “angan-angan”. Kebanyakan orang memang seringkali salah persepsi tentang kata “imajinasi”. Kebanyakan mereka cenderung meremehkan arti imajinasi karena terlanjur menyamakannya dengan “khayalan”. Padahal imajinasi memiliki makna lain, yaitu “daya pikir untuk menciptakan sesuatu berdasarkan kenyataan atau pengalaman”.[34] Itulah imajinasi yang saya maksud. Dengan imajinasi, kita bisa mengembangan sesuatu yang sederhana menjadi lebih bermakna. Kita bisa menjajaki ragam kemungkinan bagi komunitas santri untk bisa berlatih berijtihad—minimal taqlīd manhajī. Kita juga bisa mengembangkan metodologi Bahtsul Masail yang lebih representatif sebagai media latihan berijtihad tadi.
Namun, sebagai sebuah imajinasi, tulisan ini tentu tidak luput dari keterbatasan, kelemahan, atau bahkan kekeliruan. Makna “khayalan” dan “angan-angan” tentu tak bisa dilepaskan begitu saja dari kata imajinasi. Terlebih-lebih, saya sendiri selaku penulis imajinasi ini jelas tidak steril dari ragam unsur subyektivitas. Itulah sebabnya, imajinasi dalam tulisan ini perlu diperkaya dan dikoreksi secara kritis oleh imajinasi-imajinasi lain, baik dari saya sendiri di waktu yang akan datang ataupun dari orang lain yang membacanya. Unsur subyektif dalam tulisan ini perlu berinterkasi secara interkonektif dengan imajinasi-imajinasi lain. Dengan begitu, semua unsur subyektif yang ada bisa bertransformasi menjadi intersubyektif untuk melahirkan pemikiran dan gerakan yang lebih bermakna. Tujuannya adalah satu, yaitu untuk mengembangkan kajian keilmuan kaum santri supaya bisa lebih berkualitas. Itu saja.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Amin.
Wallāhu
a‘lam bish-shawāb.
Yogyakarta, 27 Oktober 2014.
Yogyakarta, 27 Oktober 2014.
Catatan Akhir
[1] Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Radd ‘alā Man Akhlad
ilā al-Ardl wa Jahil ann al-Ijtihād fī Kull ‘Ashr Fardl (Kairo: Maktabah
al-Tsaqāfah al-Dīniyyah, t.t.), hlm. 39.
[2] Terkait pembagian level-level ijtihad, baca: Wahbah al-Zuhaylī,
Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, juz II, ctk. I (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986), hlm. 1079-1084.
[3] Al-Zuhaylī, Ushūl., hlm. 1085-1090.
Oleh Wael B. Hallaq (2004), “pintu ijtihad telah tertutup” sebenarnya tak lebih
dari sebuah mitos. Lihat: Wael B. Hallaq, Authority, Continuity, and Change
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 62.
[4] Al-Zuhaylī, Ushūl., hlm. 1075-1078.
[5] Ibid., hlm. 1091-1106.
[6] Abū Ishāq Ibrāhīm al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt fī
Ushūl al-Ahkām, ed. Muhammad al-Khudhar Husayn
al-Thūlisī dan Muhammad Husayn Makhlūf, jilid IV (ttp.: Dār
al-Rasyād al-Hadītsah, t.t.), hlm. 104.
[7] Karl Mannheim, Ideology and Utopia: An
Introduction to the Sociology of Knowledge (London dan Henley: Routledge
& Kegan Paul, 1960), hlm. 71.
[8] Ādil al-Syuwaykh, Ta‘līl al-Ahkām fī
al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, ctk. I (Tanta: Dār al-Basyīr wa al-‘Ulūm, 2000),
hlm. 220.
[9] Hal-hal lebih terperinci tentang ijtihad kolektif,
baca: Aznan Hasan, “An Introduction to Collective Ijtihad: Concept and
Application”, American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 20, no.
2, 2003, hlm. 26-49; Nadirsyah Hosen, “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad”,
New Zealand Journal of Asian Studies, vol. 6, no. 1, Juni 2004, hlm.
5-22; Nashr Mahmūd al-Kurnuz, “al-Ijtihād al-Jamā‘ī wa Tathbīqātuhā
al-Mu‘āshirah”, tesis (Gaza: Al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah, 2008).
[10] M. Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi Pendidikan
di Asia Tenggara: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah
Integratif-Interdisiplinary”, makalah, disampaikan pada Konferensi
Internasional Antar Bangsa Asia Tenggara di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
pada 10-11 Desember 2004, hlm. 18-19.
[11] Tawaran Kiai Muchith Muzadi ini dikutip dari:
Muhammad Noor Harisuddin, “Peran Domestik Perempuan menurut K.H. Abd. Muchith
Muzadi”, disertasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2012), hlm. 11; idem,
“Ijtihad dan Taqlid dalam Pandangan K.H. Abd. Muchith Muzadi”, Jurnal
Falasifa, vol. 2, no. 2, September 2011, hlm. 54.
[12] Abdurrahman Mas’ud, “The Pesantren Architects
and Their Socio-Religious Teachings”, disertasi (Los Angeles: University
of California, 1997), hlm. 130.
[13] Martin van Bruinessen, “NU: Jamaah Konservatif yang
Melahirkan Gerakan Progresif”, kata pengantar pada: Laode Ida, NU Muda: Kaum
Progresif dan Sekularisme Baru, ctk. I (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm.
xii-xvii.
[14] Lihat: A. Mustofa Bisri, Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Perilaku, ctk. I (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 135. Adagium ini juga diamini oleh Ronald Lukens-Bull
(1997) dengan ungkapan:”NU is the pesantren writ large and the pesantren is
NU writ small”. Lihat: Ronald Lukens-Bull, “A Peaceful Jihad: Javanese
Islamic Education on Religious Identity Construction”, disertasi
(Arizona State University, 1997), hlm. 125.
[15] Achmad Kemal Riza, “Continuity and Change in Islamic Law in Indonesia: The
Case of Nahdlatul Ulama Bahtsul Masail in East Java”, tesis (Australia: The Australian National
University, 2004), hlm. 28.
[16] LTN-NU Jatim, Ahkamul
Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan
Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999), ed. Imam Ghazali Said dan A. Ma’ruf
Asrori, ctk. II (Surabaya: Diantama, 2005),
hlm. 470-478.
[17] Ibid., hlm.
473.
[18] Baca, misalnya: Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual
NU: Lajnah Bahtsul Masail, 1926-1999, ctk. I (Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm.
126-129; Ahmad
Muhtadi Anshor, Baḥth al-Masāil Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika Pemikiran
Mazhab Kaum Tradisionalis, ctk. I (Yogyakarta: Teras,
2012), hlm. 55-60.
[19] Baca, misalnya: Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai
Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi, ctk. I (Bandung: Mizan, 2006),
hlm. 431; Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara
Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, cet. I (Jakarta:
Gramedia, 2006), hlm. 48.
[20] LTN-NU Jatim, Ahkamul., hlm. 471-472.
[21] Ibid., hlm.
388-399, 470, dan 472-473.
[22] Zahro, Tradisi., hlm. 146-149.
[23] MA. Sahal Mahfudh, “Bahtsul Masa’il dan Istinbath
Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek”, dalam LTN-NU Jatim, Ahkamul., hlm. xv-xvi.
[24] Zahro, Tradisi., hlm. 162-163.
[25] Imam Ghozali Said, “Dokumentasi dan Dinamika Pemikiran
Ulama Bermadzhab”, catatan penyunting dalam: LTN-NU Jatim, Ahkamul., hlm. xxxvii-xxxviii.
[26] Sistem bermadzhab dalam NU dirumuskan kali pertama
oleh Kiai Hasyim Asy‘ari (1875-1947) pada tahun 1926 dan kemudian ditegaskan
kembali oleh Kiai Achmad Siddiq (1926-1991) pada tahun 1979. Rumusan ini
kemudian dibakukan menjadi mekanisme ijtihad NU oleh forum MUNAS 1992 di Bandar
Lampung. Baca: Achmad Siddiq, Khitthah Nahdliyah, ctk. III (Bangil:
Persatuan, 1980); Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H.
Hasyim Asy'ari, ctk. I (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. 72-73.
[27] Zahro, Tradisi., hlm. 128-129; Djohan Effendi, Pembaruan
tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa
Kepemimpinan Gus Dur, ctk. I (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm.
180-181.
[28] Megan Ferguson, “Multidisciplinary vs.
Interdisciplinary Teamwork: Becoming a More Effective Practitioner:, http://www.socialworkhelper.com, 14
Januari 2014 (akses tanggal 26 Oktober 2014).
[29] Http://www.republika.co.id,
artikel “LBM NU Bahas Hukum Rokok”, 23 Februari 2011 (akses tanggal 26 Oktober
2014).
[30] Ferguson, “Multidisciplinary.”.
[31] Amin Abdullah, “Islam.”, hlm. 5; idem, “Agama, Ilmu, dan Budaya:
Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan”, makalah, disampaikan saat
dikukuhkan menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tanggal 3
September 2013 (Yogyakarta: UGM, 2013), hlm. 9-20.
[32] Contohnya adalah fatwa MUI tentang Ahmadiyah,
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme pada tahun 2005.
[33] Tentang kritik terhadap dampak sosial fatwa MUI, baca:
Masdar Hilmy, Islam Profetik: Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang
Publik, ctk. I (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 220; Nurun Nisa’ dan M.
Subhi Azhari, “Kisruh Fatwa MUI”, Nawala, no. 3, tahun III,
Februari-April 2009; Bambang Sukma Wijaya, “Konflik Ideologis Ahmadiyah – MUI
dan Pengaruhnya terhadap Pola Komunikasi Sosial Anggota Jemaat Ahmadiyah di
Indonesia”, Cakrawala: Journal of Social Research, vol. 1, no. 2,
Desember 2011, hlm. 60-75.
[34] Http://kbbi.web.id,
artikel “imajinasi” (akses tanggal 26 Oktober 2014).