[sumber] |
Oleh: Irham Thoriq
‘Pahlawan Hanyalah Pecundang yang Beruntung’
Bagaimana jika seorang pecundang namanya kelak dijadikan nama Jalan dan seorang pejuang justru disebut pemberontak. Tidak perlu terkejut karena kita hidup di negara yang kebenarannya samar-samar.
Ingatan kita juga terlampau pendek. Kita kerap lupa kalau orang yang kita elu-elukan adalah orang yang sudah ‘membunuh’ demi kekuasaan. Lalu, di banyak tempat bertebaran tulisan "enak zamanku toh?". Entah ini tulisan yang diatur, atau memang kerinduan terhadap zaman yang menganggap murah harga sebuah ‘nyawa’.
Ah, tulisan ini kok malah serius. Mari kita bahas kebenaran sebagaimana niat awal tulisan ini. Percuma kita membahas tentang masa kelam bangsa ini, karena bangsa kita sudah menjadi bangsa yang lupa, atau mungkin mereka pura-pura lupa.
Soal kebanaran, beberapa bulan belakangan kita seolah dipertontonkan sebuah drama yang menjungkirbalikan akal sehat. Mula-mula, dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri.
Selanjutnya, Novel Baswedan, salah seorang penyidik andalan KPK ditetapkan tersangka oleh Polri karena ‘kejahatan’ yang dia lakukan sepuluh tahun silam. Dia dituduh menganiaya seorang pencuri walet saat menjadi Kasat Reskrim di Bengkulu. Kasus ini sebenarnya pernah diselidiki ketika beberapa tahun lalu hubungan KPK dan Polisi memanas, lalu kasus ini mendek dan kemudian diungkap lagi ketika KPK dan Polisi kembali bersitegang.
Dan kebenaran semakin samar-samar ketika Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tesangka oleh Kejati Jakarta dalam kasus pembangunan gardu induk ketika dia menjadi Dirut PLN. Dia juga sedang diselidiki dalam dua kasus berbeda oleh Polisi dan Kejaksaaan Agung. Entah Dahlan bersalah atau tidak, kita tidak bisa menyimpulkan. Yang jelas dia sedang diserang dari berbagai penjuru mata angin.
Sebagaimana pimpinan KPK dan Novel, kasus Dahlan juga mendapat perhatian publik. Banyak yang menganggap Dahlan sedang dikriminalisasi atau mungkin memang menjadi sasaran tembak. Tagar #SaveDahlanIskan lantas marak di media sosial.
Lalu, apa salah Dahlan terhadap penguasa? Banyak spekulasi yang mungkin khalayak ramai sudah tahu.
Dari banyak kasus ini, kita boleh setuju kalau kebenaran bisa dengan mudah dipermainkan. Ketika kebenaran dan ketidakbenaran, dan yang korupsi dengan yang tidak korupsi hanya beda-beda tipis, di sinilah hukum menjadi buas.
Dan hukum yang buas mengancam pikiran, atau bahkan nyawa. Ribuan tahun sebelum konflik KPK dan Polri, kita mempunyai cerita tentang Galileo Galilei, seorang ilmuan besar yang banyak mencerahkan tapi malah dihukum sampai mati.
Masalahnya sepele, Galileo berani menentang kebenaran ‘mayoritas’ yang dikumandangkan Gereja ketika itu. Gelileo berpandangan kalau bumi yang mengintari matahari, sedangkan Gereja berpandangan matahari yang mengintari Bumi. Galileo dianggap salah dan dicap sebagai pembangkang, kemudian dia dikenakan hukuman pengucilan sampai mati. Belakangan, ilmu pengetahuan membenarkan pandangan Galileo yang dicap salah ketika itu.
Ah, jika dirunut terlalu banyak cerita kalau orang benar justru dianggap salah. Dan pejuang justru dianggap pecundang, begitu juga sebaliknya. Soekarno, bapak proklamasi merana dihari tuanya. Makamnya pun dijauhkan dari pusat kekuasaan. Permintaannya untuk di makamkan di Bogor tidak diindahkan karena orde baru takut makam Bung Karno menjadi jujukan karena dekat dengan ibu kota. Mengutip Majalah Tempo; ‘Matinya pun membuat gentar’.
Tentang seorang pecundang yang ‘beruntung’ karena dijadikan nama jalan sebagaimana saya singgung diawal tulisan, kisahnya diceritakan dengan apik oleh sastrawan Agus Noor dalam cerpennya berjudul Matinya Seorang Demonstran. Cerpen ini saya baca dalam Buku Cerpen Pilihan Kompas 2014.
Agus menceritakan tentang kisah asmara seorang mahasiswi bernama Ratih yang suka pada dua pemuda bernama Eka dan Munarman. Dua orang yang dia cintai ini mempunyai latar belakang berbeda, Eka anak orang miskin dan dia seorang aktivis. Sedangkan Munarman, hidup bergelimang harta serta suka hura-hura, dia selalu ingin terlihat modis dan atletis.
Hingga pada suatu hari terjadi kekacauan yang membuat mahasiswa dan aparat bentrok luar biasa. Dalam cerita ini terjadi huru hara luar biasa, meski Agus Noor tidak menyebut setting waktu dalam cerita itu, ingatan kita merujuk pada kekacauan 1998 ketika orde baru tumbang.
Pada huru hara itu, Eka ikut demontrasi. Dan ketika kerusuhan itu terjadi, Munarman hendak ke rumah Ratih. Diperjalanan Munarman terjebak kerusuhan. Mobilnya digebrak-gebrak dan diancam dibakar. Diapun lantas kabur hingga akhirnya sampai dengan selamat di rumah Ratih.
Setelah keadaan mulai membaik, Munarman pamit untuk melihat mobilnya dan sekalian membeli rokok. Esok harinya, Ratih mendengar kalau Munarman tertembak mati peluru nyasar seorang aparat. Semenjak itu juga, Ratih tidak pernah tahu Eka sekarang dimana. Teman-temannya yakin kalau Eka sudah menjadi korban penculikan ketika dia berdemontrasi.
Begitu lulus kuliah, Ratih meninggalkan kota yang telah memisahan dari Eka dan Munarman. Suatu ketika, dia mengunjungi ibunya. Mau tidak mau dia harus melewati sebuah jalan di dekat rumahnya. Dulu nama jalan tersebut bernama jalan Sutowijayan, sekarang berubah menjadi Jalan Munarman.
Begitulah kebenaran samar-samar yang mematikan akal sehat. Mengutip awal tulisan Agus Noor; Pahlawan hanyalah pecundang yang beruntung.[]