Pertama kali saya menemukan tanda akil-baligh untuk perempuan, saya tengah nyantri di
Pesantren Raudlatul Ulum (PPRU) I Ganjaran Gondanglegi Malang. Hal itu saya
dapati tepatnya di tahun pertama saya nyantri.Waktu itu, saya cemas,
bingung dan ingin menangis menghadapi pengalaman pertama ini tanpa Ibu. Saya
tidak tahu apa yang harus saya lakukan, ditambah rasa sakit di perut bagian
bawah dan tubuh yang terasa lemas. Perasaan semakin tergulung-gulung antara
senang, takut, juga malu. Namun beruntung sekali bahwa rupanya mbak-mbak santri
sekamar peka atas apa yang sedang saya alami. Waktu itu saya paling kecil di
kamar, dan tentu saja mbak-mbak yang lebih dewasa telah berpengalaman tentang
hal ini. Mereka serempak memberi selamat dengan rona wajah bahagia yang
menyurutkan rasa cemas dan takut saya tadi.Untuk pertama kalinya dalam hidup,
ada perasaan aneh menyusup, semacam bangga karena telah benar-benar menjadi
perempuan.
Mbak-mbak yang sekolah di Madrasah Aliyah memberi bimbingan kepada
saya terkait perempuan dan menstruasi, apa yang dianjurkan dilakukan dan apa
yang sebaiknya tidak dilakukan selama kedatangan “tamu” ini. Mbak-mbak yang sekolah
di Madrasah Diniyah juga berbagi pengetahuan menstruasi dari sudut pandang
agama Islam, lebih spesifiknya Fikih. Bahkan sampai tentang resep alami ala
Madura yang dibagikan oleh seorang mbak asli Desa Ganjaran.Saya melihat bahwa
teman-teman sekamar merasa senang dengan keakil-balighan saya.Sepulang sekolah,
ada yang berinisiatif menelponkan Bapak-Ibu saya untuk menyampaikan kabar
menggembirakan ini, juga agar supaya dilaksanakan selametan di rumah
saya. Katanya, itu sudah menjadi bagian tradisi yang baik. Saya terharu,
melihat dan merasakan bahwa jauh dari Bapak-Ibu bukan berarti saya hidup tanpa
keluarga.Waktu itu juga, saya mulai paham maksud dan tujuan Bapak-Ibu mengirim
saya ke Pesantren di mana mulanya saya merasa tidak ikhlas dikirim jauh dari
mereka berdua. Apalagi, mengingat apa yang disampaikan Guru SD saya terkait nilai
saya yang tinggi dan bisa masuk ke salah-satu SMP bergengsi di kota Malang. Jangan
sampai berujung diasingkan ke sebuah Pesantren salaf di tengah desa, katanya. Pada
akhirnya, di samping pelajaran-pelajaran di Madrasah, banyak nilai-nilai yang
saya dapatkan dari Pesantren sederhana di tengah desa ini. Terutama nilai-nilai
yang terpahami dan terbangun itu lebih banyak melewati jalan kultural yang
sifatnya sehari-hari. Saya temukan dan hayati mulai dari kamar saya, salah satu
bilik di Pesantren ini, bilik PPRU I Putri.
Keragaman Bagian Dari Khazanah Bilik RU
Umumnya, masa liburan setiap pesantren tidaklah sama sehingga saat
saya libur, saya bisa berkunjung ke pesantren-pesantren saudara yang secara
bangunan lebih besar dari pesantren saya yang di desa. Beberapa pesantren yang
saya jumpai itu, setiap kamarnya tidak dihuni oleh santri dari jenjang umur dan
jenjang sekolah yang beragam seperti di pesantren saya. Di pesantren-pesantren
yang saya maksudkan, setiap kamar atau setiap kompleks dihuni oleh para santri
dari satu jenjang madrasah saja. Madrasah Ibtidayah saja, Madrasah Tsanawiyah
saja, dan Madrasah Aliyah saja. Pendeknya, tidak beragam.
Menurut saya, sistem semacam itu barangkali bagus untuk efektifitas
belajar santri.Tapi masalahnya, di pesantren, santri tidak hanya memiliki
tanggungjawab mempelajari mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah saja, banyak
beberapa kelas atau kelompok musyawaroh yang merupakan kegiatan Pesantren. Apalagi,
menurut saya, yang membedakan santri dengan para pelajar di sekolah-sekolah
pada umumnya adalah pendidikan sosial antar teman yang dibangun mulai dari
bilik masing-masing. Semakin banyak keragaman yang ada di sebuah kompleks (atau
khos sebagaimana khazanah PPRU I menyebutnya) dan bilik pada khususnya, akan
menempa dan membentuk kemampuan santri dalam menanggapi keragaman itu sendiri. Hal
ini sangat membantu santri saat kelak ketika boyong, mereka telah siap
menghadapi realitas yang sangat beragam dan majemuk. Mereka akan terselamatkan
dari yang namanya “gagap realitas”. Terutama, mereka para santri yang berasal
dari daerah yang majemuk atau mereka para santri yang memiliki kesempatan merantau
baik untuk bekerja, berdakwah di daerah asing, dan melanjutkan menimba ilmu di
daerah yang lain.
Banyak sekali corak keragaman yang saya temui dari bilik santri PPRU
I, mulai dari suku, bahasa, adat-sitiadat, umur, jenjang pendidikan, pola pikir,
watak, dan kelas sosial.
Keragaman Suku
Jawa, Madura, Betawi, Sunda dan Melayu. Lima suku itu setidaknya
yang saya temui saat saya masuk pesantren RU I pada tahun 2002 silam. Suku Jawa
datang dari daerah Malang kota seperti kelurahan Muharto, kelurahan Mergosono, kelurahan
Gadang, dan kelurahan Bumiayu. Beberapa dari mereka merupakan santri peranakan
Madura-Jawa. Semakin keselatan, mereka datang dari kecamatan Bululawang, Wajak,
Ampelgading, Dampit, Turen, Pagak, Donomulyo, Kalipare, Bantur, Gedangan,
Tajinan, dan Sumber Manjing Wetan. Beberapa juga merupakan peranakan
Madura-Jawa. Sebagaimana pula para santri yang berasal dari Lumajang.
Santri yang berasal dari Suku Madura murni terbilang banyak. Mulai
dari Kabupaten Sumenep sampai Kabupaten Bangkalan hampir semuanya ada. Hanya
pulau-pulau timur Madura seperti Kangean dan Sapeken yang belum saya temui di
RU I, karena saya amati, masyarakat kepulauan itu lebih banyak nyantri
ke daerah Probolinggo dan Situbondo.
Suku Betawi berasal dari Jakarta. Suku Sunda yang berasal dari
Bandung dan suku Melayu yang berasal dari Pontianak ternyata rata-rata adalah
peranakan Madura. Ada pula yang campuran suku setempat, dan adapula yang memang
asli peranakan satu suku seperti suku Melayu yang pernah saya temui. Meskipun,
rata-rata yang berasal dari Pontianak adalah asli suku Madura. Nah, hal ini
setidaknya saya temui di PPRU I sejak 2002-2009, tepatnya saat saya masih di
Pesantren. Bagaimana perkembangan asal santri selama enam tahun ke belakang ini
saya tidak tahu.
Mengapa saya bersusah mengingat-ngingat kembali suku-suku dan
daerah asal para santri PPRU? Karena suku, daerah, adat-istiadat turut
membentuk watak dan pola pikir setiap orang. Sehingga kita bisa membayangkan
bagaimana saat orang dengan suku, watak, dan pola pikir itu hidup dalam satu
bilik dan menjalankan aktivitas sehari-hari sebagai santri. Manusia sebagai
hukum dasarnya adalah makhluk sosial yang mau tidak mau mereka akan saling
membutuhkan satu sama lain. Apalagi, hidup yang penuh dengan keterbatasan
sebagaimana di pesantren. Mau tidak mau, para santri akan saling berinteraksi
dengan santri lain dengan suku, watak, dan pola pikir mereka yang berbeda. Ada gesekan,
tentu saja. Itu sebuah keniscayaan. Dan di titik inilah paling sejatinya para
santri itu belajar. Sebuah ruang belajar yang tak kasat mata namun sarat nilai.
Dan karena tak kasat mata, barangkali tidak semua pertimbangan sampai pada
titik ini.
Bahasa
Suku dan daerah yang beragam sekaligus unik (karena para santri
sudah membawa keunikan bahasa tersendiri dari daerah asalnya, yaitu mereka yang
merupakan blasteran Madura dan suku setempat) tadi membentuk fenomena bahasa PPRU
I sangat khas. Kita bisa membayangkan seorang peneliti bahasa akan puas dengan
temuan barunya saat tenggelam dalam fenomena bahasa PPRU I.
Namun, untuk kali ini saya tidak akan membahas fenomena bahasa RU I
dari sisi fonem, morfem, sintaksis, semantik, dialek, atau bahkan munculnya
kosakata baru khas anak PPRU yang memang sering terjadi. Hal itu akan panjang
dan lebih baik ada dalam satu judul tulisan tersendiri.
Dalam sebuah bilik yang beragam baik dari sisi suku, daerah, maupun
jenjang umur, sangat mempengaruhi edukasi bahasa setiap santri. Misalnya,
santri Jawa akan teredukasi secara implisit kapan dan kepada siapa ia
menggunakan bahasa Jawa Ngoko, Madyo, Kromo, Kromo Inggil dan
seterusnya-dan seterusnya. Begitupula santri yang berkomunikasi dengan bahasa
Madura dan lainnya. Hal ini terkait keragaman umur dalam sebuah bilik santri.
Di samping, santri bisa belajar berbagai pengetahuan tentang
bahasa, hal ini adalah hal primer yang dilihat oleh wali santri dan masyarakat
luar saat santri yang bersangkutan pulang ke rumah. Pengalaman saya, banyak
wali santri yang merasa terharu saat mendapati anaknya yang sebelumnya kasar,
sepulang untuk liburan dari PPRU telah berbahasa halus kepada kedua orangtua
dan lingkungan sekitarnya.Tidak hanya skill berbahasa yang tepat kepada
yang lebih tua, tapi kepada yang sepantaran dan yang lebih muda.Ya, karena
bilik PPRU I sarat dengan keragaman.
Satu hal penting dan yang pertama dipandang oleh masyarakat kepada
santri adalah akhlak (dan dalam dunia pendidikan sendiri, pendidikan karakter
memang diutamakan terlebih dulu. Belum lagi jika melihat kenapa Nabi akhir
zaman diutus). Dan bahasa, menjadi bagian dari akhlak. Marilah kita bersepakat,
bahwa di Pesantren, di PPRU I setidaknya tahun 2001-2009 yang saya ketahui,
tidak ada wadah yang memang sengaja dibuat untuk mengedukasi kemampuan
berbahasa tersebut. Dan hal itu memang tidak perlu, karena PPRU I memiliki satu
ruang yang sarat dengan edukasi praktis, solutif, dan tepat sasaran yaitu
bilik-biliknya.Yaitu setiap kamar santrinya.
Sebuah kamar santri yang beragam adalah miniatur keluarga, di mana
pendidikan karakter pertama adalah dimulai dari keluarga atau rumah. Dan di mana
rumah setiap santri RU I? Di bilik mereka masing-masing. Saat penat dan lelah
karena kegiatan sekolah atau pesantren, mereka kembali pulang ke bilik, ke
rumah, untuk mengayomi dan diayomi. Nah, mengayomi? Satu edukasi tambahan dari
yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sungguh tak habis-habis nilai-nilai itu
tumbuh dan tergali dari bilik santri. Bilik santri yang beragam.
Umur dan Jenjang Pendidikan
Bermula dari pengalaman saya di Yogyakarta saat saya satu kamar
kost dengan seorang teman yang belum pernah mengenal dunia Pesantren. Waktu
itu, saya sedang mengetik di depan laptop dengan duduk bersila. Demikian pula
teman saya itu, hanya saja dia duduk selonjor di samping lemari. Dia beberapa
bulan lebih muda dari saya. Seorang teman lagi, di atas kasur sedang menyulam. Dia
anak Pesantren yang memiliki khazanah kemajemukan di biliknya sebagaimana PPRU
I.
“Mbak, tolong ambilkan itu dong,” kata teman saya yang mengetik
tadi sambil menunjuk ke lemari di sampingnya, yang sesungguhnya sangat dekat
dengannya dan sangat jauh dari tempat saya duduk. Dan sebagaimana dirinya, saya
juga tengah fokus di depan laptop.
Deg! Entah mengapa saya merasa tidak nyaman dengan ini. Ada perasaan
asing yang menyusup. Tapi saya memilih berhenti sejenak dari pekerjaan saya, berdiri
dan mengambilkannya, tetap dengan perasaan tidak nyaman. Namun belum dapat saya
urai mengapa, sebelum teman saya yang menyulam itu menyahut.
“Kenapa gak diambil sendiri?”
“Enggak bisa. Kakiku ini lho susah.”
“Halah, wong tinggal berdiri saja. Tinggal ngambil. Wong
lebih dekat dari kamu. Itu namanya bukan minta tolong tapi merintah!” Sungut
teman saya.Tapi teman saya yang mengetik masih saja kuat berdalih.
Dari situlah pikiran saya akhirnya mengelana ke sebuah kamar, kamar
C3, salah satu bilik di PPRU I. Saya ingat betapa tempat itu sekaligus penghuni
yang terdiri dari ragam umur dan jenjang pendidikan sangat menempa saya dalam
nilai saling menghargai dan saling menghormati. Seorang yang muda menghargai
yang tua dengan tidak memerintah. Bahkan, meski sesungguhnya yang muda bisa
minta tolong kepada yang tua (misalnya karena jarak barang yang dimaksud sangat
dekat dengan yang lebih tua), tidak jarang mereka lebih memilih melakukannya
sendiri. Seorang yang tua menghargai kepada yang lebih muda dengan menyematkan
kalimat “boleh minta tolong?”, “saya minta tolong” dan kalimat-kalimat santun
lainnya di setiap minta bantuan kepada yng lebih muda. Begitupula kepada yang
sepantaran. Hal seperti ini adalah sikap praktis yang tidak cukup dengan hanya
menghayati mata pelajaran PKN atau Kitab Akhlaq. Sikap praktis semacam ini
butuh ditempa di kehidupan nyata. Salah-satunya seperti sudah lama diterapkan
oleh Pesantren. Karena inilah Pesantren merupakan wadah pendidikan yang unik
dibanding wadah pendidikan yang lainnya. Nilai dasarnya adalah kemajemukan,
keragaman.
Kelas Sosial
Di Pesantren, pada umumnya para santri berasal dari semua kalangan
kelas sosial. Bawah, menengah, dan atas. Termasuk fenomena kelas sosial di PPRU
I. Semboyan pertama yang saya dengar saat saya masih menjadi santri baru
adalah: Kalau di Pesantren, semua sama. Tidak ada miskin tidak ada kaya. Kalau
si kaya dan si miskin melanggar, sama-sama kena takzir. Tidak ada ceritanya si
kaya disayang Ibu Nyai dan si miskin tidak, kalau mau disayang Ibu Nyai ya
harus berprestasi. Jadi santri yang baik.
Di ranah yang lebih sempit, yaitu di kamar saat ragam kelas sosial
itu berinteraksi secara intensif, ada dua hal yang setidaknya saya amati, yaitu
kekeliruan dan pencapaian. Kekeliruan adalah saat si kaya semakin menonjolkan
kekayaannya, misalnya (dan memang banyaknya) lewat fashion dan make up,
yang seperti sengaja ingin mengatakan perbedaan kelas sosial antara “aku” yang
kaya dan “kamu” yang biasa saja apalagi yang miskin. Kekeliruan juga tidak
jarang dilakukan oleh santri kelas menengah atau bawah. Mereka berlomba-lomba
dengan cara apapun agar sampai pada level yang dimaksud. Termasuk dengan cara
‘memeras’ orangtua sampai pada mencuri. Ini realitas, karena Pesantren bukanlah
surga. Dan saya yakin, kita telah maklum. Namun dalam pandangan saya, ketiga
kelas di atas sedang menjalani masa prosesnya masing-masing. Bagaimana si kaya
mencapai kesadaran menekan egonya, bagaimana si biasa dan si miskin memiliki
rasa nriman. Terutama, bagaimana kelas ketiganya mencapai kesadaran tiga
nilai-nilai santri yaitu kejujuran, kesederhanaan, dan pengabdian.
Entah proses itu akan bermuara kemana. Apakah sampai pada muara
tiga nilai santri di atas, yang berarti ketiganya sampai pada muara pencapaian?
Hal tersebut tergantung empat aspek: Sistem Pesantren, kebijakan pengurus,
edukasi di tiap-tiap kelas, dan figur atau teladan. Menurut saya, aspek
keempatlah yang memiliki peran paling tinggi. Mengapa? Karena di Pesantren,
khususnya di PPRU I yang saya ketahui sendiri, berlaku sebuah pop culture yang
khas, yaitu idola dan fans, dan ada yang sampai tingkatnya fanatik. Ada santri
yang mengidolakan sesama santri, ada yang mengidolakan pengurus, ada yang
mengidolakan Gus-gus dan Ning-ningnya, apalagi mengidolakan Kiai dan Bu
Nyainya. Dan realitas membuktikan, para fans akan meng-copy-paste alias
meniru idolanya, bahkan habis-habisan dan bagaimanapun caranya.
Fenomena unik ini, jika disikapi dengan lebih cerdas, akan sangat membantu
dan mendorong progres santri, terarah kepada hal-hal yang positif. Misalnya,
karena melihat figur idolanya, mereka berlomba-lomba untuk menjadi sosok yang
sederhana dan rendah hati, berlomba-lomba suka berbagi dengan sesama,
berlomba-lomba suka membaca, berlomba-lomba belajar menulis, berlomba-lomba
hafal Alfiyah, berlomba-lomba mampu membaca kitab, dan seterusnya. Apakah
mungkin? Mungkin saja. Anda sekalian tahu, kan, bahkan cara melampahnya seorang
Gus saja banyak yang meniru? Setidaknya saya pernah menanyakan pada seorang
santri putra mengapa dirinya getol menghafal Alfiyah. Ingin pintar
membaca kitab kayak Gus Nasih, katanya. Nah kan!
Lantas,
siapakah figur itu? Semua masyarakat pesantren adalah figur. Dari sesama
santri, pengurus, guru, dan terlebih adalah para Kiai dan Bu Nyai (yang lebih
akrab disebut Pengasuh di PPRU I), karena mereka adalah idola hampir semua
santri. Menurut saya, istilah “Pengasuh” memiliki makna yang sangat
komprehensif dan dalam terutama saat disandingkan dengan dunia pendidikan
seperti Pesantren. ‘Pengasuh’ yang kata dasarnya adalah ‘asuh’ merupakan satu
dari tiga sistem among daripada metode pendidikan yang dicetuskan oleh Ki
Hajdar Dewantara yaitu “asih-asah-asuh”. Apa itu? Ah, ini sudah berat. Dalam
tulisan ini saja, saya merasa terlalu banyak menggurui. Mengakhiri tulisan ini,
saya hanya ingin sekadar bernostalgia. Kembali kepada kenangan pembentukan
karakter saya di tengah kemajemukan kamar C3, salah satu bilik PPRU I Putri.
Merasa beruntung, nyantri di masa itu.[]
sumber gambar: